Ambil Alih FIR, Indonesia Untung dan Singapura Rugi?
loading...
A
A
A
HAK kontrol atas ruang udara atau Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna akhirnya dipegang Indonesia setelah sekian lama dikuasai Singapura. Perkembangan tersebut mengindikasikan pengakuan internasional terhadap ruang udara Indonesia.
baca juga: Flight Information Region
Kesepakatan penyesuaian FIR ini akan berlaku selama 25 tahun ke depan dan bisa diperpanjang dengan persetujuan kedua negara. Pasca-penandatanganan Peraturan Presiden atau Perpres 109 Tahun 2022 tentang Pengesahan perjanjian FIR Indonesia dan Singapura, FIR Indonesia yang dikelola Jakarta semakin luas, yakni mencapai hingga 249.575 km2 menjadi 2.842.725 km2 atau bertambah 9,5 persen.
Setelah menyelesaikan perjanjian pengaturan ulang ruang udara atau re-alignment FIR dengan pemerintah Singapura, Indonesia akan mengatur sendiri ruang udara di atas dua kepulauan tersebut. Ketentuan ini telah berlaku efektif mulai 21 Maret 2024 pukul 20.00 UTC atau 22 Maret 2024 pukul 03.00 WIB. Dengan kendali ini, pesawat yang terbang di wilayah pengaturan ulang FIR ini akan mendapatkan layanan navigasi penerbangan dari Indonesia.
Melalui Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Indonesia memastikan akan berupaya semaksimal mungkin mengelola ruang udara Indonesia berlangsung selamat, efektif, sesuai kepentingan nasional dan memenuhi pelayanan jasa penerbangan sipil berstandar internasional. Menhub juga menyatakan, perkembangan ini menjadi momentum melakukan modernisasi peralatan navigasi penerbangan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Berdasar keterangan Kemenhub, pengalihan operasional pelayanan navigasi penerbangan dilakukan usai Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian pengaturan ruang udara di kedua wilayah tersebut di Bintan, pada 25 Januari 2022. Kemudian diratifikasi Perpres 109 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Batas antara FIR Jakarta dan FIR Singapura. Penyesuaian batas FIR Jakarta dan FIR Singapura telah melalui pembahasan pada International Civil Aviation Organization (ICAO), yang ditandai keluarnya persetujuan dari ICAO pada 15 Desember 2023.
Dengan penguasaan atas FIR, Indonesia akan mendapatkan charge jasa layanan penerbangan. Indonesia bisa menikmati peningkatan pendapatan negara yang bersumber dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan yang diberlakukan pada daerah tambahan FIR Jakarta.Sebagai informasi, pemungutan Route Air Navigation Services (RANS) Charges pada area ruang udara Sektor A dan B, mulai dari ketinggian 0 sampai dengan 37.000 kaki dilakukan mulai 21 Maret 2024, sesuai kesepakatan antara Indonesia dan Singapura. Sementara area ruang udara di luar sektor tersebut, yang terdampak penyesuaian FIR Jakarta-Singapura pemungutannya dilakukan oleh Perum LPPNPI sesuai ketentuan berlaku.
baca juga: Indonesia-Singapura Serentak Terapkan Perjanjian Layanan Ruang Udara, Pertahanan, dan Ekstradisi
Kemenhub juga memastikan akan menempatkan personel Civil Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC). Para personel tersebut telah mendapatkan pembekalan teknis peralatan di Makassar Air Traffic Control Center, simulasi SOP secara langsung di SATCC, dan pelatihan sistem pertahanan udara nasional di Wingdik 700 Surabaya. Mereka akan berjaga selama 24 jam penuh untuk memantau pesawat-pesawat dari Indonesia ke Singapura dan sebaliknya.
Sukses Indonesia merebut FIR merupakan capaian positif yang patut diapresiasi. Kendati demikian, masih ada pertanyaan tersisa dari proses tersebut, yakni apakah goal dari upaya tersebut adalah untuk menegaskan kedaulatan NKRI atas kedaulatan wilayah udara di Natuna yang selama ini dikuasai Singapura, atau sekadar mendapatkan charge jasa layanan penerbangan? Poinnya, apakah Indonesia mengambil untung sepenuhnya atas kebijakan tersebut, dan sebaliknya Singapura rugi besar atas hilangnya hak atas kendali FIR?
