Pudarnya Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono
loading...
A
A
A
Bambang Asrini
Pemerhati isu seni, sosial, dan budaya
PITUTUR Jawa populer, warisan leluhur acapkali membingungkan bagi orang bukan Jawa. Sebab nilai-nilai Jawa tak langsung bisa dicerna, apalagi zaman sibernetik dan jejaring internet meluap bak air bah, semua serba instan mempercepat pudarnya piwulang bijak leluhur.
Sulit menemukan ruang kontemplasi di abad ke-21 ini, sesukar menelaah ayat dari kitab sakral atau provokasi sesat pun sesaat dari grup-grup chat pesan singkat. Ribuan percakapan di media sosial, ponsel pintar plus segudang aplikasi merebut konsentrasi kita tiap hari.
Bisa jadi abad ini, manusia tak lagi utuh menghayati siapa hakikat dirinya, dari mana ia berasal dan untuk apa ia mewarisi sesuatu dari masa silam yang layak digenggam erat.
Fundamen sosiologis orang Jawa, dulunya menggambarkan ruang dialetika terus-menerus tentang konstruksi tata-nilai, apa yang pantas serta yang tak layak dalam kehidupan sosial. Seperti juga piwulang tentang "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono". Translasi bebas ke bahasa Indonesia berarti "Anda boleh bertindak sesukanya, namun jangan di luar batas!” Hal itu, kerap kali diabaikan oleh orang-orang Jawa saat ini, yang kebetulan berkuasa secara politik.
Pitutur Jawa untuk kembali ke jati diri azali orang Jawa, jika kita amati secara mendalam ada frasa "Anda boleh bertindak sesukanya” yang menyertakan simbol-simbol penekanan tak nampak sebagai “bertindak sesuai aturan yang berlaku". Namun, frasa berikutnya menyambung sejatinya dengan tegas, secara perlambang "Anda tak boleh melanggar norma tak tertulis dan itu jauh dari Keadilan, sebab akan menyakiti liyan—manusia yang lain!".
Secara ringkas paragraf di atas kita pahami sebagai bahwa tersedianya ruang kemerdekaan berperilaku dan berekspresi, apalagi sesuai wewenang “Anda yang berkuasa, tapi sebebas-bebasnya tafsiran Anda melaksanakan aturan, tetaplah ingat pada Sumpah Jabatan, yakni nilai-nilai moral yang membatasi perilaku Anda!”
Dengan demikian, Orang Jawa kembali pada ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri dan berkaca pada nurani. Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono adalah hukum tak tertulis. Sebuah khasanah pengetahuan tentang mawas diri yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan mendiami benak, rasa yang terus digugah.
Ujaran khas Jawa Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono yang berinti peringatan untuk selalu mawas diri itu sebenarnya memiliki keluasan perspektif. Sebab, tatkala pada 5 April 2024 ini Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyeru pentingnya hati nurani yang dimiliki oleh tiap insan para pemimpin global.
Internasional Day of Conscience menggambarkan Hati Nurani sebagai perasaan moral seseorang/ individu tentang yang benar dan yang salah. PBB menggaungkan itu dalam kampanye berjuluk “Mempromosikan Budaya Damai dengan Cinta dan Hati Nurani”; yang mengutip azasnya dari pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerhati isu seni, sosial, dan budaya
PITUTUR Jawa populer, warisan leluhur acapkali membingungkan bagi orang bukan Jawa. Sebab nilai-nilai Jawa tak langsung bisa dicerna, apalagi zaman sibernetik dan jejaring internet meluap bak air bah, semua serba instan mempercepat pudarnya piwulang bijak leluhur.
Sulit menemukan ruang kontemplasi di abad ke-21 ini, sesukar menelaah ayat dari kitab sakral atau provokasi sesat pun sesaat dari grup-grup chat pesan singkat. Ribuan percakapan di media sosial, ponsel pintar plus segudang aplikasi merebut konsentrasi kita tiap hari.
Bisa jadi abad ini, manusia tak lagi utuh menghayati siapa hakikat dirinya, dari mana ia berasal dan untuk apa ia mewarisi sesuatu dari masa silam yang layak digenggam erat.
Fundamen sosiologis orang Jawa, dulunya menggambarkan ruang dialetika terus-menerus tentang konstruksi tata-nilai, apa yang pantas serta yang tak layak dalam kehidupan sosial. Seperti juga piwulang tentang "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono". Translasi bebas ke bahasa Indonesia berarti "Anda boleh bertindak sesukanya, namun jangan di luar batas!” Hal itu, kerap kali diabaikan oleh orang-orang Jawa saat ini, yang kebetulan berkuasa secara politik.
Pitutur Jawa untuk kembali ke jati diri azali orang Jawa, jika kita amati secara mendalam ada frasa "Anda boleh bertindak sesukanya” yang menyertakan simbol-simbol penekanan tak nampak sebagai “bertindak sesuai aturan yang berlaku". Namun, frasa berikutnya menyambung sejatinya dengan tegas, secara perlambang "Anda tak boleh melanggar norma tak tertulis dan itu jauh dari Keadilan, sebab akan menyakiti liyan—manusia yang lain!".
Secara ringkas paragraf di atas kita pahami sebagai bahwa tersedianya ruang kemerdekaan berperilaku dan berekspresi, apalagi sesuai wewenang “Anda yang berkuasa, tapi sebebas-bebasnya tafsiran Anda melaksanakan aturan, tetaplah ingat pada Sumpah Jabatan, yakni nilai-nilai moral yang membatasi perilaku Anda!”
Dengan demikian, Orang Jawa kembali pada ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri dan berkaca pada nurani. Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono adalah hukum tak tertulis. Sebuah khasanah pengetahuan tentang mawas diri yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan mendiami benak, rasa yang terus digugah.
PBB dan Summa Theologiae
Ujaran khas Jawa Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono yang berinti peringatan untuk selalu mawas diri itu sebenarnya memiliki keluasan perspektif. Sebab, tatkala pada 5 April 2024 ini Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyeru pentingnya hati nurani yang dimiliki oleh tiap insan para pemimpin global.
Internasional Day of Conscience menggambarkan Hati Nurani sebagai perasaan moral seseorang/ individu tentang yang benar dan yang salah. PBB menggaungkan itu dalam kampanye berjuluk “Mempromosikan Budaya Damai dengan Cinta dan Hati Nurani”; yang mengutip azasnya dari pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM).