Mengapa Perempuan Bisa Sekejam Itu? Istri Bunuh Suami
loading...
A
A
A
Perspektif kriminologi feminis menunjukkan kasus tersebut bahwa perempuan (istri) melakukan pembunuhan karena pada dasarnya ia adalah korban KDRT yang dilakukan suaminya (Renzetti, 2013). Dalam hal ini, korban (suami) ikut andil terjadinya pembunuhan oleh istri karena tindakan kekerasan yang dilakukannya sebelumnya. Wolfgang (1957) menyebutkan korban secara langsung berperan dalam kejahatan. Dengan kata lain, tindakan membunuh tersebut merupakan pelanggaran hukum, namun kriminologi feminis memandang dari sudut pandang yang berbeda, berusaha memahami alasan atau latar belakang yang mendorong istri melakukan tindakan tersebut.
Dalam kasus di Mojekerto, perempuan pelaku pembunuhan di dalam keluarga, seperti seorang istri yang membunuh suaminya, tidak dapat dilepaskan dari peran korban (suami) yang turut berkontribusi terhadap kejahatan tersebut, seperti kebiasaan suami yang bermain judi yang dapat menjadi alasan ekonomi bagi istri untuk melakukan tindakan ekstrim tersebut. Namun, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi viktimisasi istri (Susanti, 2020), antara lain: 1) Kekerasan, budaya dan sistem patriarki yang mendominasi; 2) Hubungan interpersonal yang tidak sehat; 3) Karakteristik individu dan temperamen dari pelaku kekerasan; 4) Peran gender yang timpang; serta 5) Kekerasan dalam keluarga yang menjadi pola turun-temurun.
Perspektif kriminologi feminis hadir tidak untuk membela perempuan yang melakukan kesalahan (woman offender), melainkan untuk memahami posisi perempuan sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan secara lebih komprehensif. Dengan demikian, kriminologi feminis berupaya menangkap kompleksitas pengalaman perempuan yang sering terjebak dalam siklus kekerasan dan viktimisasi, yang kemudian dapat memicu perilaku melanggar hukum. Feminis hadir agar suara perempuan dapat terdengar dan didengarkan sehingga perempuan mendapatkan keadilan gender.
Konsep Blurred Boundaries dalam kriminologi feminis berkontribusi dalam menunjukkan adanya tumpang tindih dalam melihat posisi perempuan, sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan (Walklate, 2004). Konsep ini menunjukkan bahwa pola viktimisasi yang dialami perempuan pada masa lalu dapat memunculkan perilaku pelanggaran kekerasan yang dilakukan perempuan di masa depan. Hal ini selaras dengan kasus istri yang membunuh suaminya, di mana pengalaman menjadi korban KDRT sebelumnya dapat menjadi pemicu tindakan kekerasan balik yang dilakukan.
Mengenai penghukuman, perspektif kriminologi feminis, fokus utamanya bukan mengapa orang melakukan kejahatan, melainkan pada bagaimana proses kejahatan terjadi dan bagaimana agen penegakan hukum serta sistem peradilan pidana mendefinisikan suatu perilaku sebagai kejahatan (latar belakang pendefinisian) (Flavin 2001). Terkait dengan konsep victim precipitation dalam kasus KDRT (Susanti, 2018), menyebutkan bahwa tidak tepat jika penghukuman terhadap kasus pembunuhan menggunakan hukuman yang sama untuk setiap kasus (KUHP). Diperlukan alternatif penyelesaian masalah, seperti bentuk penghukuman yang berbeda dan disesuaikan dengan konteksnya, misalnya ketika pelakunya terlebih dahulu adalah korban KDRT.
Susanti (2018) menegaskan bahwa UU PKDRT belum mengakomodir kepentingan perempuan atau belum berperspektif korban. Hal ini disebabkan Sistem Peradilan Pidana bergantung pada tekanan normatif untuk mengendalikan kejahatan melalui mekanisme normatif dari pengawasan kejahatan yang bekerja secara resmi untuk membawa pelaku perilaku yang dilarang sebagai seseorang yang tidak konsisten dengan norma-norma hukum, sehingga apapun alasannya, pelaku harus dihukum (Flavin, 2001). Dalam kasus Mojokerto, istri yang membunuh suaminya, meskipun ia mengakui perbuatannya, namun sang korban (suami) juga diduga memiliki kontribusi dengan keterlibatannya dalam perjudian online yang memicu emosi sang istri. Dalam hal ini, sang suami dapat dikategorikan sebagai victim with minor guilt, provocative victim atau participating victim (Mendelsohn & Wolfgang, 1976).
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang kurang memperhatikan kebutuhan serta perlindungan perempuan korban KDRT menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus KDRT (Situmoran & Susnati, 2022). Aturan hukum yang melindungi perempuan masih rapuh (Putra, dkk., 2018). Hal ini selaras dengan temuan Sette (2023) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialami adalah ketidakpercayaan mereka pada sistem peradilan. Menurut Wolfgang (1957;1967), victim precipitation umum ditemukan pada kasus pembunuhan antara pasangan intim (intimate partner homicides/IPHs), terutama yang melibatkan perempuan sebagai pelaku dan laki-laki sebagai korban (Suonpaa & Savolainen, 2019). Dengan demikian, pembunuhan antara pasangan intim yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki cenderung melibatkan peran korban (laki-laki), hingga akhirnya perempuan mengambil tindakan untuk membunuhnya.
