Masalah RUU Penyiaran

Selasa, 28 Mei 2024 - 20:18 WIB
loading...
A A A
Namun demikian, di dalam RUU Perubahan Kedua UU Penyiaran Tahun 2002 masih tampak beberapa norma khususnya yang merupakan larangan yang memerlukan kajian mendalam karena rentan terhadap kekuasaan negara yang bersifat eksesif dan sewenang-wenang dengan alasan. Pertama, terdapat 27 (dua puluh tujuh) Panduan Etika Perilaku Penyelenggaraan Penyiaran (P3)- Pasal 48 A. Kedua, terdapat 26 (dua puluh enam) Standar Isi Siaran (SIS)-Pasal 50 B yang telah dirumuskan secara kumulatif sehingga terdapat “jebakan batman” yang memudahkan terjadinya pelanggaran.

Namun demikian sanksi atas pelanggaran di dalam RUU Penyiaran tersebut hanya berupa sanksi administrasi, dan terberat adalah sanksi penghentian isi, tidak terdapat ketentuan mengenai sanksi pidana kecuali ketentuan tentang perselisihan yang dalam praktik lebih menggunakan sarana hukum keperdataan saja dan bersifat pelaporan dan pengaduan dari salah satu pihak. Pencabutan IPP itu pun harus dalam bentuk rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Pemerintah. Tanpa rekomendasi tidak akan terjadi pencabutan IPP.



Kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian aspek hukum RUU Penyiaran 2023 adalah, bahwa substansi RUU dimaksud tidak “seseram” yang disuarakan masyarakat sipil dan aliansi jurnalis selama ini, karena RUU Penyiaran 2023 bertujuan pencegahan semata-mata daripada bersifat represif, hanya saja dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam hak dan kebebasan berpendapat di muka umum sehubungan dengan 27 (dua puluh tujuh) P3, dan terdapat 26 (dua puluh enam) SIS yang telah dirumuskan secara kumulatif.
(zik)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1842 seconds (0.1#10.140)