Ambil Alih FIR, Indonesia Untung dan Singapura Rugi?

Senin, 08 April 2024 - 05:10 WIB
loading...
A A A
DCA Indonesia-Singapura bisa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari penyerahan kendali FIR. Untuk diketahui DCA sudah jauh hari diteken kedua negara, tepatnya pada 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali. Sebagai tindaklanjut, pemerintah menetapkan UU No Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Indonesia-Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan.

Sebelum kesepakatan 2007, pembicaran DCA telah berlangsung sejak Juli 2005 selama tujuh kali putaran. Putaran terakhir dilaksanakan pada 5 Desember-6 Desember 2006 dengan menyepakati 13 pasal dan empat pasal lainnya belum tercapai kesepakatan. Pembahasan tersebut dilakukan pararel membahas mengenai ekstradisi antara dua negara dan selalu dikoordinasikan dengan pihak Departemen Luar Negeri, sehingga nantinya kerja sama pertahanan kedua negara dapat benar-benar mendukung kepentingan nasional Indonesia.

Di antara poin perjanjian adalah secara bersama atau masing-masing melaksanakan latihan dan pelatihan, operasi bersama, serta dukungan logistik antara kedua angkatan bersenjata termasuk akses bersama pada wilayah latihan dan fasilitas di bagian tertentu. Secara spesifik, kerja sama latihan diatur dalam pasal 3 DCA. Poin pertama pasal tersebut mengatur tentang pembangunan daerah latihan bersama beserta fasilitasnya, di antaranya meliputi pemulihan dan pemeliharaan air combat manoevering range (ACMR) serta infrastruktur dan instrument terkait.

Lalu, pembangunan overland flying arena range (OFTA), pengoperasian dan pemeliharaan Siabu Air Weapons Range (AWR); penetapan Pulau Kayu Ara sebagai daerah bantuan tembakan laut, pemberian bantuan teknis untuk Angkatan Laut dan akses pada fasilitas latihan Angkatan Laut; pengembangan dan pengembangan daerah latihan di Baturaja; dan keberlanjutan pemberian bantuan pelatihan oleh Angkatan Bersenjata Singapura kepada TNI pada bidang simulator dan teknik.

Poin kedua mengatur penyediaan akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan Singapore Air Force (SAF). Akses wilayah dimaksud meliputi Area Alfa 1 untuk tes kelaikan udara, check penanganan dan latihan terbang; Area Alfa 2 untuk latihan matra udara; Area Bravo untuk latihan manuver laut repubic of Singapore Navy (RSN), termasuk bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic of Singapore Air Force (RSAF).

Selanjutnya, poin ketiga menyebut pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam Implementing Arrangement (IA). Poin keempat SAF diperbolehkan latihan bersama negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan seizin Indonesia. Poin kelima Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta Latihan.

Poin keenam personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan angkatan bersenjata Singapura. DCA juga menyebut bahwa jangka waktu perjanjian berlaku untuk 25 tahun dan DCA maupun IA akan ditinjau setiap 6 tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun. DCA dan IA diperbarui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan terkecuali atas kesepakatan bersama.

Sebelum kesepakatan pengambilalihan FIR yang dibarengi dengan kesepakatan Extradition Treaty dan DCA, Indonesia-Singapura seolah tidak pernah berhenti melakukan tarik ulur. Di era Menteri Pertahanan dipegang Purnomo Yusgiantoro misalnya, Indonesia menegaskan menghentikan pembahasan DCA hingga terjadi kesepakatan perjanjian ekstradisi. Kala itu, sejumlah terduga pelaku korupsi seperti Nunun Nurbaeti, Muhammad Nazzarudin, dan para tersangka kasus BLBI yang sebagian besar "lari" ke Singapura tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.

baca juga: Ambil Alih Ruang Kendali Udara dari Singapura, Indonesia Perkuat Kedaulatan Udara

Purnomo menegaskan setiap kerja sama pertahanan yang dilakukan dengan sejumlah pihak harus ada kesepakatan pelaksanaannya (implementing agreement). Selain terganjal ekstradisi, DCA juga terganjang persoalan IA Military Training Area (MTA) di Area Bravo yang berada di Kepulauan Natuna. Pihak Singapura sempat mengabaikannya dan tidak membahas lebih lanjut dengan mitranya Indonesia. Itulah yang menjadi alasan Singapura belum menyepakati perjanjian ekstradisi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1776 seconds (0.1#10.140)