Pudarnya Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono
loading...
A
A
A
Bahwa aspirasi utama rakyat biasa di dunia adalah penolakan terhadap pengabaian dan penghinaan terhadap hak asasi serta penghindaran dari tindakan biadab antar manusia. Yang menurut Piagam PBB tentang HAM menyebut perwujudannya adalah sebuah dunia yang terbebas dari rasa takut.
Yang menarik, PBB menggunakah pembacaan kata dengan memilih conscience daripada awareness dalam peringatannya, yang jatuh di Hari Jumat. Kebangkitan moralitas tentang kembalinya pada Hati nurani yakni, conscience (mendalam-kesadaran hati nurani) dipilih, yang membedakan kata awareness atau sebentuk kesadaran yang lebih permukaan (dangkal-kesadaran pikiran).
Kita belajar dari buku Summa Theologiae milik filsuf abad pertengahan Thomas Aquinas, hati nurani sejatinya ikhtiar memahami tindakan mana yang benar dan salah. Kekuatan melakukan segala tindakan manusia adalah pemahaman keutamaan semata-mata dalam menciptakan penilaian yang baik mengenai yang sejatinya benar atau yang benar-benar salah dengan menggunakan hati nurani secara tepat, dan hal itu disebut disebut sebagai kewaspadaan. Orang Jawa mengatakan sebagai Eling dan Waspada.
Sementara Aquinas menyebutkan secara mendalam bahwa telaah tentang nurani terkait erat dengan konsep Sinderesis. Yakni pengetahuan tentang prinsip-prinsip alamiah yang berlaku untuk semua tindakan nalar, dan hati nurani yang menerapkan pengetahuan Illahiah pada lelaku tertentu. Dengan demikian, hati nurani berhulu pada Sinderesis.
Hati nurani dan hukum Tuhan di Summa Theologiae karya Aquinas sama-sama mengikat manusia. Hati nurani itu diamsalkan sempurna, sebagai akal (pengetahuan) yang tak bergantung pada hukum manusia namun menjadi pancaran atau perantara atas norma-norma Tuhan kepada manusia.
Sepuluh hari menjelang berakhirnya Ramadan, umat Muslim akrab dengan ritual iktikaf. Selain meraih makna Ilalhiah tentang Lailatul Qadar, umat Muslim berefleksi terutama untuk beribadah dan berdiam diri di masjid.
Banyak ulama memberi pencerahan bahwa iktikaf tak semata lelaku ritual ibadah doa; namun sebagai momentum mawas diri, yang berdimensi duniawi sekaligus yang ukhrowi. Ramadan sebagai ingatan kita sebagai bangsa semestinya sebuah wadah kontemplatif atas rasa kebersamaan, terutama para pemimpin nasional untuk mawas diri komunal.
Imam Al-Ghazali acapkali merenungkan tentang makna hati nurani, yang dalam perspektifnya adalah Qolbu. Salah satu kitab tenarnya, Kimiyaus Sa’adah yang menjadi dialektika Qalbu-Akal-Jasad, mengungkap bahwa akal dan qalbu memiliki fungsi kognitif sekaligus afeksi yang mendiami jasad, sebab keduanya membuncahkan kemanusiaan tentang rasa sekaligus nalar pun nafsu secara bersamaan.
Tapi, ia memberi garis besar bahwa keduanya membeda, dalam memberi objek perhatian bahwa akal cakrawalanya lebih pada sisi rasionalitas yang empirik; membedah data-data yang konkrit dengan kekuatan pemahaman pemikiran dengan fokus berkisar hukum-hukum eksakta-ilmu pengetahuan alam empiris, sejarah kehidupan dan hukum-hukum kemanusiaan secara sosial.
Kata Ghazali, hati yang baik atau Qolbu yang baik, menggunakan energi dzikir dalam proses pemahaman terhadap ayat-ayat Allah sebagai yang disebut Qolbu Salim, yang maknanya hati-nurani yang selamat, yang dimiliki oran-orang beriman. Seperti juga Rasulullah menyatakan "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati/Qolbu." (HR Bukhari).
Renungan Ghazali dan Sabda Nabi, tentang Qolbu beresonansi pada piwulang Jawa tentang nurani dengan ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri yang juga berkaca pada konsep Qolbu. Baik seturut Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin pun Aquinas di Summa Theologiae, piwulang leluhur Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono kembali menggema lirih, samar-samar terdengar. Tatkala negeri makin gundah dan lara sebab para pemimpin tak kunjung memberi teladan, bahkan nilai-nilai kolektif dilabrak.
Yang menarik, PBB menggunakah pembacaan kata dengan memilih conscience daripada awareness dalam peringatannya, yang jatuh di Hari Jumat. Kebangkitan moralitas tentang kembalinya pada Hati nurani yakni, conscience (mendalam-kesadaran hati nurani) dipilih, yang membedakan kata awareness atau sebentuk kesadaran yang lebih permukaan (dangkal-kesadaran pikiran).
Kita belajar dari buku Summa Theologiae milik filsuf abad pertengahan Thomas Aquinas, hati nurani sejatinya ikhtiar memahami tindakan mana yang benar dan salah. Kekuatan melakukan segala tindakan manusia adalah pemahaman keutamaan semata-mata dalam menciptakan penilaian yang baik mengenai yang sejatinya benar atau yang benar-benar salah dengan menggunakan hati nurani secara tepat, dan hal itu disebut disebut sebagai kewaspadaan. Orang Jawa mengatakan sebagai Eling dan Waspada.
Sementara Aquinas menyebutkan secara mendalam bahwa telaah tentang nurani terkait erat dengan konsep Sinderesis. Yakni pengetahuan tentang prinsip-prinsip alamiah yang berlaku untuk semua tindakan nalar, dan hati nurani yang menerapkan pengetahuan Illahiah pada lelaku tertentu. Dengan demikian, hati nurani berhulu pada Sinderesis.
Hati nurani dan hukum Tuhan di Summa Theologiae karya Aquinas sama-sama mengikat manusia. Hati nurani itu diamsalkan sempurna, sebagai akal (pengetahuan) yang tak bergantung pada hukum manusia namun menjadi pancaran atau perantara atas norma-norma Tuhan kepada manusia.
Ramadan dan Renungan Ghazali
Sepuluh hari menjelang berakhirnya Ramadan, umat Muslim akrab dengan ritual iktikaf. Selain meraih makna Ilalhiah tentang Lailatul Qadar, umat Muslim berefleksi terutama untuk beribadah dan berdiam diri di masjid.
Banyak ulama memberi pencerahan bahwa iktikaf tak semata lelaku ritual ibadah doa; namun sebagai momentum mawas diri, yang berdimensi duniawi sekaligus yang ukhrowi. Ramadan sebagai ingatan kita sebagai bangsa semestinya sebuah wadah kontemplatif atas rasa kebersamaan, terutama para pemimpin nasional untuk mawas diri komunal.
Imam Al-Ghazali acapkali merenungkan tentang makna hati nurani, yang dalam perspektifnya adalah Qolbu. Salah satu kitab tenarnya, Kimiyaus Sa’adah yang menjadi dialektika Qalbu-Akal-Jasad, mengungkap bahwa akal dan qalbu memiliki fungsi kognitif sekaligus afeksi yang mendiami jasad, sebab keduanya membuncahkan kemanusiaan tentang rasa sekaligus nalar pun nafsu secara bersamaan.
Tapi, ia memberi garis besar bahwa keduanya membeda, dalam memberi objek perhatian bahwa akal cakrawalanya lebih pada sisi rasionalitas yang empirik; membedah data-data yang konkrit dengan kekuatan pemahaman pemikiran dengan fokus berkisar hukum-hukum eksakta-ilmu pengetahuan alam empiris, sejarah kehidupan dan hukum-hukum kemanusiaan secara sosial.
Kata Ghazali, hati yang baik atau Qolbu yang baik, menggunakan energi dzikir dalam proses pemahaman terhadap ayat-ayat Allah sebagai yang disebut Qolbu Salim, yang maknanya hati-nurani yang selamat, yang dimiliki oran-orang beriman. Seperti juga Rasulullah menyatakan "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati/Qolbu." (HR Bukhari).
Renungan Ghazali dan Sabda Nabi, tentang Qolbu beresonansi pada piwulang Jawa tentang nurani dengan ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri yang juga berkaca pada konsep Qolbu. Baik seturut Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin pun Aquinas di Summa Theologiae, piwulang leluhur Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono kembali menggema lirih, samar-samar terdengar. Tatkala negeri makin gundah dan lara sebab para pemimpin tak kunjung memberi teladan, bahkan nilai-nilai kolektif dilabrak.