Kepentingan Nasional Vs Hubungan Bilateral
Langkah Indonesia mengambil alih kendali FIR tentu merupakan bagian dari kepentingan nasional, seperti tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Kepentingan nasional dimaksud yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, kepentingan nasional mengarah pada tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi memberi perlindungan fisik bangsa dan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan yang berasal dari luar serta perlindungan hak-hak setiap warga, komunitas, dan wilayah dari kemungkinan eksploitasi oleh pihak manapun. Dengan demikian, motif pertahanan tetap menjadi tujuan utama di balik perjuangan merebut kendali FIR dari Singapura.
baca juga: KSAU Dorong Pembentukan Badan Pengelola Ruang Udara Nasional
Di sisi lain, ada perspektif lain yang tidak bisa dinafikkan, yakni hubungan bilateral Indonesia-Singapura. Hubungan kedua negara sangat erat, bukan hanya karena faktor geografis melainkan juga faktor sejarah. Keduanya merupakan negara bertetangga yang abadi, sehingga keamanan dan stabilitas di wilayah ini menjadi kepentingan vital bersama guna menjamin terlaksananya pembangunan di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat kedua negara.
Dalam Buku Putih Pertahanan disebutkan, Singapura adalah mitra tradisional Indonesia dalam kerja sama bilateral pertahanan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan kedua negara di bidang pertahanan. Perjanjian tentang operasional FIR ditandatangani tanggal 21 September 1995 merupakan bagian dari kerja sama pertahanan. Pasalnya, secara paralel dengan perjanjuan FIR terdapat juga Perjanjian Indonesia – Singapura tentang Military Training Area (MTA) 1996- 2005, dan Singapura diberikan akses untuk latihan di ruang laut dan udara Indonesia di Laut Natuna dan sekitarnya.
Kendati demikian, pemerintah Indonesia tak henti membangun komunikasi dengan Pemerintah Singapura melakukan penataan kembali FIR demi mengambil hak eksklusif mengontrol kedaulatan wilayah udara nasional. Titik terang mulai dicapai saat Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sepakat soal pengambilalihan FIR Riau-Natuna sejak awal tahun lalu pada momen Leaders Retreat yang digelar di Bintan, 25 Januari 2022.
Selain perjanjian soal FIR, kesepakatan yang diraih di Bintan juga diikuti dengan dua kesepakatan strategis lain lain, yakni perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty) dan kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement (DCA)). Ketiga perjanjian diarahkan untuk semakin memperkuat hubungan kerjasama Indonesia-Singapura di masa depan. Untuk pemberlakuan perjanjian ekstradisi, misalnya, dilakukan untuk memberikan kerangka penegakan hukum yang lebih baik bagi kedua negara dalam mengatasi berbagai bentuk dan modus kejahatan yang terus berkembang.
Menko Marves Luhut B Panjaitan memaparkan, kerangka perjanjian yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi akan mengakomodasi 31 jenis tindak pidana serta bentuk kejahatan lain yang tidak disebutkan di dalamnya. Menurut dia, kondisi tersebut menandakan bahwa kerja sama yang dibangun akan bersifat adaptif yang memungkinkan perjanjian ini mengikuti bentuk dan modus kejahatan yang terus berkembang.
Selain itu, pemberlakuan masa retroaktif hingga 18 tahun (dari semula hanya 15 tahun) memungkinkan penyelarasan dengan ketentuan hukum pidana nasional. Dengan demikian, kejahatan di masa lalu bisa ditarik dalam hukum Indonesia. Sedangkan untuk kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura akan memberi kerangka kerja sama pertahanan, termasuk di dalamnya menfasilitasi kerja sama militer yang saling menguntungkan dengan tetap menghormati integritas kedaulatan kedua negara.
baca juga: Indonesia Hanya Kendalikan Ruang Udara 37 Ribu Kaki ke Atas, KSAU: Itu Keputusan Terbaik
Ruang lingkup kerja sama di dalamnya sangatlah luas, termasuk keberadaan 8 area kerja sama yang diatur dan semuanya disusun dalam kerangka untuk memberikan keuntungan bagi kedua negara. Sebagai informasi, Indonesia telah menyelesaikan proses domestik untuk FIR melalui Peraturan Presiden No. 109 tahun 2022, DCA melalui UU No. 3 tahun 2023 dan Esktradisi melalui UU No. 5 tahun 2023.
