Bandwagon Effect

Jum'at, 07 Desember 2018 - 07:58 WIB
Bandwagon Effect
Bandwagon Effect
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

ISTILAH bandwagon mulai diperkenalkan pada pertengahan abad ke-19 di Amerika Serikat, mengacu pada sebuah parade musik dan sirkus. Di situ terdapat kereta khusus yang membawa alat musik dan para pemainnya untuk menyemarakkan suasana parade.

Kereta musik (bandwagon) ini sangat menarik perhatian orang banyak, baik karena alunan musiknya maupun penampilan para pemainnya sehingga orang yang mendengar lalu datang berduyun-duyun ikut meramaikan parade sambil menikmati permainan musik.

Jalanan menjadi semakin ramai, suasana kian meriah, sehingga parade menjadi success story yang disukai rakyat dan ingin diadakan setiap tahun, terutama oleh para politisi untuk merebut hati dan suara rakyat.

Sejak itu muncul istilah turunannya, yaitu jump on the bandwagon. Politisi yang ingin dikenal publik akan berebut loncat dan naik ke atas kereta musik, mengingat sorot mata masyarakat akan tertuju ke sana. Dengan berdiri di atas bandwagon, maka seorang politisi berharap nama dan wajahnya semakin terkenal.

Kemeriahan panggung musik dan tontonan ini melahirkan fenomena turunannya disebut bandwagon effect yang sangat disadari kalangan politisi dan pebisnis. Ketika sebuah produk dan model tertentu dipakai oleh seorang selebritas di atas bandwagon, maka orang banyak akan mengikutinya. Masyarakat luas akan ikut-ikutan dan berusaha memiliki produk serta model yang sama agar ikut keren seperti selebritas.

Ketika seseorang mengenakan produk yang dipakai kalangan oleh selebritas, maka dia merasa seakan menjadi bagian dari mereka. Namun, ketika pemakai produk itu telah masif dan tak lagi esklusif, maka produsen dan desainer segera akan mengeluarkan produk baru. Perilaku ikut-ikutan inilah dimaksud dengan bandwagon effect yang secara sadar dan terencana diciptakan oleh kalangan pebisnis dan politisi.

Lalu, bagaimana implikasi bandwagon effect dalam politik? Tidak jauh berbeda dari dunia bisnis, dalam dunia politik para politisi ingin meraih hati dan suara rakyat mesti sering-sering menyelenggarakan parade serta panggung hiburan ataupun orasi politik yang mampu menyedot perhatian publik secara masif. Tokoh politisi dan selebritas ditampilkan untuk menarik massa.

Makanya, tidak mengherankan jika setiap menjelang pilkada dan pemilu bermunculan panggung politik diselingi penampilan musik dan artis ternama dalam mendulang suara. Tidak hanya panggung orasi dan musik, bermunculan juga baliho-baliho memperkenalkan wajah tokoh-tokoh politik yang tengah bertarung dengan harapan foto itu akan terekam dalam memori calon pemilih sehingga ketika tiba hari pencoblosan suara mereka akan memilihnya. Foto-foto itu dibuat secantik dan setampan mungkin agar menarik.

Dalam teori psikologi massa, masyarakat cenderung beranggapan bahwa apapun yang dilakukan orang banyak akan dianggap bagus dan benar. Ukuran benar dan salah, baik dan buruk, akan ditimbang berdasarkan banyaknya massa yang mendukungnya, bukan berdasarkan hasil pemikiran logis dan kritis.

Dengan kata lain, massa lebih menyukai sikap emosional berdasarkan perasaan suka dan tidak suka, bukannya pemikiran logis dan tidak logis. Efek bandwagon lebih bersifat emosional ketimbang rasional.

Apakah bandwagon effect itu salah? Jawabnya bisa iya, bisa tidak, perlu dikaji kasus dan peristiwanya. Hal yang perlu digarisbawahi, mereka termakan bandwagon effect adalah orang-orang yang tidak punya pengetahuan cukup untuk membuat keputusan rasional dan tegas.

Dalam istilah politik, mereka masuk kategori floating mass atau massa mengambang. Atau mereka masih ragu-ragu sehingga membuatnya mantap atas pilihannya. Akhir-akhir ini di saat menjelang pemilu, kita akan disuguhi berbagai panggung politik untuk menarik massa sebanyak-banyaknya dengan harapan agar terjadi bandwagon effect.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3815 seconds (0.1#10.140)