Menyamakan Persepsi, Menafsirkan Kebijakan
loading...

Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi
A
A
A
Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Berbagai pandangan dan reaksi muncul terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Pemerintah. Pandangan yang muncul tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh dan sudah dapat diduga sebelumnya. Ada yang terkejut, tidak percaya dan menganggap kebijakan ini mendadak. Tidak sedikit kementerian/lembaga yang sudah merancang program sebelumnya dengan merujuk anggaran yang sudah disetujui bersama wakil rakyat dan Pemerintah pada tahun sebelumnya.
Apakah efisiensi anggaran tersebut kurang tepat? James E. Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17), mengatakan bahwa kebijakan adalah “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).
Memang terkadang tidak mudah memahami konsekuensi dari adanya suatu kebijakan. Apalagi kalau tidak dicerna secara tenang dan adanya stigma tertentu dalam pikiran. Asumsi yang muncul bahwa kebijakan menjadi suatu alat atau instrumen yang hanya menguntungkan pembuat kebijakan.
Secara teoretis dan praktis, membuat sebuah kebijakan sesungguhnya bukan pekerjaan mudah. Bagi yang tidak berada dalam lingkungan kebijakan itu sendiri dalam perumusannya mungkin akan cepat membuat pernyataan atau mengeritik apapun terhadap perumusan dan implementasi sebuah kebijakan.
Menyamakan Persepsi Kebijakan
Terdapat beberapa faktor penentu yang memengaruhi sebuah kebijakan, yaitu pembuat kebijakan, kebijakan itu sendiri, dan lingkungan kebijakan. Adanya kebijakan secara teoritis didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Kebijakan lahir sebagai perwujudan tanggungjawab hakiki pembuat kebijakan, agar suatu keadaan atau konteks menjadi lebih baik dalam rangka pencapaian target kebijakan tersebut.
Kebijakan pastinya mempertimbangkan konteks untuk memastikan bahwa kebijakan dapat diimplementasikan. Secara teori, kebijakan tidak akan dibuat apabila dianggap tidak akan mampu diterapkan dalam lingkungan yang ada. Kegagalan mencermati lingkungan kebijakan otomatis menyebabkan munculnya berbagai kendala atau kritik terhadap kebijakan itu sendiri.
Proses pemahaman terhadap lingkungan kebijakan bukan sesuatu yang sederhana atau bisa disederhanakan atau disepelekan. Ketidakmampuan memahami lingkungan kebijakan secara hakekat, akan berdampak tidak hanya kepada pemahaman terhadap kebijakan itu sendiri. Tetapi juga terhadap sinkronisasi dengan lingkungan yang ada yang menjadi lokus diberlakukannya kebijakan dimaksud.
Apakah mungkin suatu kebijakan dibuat dan dipaksakan untuk dijalankan apabila kondisi sosial ekonomi tidak memungkinkan implementasi kebijakan itu? Apakah ketiadaan sumber daya manusia dan sumberdaya alam diabaikan untuk suatu kebijakan yang mensyaratkan pemenuhan kedua sumberdaya tersebut?
Perjalanan panjang suatu kebijakan sudah pasti mempertimbangkan banyak hal, termasuk yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan kebijakan itu sendiri. Perumusan kebijakan seyogianya telah melalui suatu proses pemikiran dan pendalaman yang sangat kritikal dan berbasiskan data empiris atau berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Juga telah mempertimbangkan risiko yang diperhitungkan (calculated-risks).
Tetapi mengapa tetap saja terjadi penolakan dan perdebatan terhadap suatu kebijakan?
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Berbagai pandangan dan reaksi muncul terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Pemerintah. Pandangan yang muncul tersebut sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh dan sudah dapat diduga sebelumnya. Ada yang terkejut, tidak percaya dan menganggap kebijakan ini mendadak. Tidak sedikit kementerian/lembaga yang sudah merancang program sebelumnya dengan merujuk anggaran yang sudah disetujui bersama wakil rakyat dan Pemerintah pada tahun sebelumnya.
Apakah efisiensi anggaran tersebut kurang tepat? James E. Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17), mengatakan bahwa kebijakan adalah “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).
Memang terkadang tidak mudah memahami konsekuensi dari adanya suatu kebijakan. Apalagi kalau tidak dicerna secara tenang dan adanya stigma tertentu dalam pikiran. Asumsi yang muncul bahwa kebijakan menjadi suatu alat atau instrumen yang hanya menguntungkan pembuat kebijakan.
Secara teoretis dan praktis, membuat sebuah kebijakan sesungguhnya bukan pekerjaan mudah. Bagi yang tidak berada dalam lingkungan kebijakan itu sendiri dalam perumusannya mungkin akan cepat membuat pernyataan atau mengeritik apapun terhadap perumusan dan implementasi sebuah kebijakan.
Menyamakan Persepsi Kebijakan
Terdapat beberapa faktor penentu yang memengaruhi sebuah kebijakan, yaitu pembuat kebijakan, kebijakan itu sendiri, dan lingkungan kebijakan. Adanya kebijakan secara teoritis didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Kebijakan lahir sebagai perwujudan tanggungjawab hakiki pembuat kebijakan, agar suatu keadaan atau konteks menjadi lebih baik dalam rangka pencapaian target kebijakan tersebut.
Kebijakan pastinya mempertimbangkan konteks untuk memastikan bahwa kebijakan dapat diimplementasikan. Secara teori, kebijakan tidak akan dibuat apabila dianggap tidak akan mampu diterapkan dalam lingkungan yang ada. Kegagalan mencermati lingkungan kebijakan otomatis menyebabkan munculnya berbagai kendala atau kritik terhadap kebijakan itu sendiri.
Proses pemahaman terhadap lingkungan kebijakan bukan sesuatu yang sederhana atau bisa disederhanakan atau disepelekan. Ketidakmampuan memahami lingkungan kebijakan secara hakekat, akan berdampak tidak hanya kepada pemahaman terhadap kebijakan itu sendiri. Tetapi juga terhadap sinkronisasi dengan lingkungan yang ada yang menjadi lokus diberlakukannya kebijakan dimaksud.
Apakah mungkin suatu kebijakan dibuat dan dipaksakan untuk dijalankan apabila kondisi sosial ekonomi tidak memungkinkan implementasi kebijakan itu? Apakah ketiadaan sumber daya manusia dan sumberdaya alam diabaikan untuk suatu kebijakan yang mensyaratkan pemenuhan kedua sumberdaya tersebut?
Perjalanan panjang suatu kebijakan sudah pasti mempertimbangkan banyak hal, termasuk yang tidak kalah pentingnya adalah lingkungan kebijakan itu sendiri. Perumusan kebijakan seyogianya telah melalui suatu proses pemikiran dan pendalaman yang sangat kritikal dan berbasiskan data empiris atau berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Juga telah mempertimbangkan risiko yang diperhitungkan (calculated-risks).
Tetapi mengapa tetap saja terjadi penolakan dan perdebatan terhadap suatu kebijakan?
Lihat Juga :