Win-win Solution
Sukses Indonesia mengambil alih kendali FIR bukanlah variabel tunggal, karena diikuti dengan sejumlah kerja sama lain, dalam konteks ini adalah perjanjian ekstradisi dan kerja sama pertahanan atau DCA. Selain itu, ada sejumlah kerja sama lain yang tak kalah penting untuk memperkokoh hubungan bilateral kedua negara.
Saat Leaders Retreat, Jokowi dan Lee Hsien Loong menyepakati 20 letter of intent, dengan skup kerja sama di antaranya, 9 MoU B-to-B di bidang energi, healthcare dan digital, dan 7 MoU G-to-G antara lain di bidang energi, kesehatan, dan digital. Pertemuan juga membahas kelanjutan enam kelompok kerja antar kedua negara yaitu kelompok kerja Batam, Bintan, Karimun (BBK) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) lainnya, kelompok kerja investasi dan kelompok kerja transportasi, kelompok kerja pariwisata, kelompok kerja tenaga kerja dan kelompok kerja agribisnis.
Selain itu, pembicaraan juga menyinggung upaya menarik arus modal masuk dari Singapura di Kendal Industrial Park yang menjadi KEK. Tak kalah pentingnya adalah pembahasan langkah tindak lanjut Bilateral Investment Treaty (BIT) antara Indonesia dan Singapura yang diperlukan bagi perlindungan investasi, dan pengkajian kembali terhadap Perjanjian Double Taxation Avoidance (DTA) yang bertujuan untuk meningkatkan level kompetisi dan iklim investasi di kedua negara.
Kerja sama ekonomi Indonesia-Singapura terbilang erat dan menempatkan Singapura sebagai salah satu mitra terpenting. Berdasar laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2023 lalu negara kota itu merupakan asal investasi penanaman modal asing (PMA) terbesar di Indonesia, dengan nilai USD15,4 miliar. Di sisi lain Indonesia merupakan mitra dagang terbesar kedua Singapura di ASEAN, dengan pangsa 17% dari total perdagangan.
Total nilai perdagangan bilateral pada 2022 mencapai USD33,8 miliar, meningkat 24,6% year on year dibanding 2021. Dari berbagai fakta kerja sama Indonesia-Singapura, langkah merebut FIR tidak bisa dipandang sebagai bentuk konflik zero sum game, karena ternyata Indonesia masih mengedepankan hubungan bilateral di antara Indonesia keduanya.
Karena itu, walaupun mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna sangat urgen untuk menegaskan kedaulatan atas wilayah udara tersebut, Indonesia ternyata masih longgar dalam konteks kerja sama pertahanan. Singapura masih mendapat tempat wilayah NKRI untuk melakukan latihan militer.
baca juga: Jokowi Teken Perpres FIR, Ruang Udara di Atas Kepulauan Riau dan Natuna Kembali ke NKRI
DCA Indonesia-Singapura bisa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari penyerahan kendali FIR. Untuk diketahui DCA sudah jauh hari diteken kedua negara, tepatnya pada 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali. Sebagai tindaklanjut, pemerintah menetapkan UU No Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Indonesia-Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan.
Sebelum kesepakatan 2007, pembicaran DCA telah berlangsung sejak Juli 2005 selama tujuh kali putaran. Putaran terakhir dilaksanakan pada 5 Desember-6 Desember 2006 dengan menyepakati 13 pasal dan empat pasal lainnya belum tercapai kesepakatan. Pembahasan tersebut dilakukan pararel membahas mengenai ekstradisi antara dua negara dan selalu dikoordinasikan dengan pihak Departemen Luar Negeri, sehingga nantinya kerja sama pertahanan kedua negara dapat benar-benar mendukung kepentingan nasional Indonesia.
Di antara poin perjanjian adalah secara bersama atau masing-masing melaksanakan latihan dan pelatihan, operasi bersama, serta dukungan logistik antara kedua angkatan bersenjata termasuk akses bersama pada wilayah latihan dan fasilitas di bagian tertentu. Secara spesifik, kerja sama latihan diatur dalam pasal 3 DCA. Poin pertama pasal tersebut mengatur tentang pembangunan daerah latihan bersama beserta fasilitasnya, di antaranya meliputi pemulihan dan pemeliharaan air combat manoevering range (ACMR) serta infrastruktur dan instrument terkait.
Lalu, pembangunan overland flying arena range (OFTA), pengoperasian dan pemeliharaan Siabu Air Weapons Range (AWR); penetapan Pulau Kayu Ara sebagai daerah bantuan tembakan laut, pemberian bantuan teknis untuk Angkatan Laut dan akses pada fasilitas latihan Angkatan Laut; pengembangan dan pengembangan daerah latihan di Baturaja; dan keberlanjutan pemberian bantuan pelatihan oleh Angkatan Bersenjata Singapura kepada TNI pada bidang simulator dan teknik.
Poin kedua mengatur penyediaan akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan Singapore Air Force (SAF). Akses wilayah dimaksud meliputi Area Alfa 1 untuk tes kelaikan udara, check penanganan dan latihan terbang; Area Alfa 2 untuk latihan matra udara; Area Bravo untuk latihan manuver laut repubic of Singapore Navy (RSN), termasuk bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic of Singapore Air Force (RSAF).
Selanjutnya, poin ketiga menyebut pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam Implementing Arrangement (IA). Poin keempat SAF diperbolehkan latihan bersama negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan seizin Indonesia. Poin kelima Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta Latihan.
Poin keenam personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan angkatan bersenjata Singapura. DCA juga menyebut bahwa jangka waktu perjanjian berlaku untuk 25 tahun dan DCA maupun IA akan ditinjau setiap 6 tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun. DCA dan IA diperbarui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan terkecuali atas kesepakatan bersama.
Sebelum kesepakatan pengambilalihan FIR yang dibarengi dengan kesepakatan Extradition Treaty dan DCA, Indonesia-Singapura seolah tidak pernah berhenti melakukan tarik ulur. Di era Menteri Pertahanan dipegang Purnomo Yusgiantoro misalnya, Indonesia menegaskan menghentikan pembahasan DCA hingga terjadi kesepakatan perjanjian ekstradisi. Kala itu, sejumlah terduga pelaku korupsi seperti Nunun Nurbaeti, Muhammad Nazzarudin, dan para tersangka kasus BLBI yang sebagian besar "lari" ke Singapura tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.
baca juga: Ambil Alih Ruang Kendali Udara dari Singapura, Indonesia Perkuat Kedaulatan Udara
Purnomo menegaskan setiap kerja sama pertahanan yang dilakukan dengan sejumlah pihak harus ada kesepakatan pelaksanaannya (implementing agreement). Selain terganjal ekstradisi, DCA juga terganjang persoalan IA Military Training Area (MTA) di Area Bravo yang berada di Kepulauan Natuna. Pihak Singapura sempat mengabaikannya dan tidak membahas lebih lanjut dengan mitranya Indonesia. Itulah yang menjadi alasan Singapura belum menyepakati perjanjian ekstradisi.
Melihat dinamika hubungan Indonesia-Singapura, maka kesepakatan FIR, ekstradisi, dan DCA merupakan satu paket yang tidak bisa terpisahkan. Karena itulah, begitu kesepakatan diraih, maka Singapura masih mendapatkan ruang di wilayah NKRI untuk kepentingan militernya. Di sisi lain, tentu saja Indonesia mendapatkan kontrol sepenuhnya atas kedaulatannya dan mendapatkan akses untuk penegakkan hukum di negara yang selama ini menjadi tempat pelarian WNI yang tersangkut kasus hukum, terutama koruptor.