Dalam kasus di Mojekerto, perempuan pelaku pembunuhan di dalam keluarga, seperti seorang istri yang membunuh suaminya, tidak dapat dilepaskan dari peran korban (suami) yang turut berkontribusi terhadap kejahatan tersebut, seperti kebiasaan suami yang bermain judi yang dapat menjadi alasan ekonomi bagi istri untuk melakukan tindakan ekstrim tersebut. Namun, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi viktimisasi istri (Susanti, 2020), antara lain: 1) Kekerasan, budaya dan sistem patriarki yang mendominasi; 2) Hubungan interpersonal yang tidak sehat; 3) Karakteristik individu dan temperamen dari pelaku kekerasan; 4) Peran gender yang timpang; serta 5) Kekerasan dalam keluarga yang menjadi pola turun-temurun.
Perspektif kriminologi feminis hadir tidak untuk membela perempuan yang melakukan kesalahan (woman offender), melainkan untuk memahami posisi perempuan sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan secara lebih komprehensif. Dengan demikian, kriminologi feminis berupaya menangkap kompleksitas pengalaman perempuan yang sering terjebak dalam siklus kekerasan dan viktimisasi, yang kemudian dapat memicu perilaku melanggar hukum. Feminis hadir agar suara perempuan dapat terdengar dan didengarkan sehingga perempuan mendapatkan keadilan gender.
Konsep Blurred Boundaries dalam kriminologi feminis berkontribusi dalam menunjukkan adanya tumpang tindih dalam melihat posisi perempuan, sebagai korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan (Walklate, 2004). Konsep ini menunjukkan bahwa pola viktimisasi yang dialami perempuan pada masa lalu dapat memunculkan perilaku pelanggaran kekerasan yang dilakukan perempuan di masa depan. Hal ini selaras dengan kasus istri yang membunuh suaminya, di mana pengalaman menjadi korban KDRT sebelumnya dapat menjadi pemicu tindakan kekerasan balik yang dilakukan.
Mengenai penghukuman, perspektif kriminologi feminis, fokus utamanya bukan mengapa orang melakukan kejahatan, melainkan pada bagaimana proses kejahatan terjadi dan bagaimana agen penegakan hukum serta sistem peradilan pidana mendefinisikan suatu perilaku sebagai kejahatan (latar belakang pendefinisian) (Flavin 2001). Terkait dengan konsep victim precipitation dalam kasus KDRT (Susanti, 2018), menyebutkan bahwa tidak tepat jika penghukuman terhadap kasus pembunuhan menggunakan hukuman yang sama untuk setiap kasus (KUHP). Diperlukan alternatif penyelesaian masalah, seperti bentuk penghukuman yang berbeda dan disesuaikan dengan konteksnya, misalnya ketika pelakunya terlebih dahulu adalah korban KDRT.
Susanti (2018) menegaskan bahwa UU PKDRT belum mengakomodir kepentingan perempuan atau belum berperspektif korban. Hal ini disebabkan Sistem Peradilan Pidana bergantung pada tekanan normatif untuk mengendalikan kejahatan melalui mekanisme normatif dari pengawasan kejahatan yang bekerja secara resmi untuk membawa pelaku perilaku yang dilarang sebagai seseorang yang tidak konsisten dengan norma-norma hukum, sehingga apapun alasannya, pelaku harus dihukum (Flavin, 2001). Dalam kasus Mojokerto, istri yang membunuh suaminya, meskipun ia mengakui perbuatannya, namun sang korban (suami) juga diduga memiliki kontribusi dengan keterlibatannya dalam perjudian online yang memicu emosi sang istri. Dalam hal ini, sang suami dapat dikategorikan sebagai victim with minor guilt, provocative victim atau participating victim (Mendelsohn & Wolfgang, 1976).
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang kurang memperhatikan kebutuhan serta perlindungan perempuan korban KDRT menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus KDRT (Situmoran & Susnati, 2022). Aturan hukum yang melindungi perempuan masih rapuh (Putra, dkk., 2018). Hal ini selaras dengan temuan Sette (2023) yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perempuan tidak melaporkan kekerasan yang dialami adalah ketidakpercayaan mereka pada sistem peradilan. Menurut Wolfgang (1957;1967), victim precipitation umum ditemukan pada kasus pembunuhan antara pasangan intim (intimate partner homicides/IPHs), terutama yang melibatkan perempuan sebagai pelaku dan laki-laki sebagai korban (Suonpaa & Savolainen, 2019). Dengan demikian, pembunuhan antara pasangan intim yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki cenderung melibatkan peran korban (laki-laki), hingga akhirnya perempuan mengambil tindakan untuk membunuhnya.
Kesimpulan
Secara umum, perspektif kriminologi feminis dalam tulisan ini menekankan pentingnya memahami alasan di balik tindakan kejam seorang istri yang membunuh suaminya, seperti dalam kasus di Mojokerto. Pendekatan ini berupaya untuk menganalisis permasalahan dari sudut pandang korban, dalam hal ini adalah sang istri. Kriminologi feminis tidak sekedar melihat kejahatan yang terjadi, tetapi juga berusaha menggali latar belakang dan factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tindakan kejahatan tersebut. Meskipun sang istri mengaku bersalah, perspektif ini mengedepankan konsep 'Blurred Boundaries', yang memandang adanya tumpeng tindih antara posisi korban dan pelaku. Dengan demikian, keadilan tidak hanya ditentukan oleh definisi normatif pelanggaran huku, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman dan kondisi korban secara komprehensif. Kriminologi feminis percaya bahwa penghukuman harus disesuaikan dengan konteks dan melibatkan pemahaman terhadap konsep ‘victim precipitation’ yang mengakui adanya peran korban dalam memicu terjadinya kejahatan.(abd)