Di sisi lain, Indonesia juga berkepentingan terus menjaga hubungan bilateral dengan Singapura mengingat posisi penting negeri tersebut dan simbiosis mutualisme yang terbangun dalam konteks pembangunan perekonomian. Dengan demikian, relasi yang terbangun bersifat win-win, bukan zero sum game. (*)
baca juga: Flight Information Region
Kesepakatan penyesuaian FIR ini akan berlaku selama 25 tahun ke depan dan bisa diperpanjang dengan persetujuan kedua negara. Pasca-penandatanganan Peraturan Presiden atau Perpres 109 Tahun 2022 tentang Pengesahan perjanjian FIR Indonesia dan Singapura, FIR Indonesia yang dikelola Jakarta semakin luas, yakni mencapai hingga 249.575 km2 menjadi 2.842.725 km2 atau bertambah 9,5 persen.
Setelah menyelesaikan perjanjian pengaturan ulang ruang udara atau re-alignment FIR dengan pemerintah Singapura, Indonesia akan mengatur sendiri ruang udara di atas dua kepulauan tersebut. Ketentuan ini telah berlaku efektif mulai 21 Maret 2024 pukul 20.00 UTC atau 22 Maret 2024 pukul 03.00 WIB. Dengan kendali ini, pesawat yang terbang di wilayah pengaturan ulang FIR ini akan mendapatkan layanan navigasi penerbangan dari Indonesia.
Melalui Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Indonesia memastikan akan berupaya semaksimal mungkin mengelola ruang udara Indonesia berlangsung selamat, efektif, sesuai kepentingan nasional dan memenuhi pelayanan jasa penerbangan sipil berstandar internasional. Menhub juga menyatakan, perkembangan ini menjadi momentum melakukan modernisasi peralatan navigasi penerbangan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Berdasar keterangan Kemenhub, pengalihan operasional pelayanan navigasi penerbangan dilakukan usai Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian pengaturan ruang udara di kedua wilayah tersebut di Bintan, pada 25 Januari 2022. Kemudian diratifikasi Perpres 109 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Batas antara FIR Jakarta dan FIR Singapura. Penyesuaian batas FIR Jakarta dan FIR Singapura telah melalui pembahasan pada International Civil Aviation Organization (ICAO), yang ditandai keluarnya persetujuan dari ICAO pada 15 Desember 2023.
Dengan penguasaan atas FIR, Indonesia akan mendapatkan charge jasa layanan penerbangan. Indonesia bisa menikmati peningkatan pendapatan negara yang bersumber dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan yang diberlakukan pada daerah tambahan FIR Jakarta.Sebagai informasi, pemungutan Route Air Navigation Services (RANS) Charges pada area ruang udara Sektor A dan B, mulai dari ketinggian 0 sampai dengan 37.000 kaki dilakukan mulai 21 Maret 2024, sesuai kesepakatan antara Indonesia dan Singapura. Sementara area ruang udara di luar sektor tersebut, yang terdampak penyesuaian FIR Jakarta-Singapura pemungutannya dilakukan oleh Perum LPPNPI sesuai ketentuan berlaku.
baca juga: Indonesia-Singapura Serentak Terapkan Perjanjian Layanan Ruang Udara, Pertahanan, dan Ekstradisi
Kemenhub juga memastikan akan menempatkan personel Civil Military Cooperation in Air Traffic Management (CMAC) di Singapore Air Traffic Control Center (SATCC). Para personel tersebut telah mendapatkan pembekalan teknis peralatan di Makassar Air Traffic Control Center, simulasi SOP secara langsung di SATCC, dan pelatihan sistem pertahanan udara nasional di Wingdik 700 Surabaya. Mereka akan berjaga selama 24 jam penuh untuk memantau pesawat-pesawat dari Indonesia ke Singapura dan sebaliknya.
Sukses Indonesia merebut FIR merupakan capaian positif yang patut diapresiasi. Kendati demikian, masih ada pertanyaan tersisa dari proses tersebut, yakni apakah goal dari upaya tersebut adalah untuk menegaskan kedaulatan NKRI atas kedaulatan wilayah udara di Natuna yang selama ini dikuasai Singapura, atau sekadar mendapatkan charge jasa layanan penerbangan? Poinnya, apakah Indonesia mengambil untung sepenuhnya atas kebijakan tersebut, dan sebaliknya Singapura rugi besar atas hilangnya hak atas kendali FIR?
Kepentingan Nasional Vs Hubungan Bilateral
Langkah Indonesia mengambil alih kendali FIR tentu merupakan bagian dari kepentingan nasional, seperti tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Kepentingan nasional dimaksud yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, kepentingan nasional mengarah pada tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi memberi perlindungan fisik bangsa dan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan yang berasal dari luar serta perlindungan hak-hak setiap warga, komunitas, dan wilayah dari kemungkinan eksploitasi oleh pihak manapun. Dengan demikian, motif pertahanan tetap menjadi tujuan utama di balik perjuangan merebut kendali FIR dari Singapura.
baca juga: KSAU Dorong Pembentukan Badan Pengelola Ruang Udara Nasional
Di sisi lain, ada perspektif lain yang tidak bisa dinafikkan, yakni hubungan bilateral Indonesia-Singapura. Hubungan kedua negara sangat erat, bukan hanya karena faktor geografis melainkan juga faktor sejarah. Keduanya merupakan negara bertetangga yang abadi, sehingga keamanan dan stabilitas di wilayah ini menjadi kepentingan vital bersama guna menjamin terlaksananya pembangunan di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat kedua negara.
Dalam Buku Putih Pertahanan disebutkan, Singapura adalah mitra tradisional Indonesia dalam kerja sama bilateral pertahanan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan kedua negara di bidang pertahanan. Perjanjian tentang operasional FIR ditandatangani tanggal 21 September 1995 merupakan bagian dari kerja sama pertahanan. Pasalnya, secara paralel dengan perjanjuan FIR terdapat juga Perjanjian Indonesia – Singapura tentang Military Training Area (MTA) 1996- 2005, dan Singapura diberikan akses untuk latihan di ruang laut dan udara Indonesia di Laut Natuna dan sekitarnya.
Kendati demikian, pemerintah Indonesia tak henti membangun komunikasi dengan Pemerintah Singapura melakukan penataan kembali FIR demi mengambil hak eksklusif mengontrol kedaulatan wilayah udara nasional. Titik terang mulai dicapai saat Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sepakat soal pengambilalihan FIR Riau-Natuna sejak awal tahun lalu pada momen Leaders Retreat yang digelar di Bintan, 25 Januari 2022.
Selain perjanjian soal FIR, kesepakatan yang diraih di Bintan juga diikuti dengan dua kesepakatan strategis lain lain, yakni perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty) dan kerja sama pertahanan (Defence Cooperation Agreement (DCA)). Ketiga perjanjian diarahkan untuk semakin memperkuat hubungan kerjasama Indonesia-Singapura di masa depan. Untuk pemberlakuan perjanjian ekstradisi, misalnya, dilakukan untuk memberikan kerangka penegakan hukum yang lebih baik bagi kedua negara dalam mengatasi berbagai bentuk dan modus kejahatan yang terus berkembang.
Menko Marves Luhut B Panjaitan memaparkan, kerangka perjanjian yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi akan mengakomodasi 31 jenis tindak pidana serta bentuk kejahatan lain yang tidak disebutkan di dalamnya. Menurut dia, kondisi tersebut menandakan bahwa kerja sama yang dibangun akan bersifat adaptif yang memungkinkan perjanjian ini mengikuti bentuk dan modus kejahatan yang terus berkembang.
Selain itu, pemberlakuan masa retroaktif hingga 18 tahun (dari semula hanya 15 tahun) memungkinkan penyelarasan dengan ketentuan hukum pidana nasional. Dengan demikian, kejahatan di masa lalu bisa ditarik dalam hukum Indonesia. Sedangkan untuk kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura akan memberi kerangka kerja sama pertahanan, termasuk di dalamnya menfasilitasi kerja sama militer yang saling menguntungkan dengan tetap menghormati integritas kedaulatan kedua negara.
baca juga: Indonesia Hanya Kendalikan Ruang Udara 37 Ribu Kaki ke Atas, KSAU: Itu Keputusan Terbaik
Ruang lingkup kerja sama di dalamnya sangatlah luas, termasuk keberadaan 8 area kerja sama yang diatur dan semuanya disusun dalam kerangka untuk memberikan keuntungan bagi kedua negara. Sebagai informasi, Indonesia telah menyelesaikan proses domestik untuk FIR melalui Peraturan Presiden No. 109 tahun 2022, DCA melalui UU No. 3 tahun 2023 dan Esktradisi melalui UU No. 5 tahun 2023.
Win-win Solution
Sukses Indonesia mengambil alih kendali FIR bukanlah variabel tunggal, karena diikuti dengan sejumlah kerja sama lain, dalam konteks ini adalah perjanjian ekstradisi dan kerja sama pertahanan atau DCA. Selain itu, ada sejumlah kerja sama lain yang tak kalah penting untuk memperkokoh hubungan bilateral kedua negara.
Saat Leaders Retreat, Jokowi dan Lee Hsien Loong menyepakati 20 letter of intent, dengan skup kerja sama di antaranya, 9 MoU B-to-B di bidang energi, healthcare dan digital, dan 7 MoU G-to-G antara lain di bidang energi, kesehatan, dan digital. Pertemuan juga membahas kelanjutan enam kelompok kerja antar kedua negara yaitu kelompok kerja Batam, Bintan, Karimun (BBK) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) lainnya, kelompok kerja investasi dan kelompok kerja transportasi, kelompok kerja pariwisata, kelompok kerja tenaga kerja dan kelompok kerja agribisnis.
Selain itu, pembicaraan juga menyinggung upaya menarik arus modal masuk dari Singapura di Kendal Industrial Park yang menjadi KEK. Tak kalah pentingnya adalah pembahasan langkah tindak lanjut Bilateral Investment Treaty (BIT) antara Indonesia dan Singapura yang diperlukan bagi perlindungan investasi, dan pengkajian kembali terhadap Perjanjian Double Taxation Avoidance (DTA) yang bertujuan untuk meningkatkan level kompetisi dan iklim investasi di kedua negara.
Kerja sama ekonomi Indonesia-Singapura terbilang erat dan menempatkan Singapura sebagai salah satu mitra terpenting. Berdasar laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada 2023 lalu negara kota itu merupakan asal investasi penanaman modal asing (PMA) terbesar di Indonesia, dengan nilai USD15,4 miliar. Di sisi lain Indonesia merupakan mitra dagang terbesar kedua Singapura di ASEAN, dengan pangsa 17% dari total perdagangan.
Total nilai perdagangan bilateral pada 2022 mencapai USD33,8 miliar, meningkat 24,6% year on year dibanding 2021. Dari berbagai fakta kerja sama Indonesia-Singapura, langkah merebut FIR tidak bisa dipandang sebagai bentuk konflik zero sum game, karena ternyata Indonesia masih mengedepankan hubungan bilateral di antara Indonesia keduanya.
Karena itu, walaupun mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna sangat urgen untuk menegaskan kedaulatan atas wilayah udara tersebut, Indonesia ternyata masih longgar dalam konteks kerja sama pertahanan. Singapura masih mendapat tempat wilayah NKRI untuk melakukan latihan militer.
baca juga: Jokowi Teken Perpres FIR, Ruang Udara di Atas Kepulauan Riau dan Natuna Kembali ke NKRI
DCA Indonesia-Singapura bisa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari penyerahan kendali FIR. Untuk diketahui DCA sudah jauh hari diteken kedua negara, tepatnya pada 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali. Sebagai tindaklanjut, pemerintah menetapkan UU No Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Indonesia-Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan.
Sebelum kesepakatan 2007, pembicaran DCA telah berlangsung sejak Juli 2005 selama tujuh kali putaran. Putaran terakhir dilaksanakan pada 5 Desember-6 Desember 2006 dengan menyepakati 13 pasal dan empat pasal lainnya belum tercapai kesepakatan. Pembahasan tersebut dilakukan pararel membahas mengenai ekstradisi antara dua negara dan selalu dikoordinasikan dengan pihak Departemen Luar Negeri, sehingga nantinya kerja sama pertahanan kedua negara dapat benar-benar mendukung kepentingan nasional Indonesia.
Di antara poin perjanjian adalah secara bersama atau masing-masing melaksanakan latihan dan pelatihan, operasi bersama, serta dukungan logistik antara kedua angkatan bersenjata termasuk akses bersama pada wilayah latihan dan fasilitas di bagian tertentu. Secara spesifik, kerja sama latihan diatur dalam pasal 3 DCA. Poin pertama pasal tersebut mengatur tentang pembangunan daerah latihan bersama beserta fasilitasnya, di antaranya meliputi pemulihan dan pemeliharaan air combat manoevering range (ACMR) serta infrastruktur dan instrument terkait.
Lalu, pembangunan overland flying arena range (OFTA), pengoperasian dan pemeliharaan Siabu Air Weapons Range (AWR); penetapan Pulau Kayu Ara sebagai daerah bantuan tembakan laut, pemberian bantuan teknis untuk Angkatan Laut dan akses pada fasilitas latihan Angkatan Laut; pengembangan dan pengembangan daerah latihan di Baturaja; dan keberlanjutan pemberian bantuan pelatihan oleh Angkatan Bersenjata Singapura kepada TNI pada bidang simulator dan teknik.
Poin kedua mengatur penyediaan akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan Singapore Air Force (SAF). Akses wilayah dimaksud meliputi Area Alfa 1 untuk tes kelaikan udara, check penanganan dan latihan terbang; Area Alfa 2 untuk latihan matra udara; Area Bravo untuk latihan manuver laut repubic of Singapore Navy (RSN), termasuk bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic of Singapore Air Force (RSAF).
Selanjutnya, poin ketiga menyebut pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam Implementing Arrangement (IA). Poin keempat SAF diperbolehkan latihan bersama negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan seizin Indonesia. Poin kelima Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta Latihan.
Poin keenam personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel dengan angkatan bersenjata Singapura. DCA juga menyebut bahwa jangka waktu perjanjian berlaku untuk 25 tahun dan DCA maupun IA akan ditinjau setiap 6 tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun. DCA dan IA diperbarui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan terkecuali atas kesepakatan bersama.
Sebelum kesepakatan pengambilalihan FIR yang dibarengi dengan kesepakatan Extradition Treaty dan DCA, Indonesia-Singapura seolah tidak pernah berhenti melakukan tarik ulur. Di era Menteri Pertahanan dipegang Purnomo Yusgiantoro misalnya, Indonesia menegaskan menghentikan pembahasan DCA hingga terjadi kesepakatan perjanjian ekstradisi. Kala itu, sejumlah terduga pelaku korupsi seperti Nunun Nurbaeti, Muhammad Nazzarudin, dan para tersangka kasus BLBI yang sebagian besar "lari" ke Singapura tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.
baca juga: Ambil Alih Ruang Kendali Udara dari Singapura, Indonesia Perkuat Kedaulatan Udara
Purnomo menegaskan setiap kerja sama pertahanan yang dilakukan dengan sejumlah pihak harus ada kesepakatan pelaksanaannya (implementing agreement). Selain terganjal ekstradisi, DCA juga terganjang persoalan IA Military Training Area (MTA) di Area Bravo yang berada di Kepulauan Natuna. Pihak Singapura sempat mengabaikannya dan tidak membahas lebih lanjut dengan mitranya Indonesia. Itulah yang menjadi alasan Singapura belum menyepakati perjanjian ekstradisi.
Melihat dinamika hubungan Indonesia-Singapura, maka kesepakatan FIR, ekstradisi, dan DCA merupakan satu paket yang tidak bisa terpisahkan. Karena itulah, begitu kesepakatan diraih, maka Singapura masih mendapatkan ruang di wilayah NKRI untuk kepentingan militernya. Di sisi lain, tentu saja Indonesia mendapatkan kontrol sepenuhnya atas kedaulatannya dan mendapatkan akses untuk penegakkan hukum di negara yang selama ini menjadi tempat pelarian WNI yang tersangkut kasus hukum, terutama koruptor.
Di sisi lain, Indonesia juga berkepentingan terus menjaga hubungan bilateral dengan Singapura mengingat posisi penting negeri tersebut dan simbiosis mutualisme yang terbangun dalam konteks pembangunan perekonomian. Dengan demikian, relasi yang terbangun bersifat win-win, bukan zero sum game. (*)
(hdr)