Pudarnya Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono

Kamis, 04 April 2024 - 08:14 WIB
loading...
Pudarnya Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono
Bambang Asrini. Foto/Istimewa
A A A
Bambang Asrini
Pemerhati isu seni, sosial, dan budaya

PITUTUR Jawa populer, warisan leluhur acapkali membingungkan bagi orang bukan Jawa. Sebab nilai-nilai Jawa tak langsung bisa dicerna, apalagi zaman sibernetik dan jejaring internet meluap bak air bah, semua serba instan mempercepat pudarnya piwulang bijak leluhur.

Sulit menemukan ruang kontemplasi di abad ke-21 ini, sesukar menelaah ayat dari kitab sakral atau provokasi sesat pun sesaat dari grup-grup chat pesan singkat. Ribuan percakapan di media sosial, ponsel pintar plus segudang aplikasi merebut konsentrasi kita tiap hari.

Bisa jadi abad ini, manusia tak lagi utuh menghayati siapa hakikat dirinya, dari mana ia berasal dan untuk apa ia mewarisi sesuatu dari masa silam yang layak digenggam erat.

Fundamen sosiologis orang Jawa, dulunya menggambarkan ruang dialetika terus-menerus tentang konstruksi tata-nilai, apa yang pantas serta yang tak layak dalam kehidupan sosial. Seperti juga piwulang tentang "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono". Translasi bebas ke bahasa Indonesia berarti "Anda boleh bertindak sesukanya, namun jangan di luar batas!” Hal itu, kerap kali diabaikan oleh orang-orang Jawa saat ini, yang kebetulan berkuasa secara politik.



Pitutur Jawa untuk kembali ke jati diri azali orang Jawa, jika kita amati secara mendalam ada frasa "Anda boleh bertindak sesukanya” yang menyertakan simbol-simbol penekanan tak nampak sebagai “bertindak sesuai aturan yang berlaku". Namun, frasa berikutnya menyambung sejatinya dengan tegas, secara perlambang "Anda tak boleh melanggar norma tak tertulis dan itu jauh dari Keadilan, sebab akan menyakiti liyan—manusia yang lain!".

Secara ringkas paragraf di atas kita pahami sebagai bahwa tersedianya ruang kemerdekaan berperilaku dan berekspresi, apalagi sesuai wewenang “Anda yang berkuasa, tapi sebebas-bebasnya tafsiran Anda melaksanakan aturan, tetaplah ingat pada Sumpah Jabatan, yakni nilai-nilai moral yang membatasi perilaku Anda!”

Dengan demikian, Orang Jawa kembali pada ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri dan berkaca pada nurani. Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono adalah hukum tak tertulis. Sebuah khasanah pengetahuan tentang mawas diri yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan mendiami benak, rasa yang terus digugah.

PBB dan Summa Theologiae


Ujaran khas Jawa Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono yang berinti peringatan untuk selalu mawas diri itu sebenarnya memiliki keluasan perspektif. Sebab, tatkala pada 5 April 2024 ini Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyeru pentingnya hati nurani yang dimiliki oleh tiap insan para pemimpin global.

Internasional Day of Conscience menggambarkan Hati Nurani sebagai perasaan moral seseorang/ individu tentang yang benar dan yang salah. PBB menggaungkan itu dalam kampanye berjuluk “Mempromosikan Budaya Damai dengan Cinta dan Hati Nurani”; yang mengutip azasnya dari pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahwa aspirasi utama rakyat biasa di dunia adalah penolakan terhadap pengabaian dan penghinaan terhadap hak asasi serta penghindaran dari tindakan biadab antar manusia. Yang menurut Piagam PBB tentang HAM menyebut perwujudannya adalah sebuah dunia yang terbebas dari rasa takut.

Yang menarik, PBB menggunakah pembacaan kata dengan memilih conscience daripada awareness dalam peringatannya, yang jatuh di Hari Jumat. Kebangkitan moralitas tentang kembalinya pada Hati nurani yakni, conscience (mendalam-kesadaran hati nurani) dipilih, yang membedakan kata awareness atau sebentuk kesadaran yang lebih permukaan (dangkal-kesadaran pikiran).

Kita belajar dari buku Summa Theologiae milik filsuf abad pertengahan Thomas Aquinas, hati nurani sejatinya ikhtiar memahami tindakan mana yang benar dan salah. Kekuatan melakukan segala tindakan manusia adalah pemahaman keutamaan semata-mata dalam menciptakan penilaian yang baik mengenai yang sejatinya benar atau yang benar-benar salah dengan menggunakan hati nurani secara tepat, dan hal itu disebut disebut sebagai kewaspadaan. Orang Jawa mengatakan sebagai Eling dan Waspada.

Sementara Aquinas menyebutkan secara mendalam bahwa telaah tentang nurani terkait erat dengan konsep Sinderesis. Yakni pengetahuan tentang prinsip-prinsip alamiah yang berlaku untuk semua tindakan nalar, dan hati nurani yang menerapkan pengetahuan Illahiah pada lelaku tertentu. Dengan demikian, hati nurani berhulu pada Sinderesis.

Hati nurani dan hukum Tuhan di Summa Theologiae karya Aquinas sama-sama mengikat manusia. Hati nurani itu diamsalkan sempurna, sebagai akal (pengetahuan) yang tak bergantung pada hukum manusia namun menjadi pancaran atau perantara atas norma-norma Tuhan kepada manusia.

Ramadan dan Renungan Ghazali


Sepuluh hari menjelang berakhirnya Ramadan, umat Muslim akrab dengan ritual iktikaf. Selain meraih makna Ilalhiah tentang Lailatul Qadar, umat Muslim berefleksi terutama untuk beribadah dan berdiam diri di masjid.

Banyak ulama memberi pencerahan bahwa iktikaf tak semata lelaku ritual ibadah doa; namun sebagai momentum mawas diri, yang berdimensi duniawi sekaligus yang ukhrowi. Ramadan sebagai ingatan kita sebagai bangsa semestinya sebuah wadah kontemplatif atas rasa kebersamaan, terutama para pemimpin nasional untuk mawas diri komunal.

Imam Al-Ghazali acapkali merenungkan tentang makna hati nurani, yang dalam perspektifnya adalah Qolbu. Salah satu kitab tenarnya, Kimiyaus Sa’adah yang menjadi dialektika Qalbu-Akal-Jasad, mengungkap bahwa akal dan qalbu memiliki fungsi kognitif sekaligus afeksi yang mendiami jasad, sebab keduanya membuncahkan kemanusiaan tentang rasa sekaligus nalar pun nafsu secara bersamaan.

Tapi, ia memberi garis besar bahwa keduanya membeda, dalam memberi objek perhatian bahwa akal cakrawalanya lebih pada sisi rasionalitas yang empirik; membedah data-data yang konkrit dengan kekuatan pemahaman pemikiran dengan fokus berkisar hukum-hukum eksakta-ilmu pengetahuan alam empiris, sejarah kehidupan dan hukum-hukum kemanusiaan secara sosial.

Kata Ghazali, hati yang baik atau Qolbu yang baik, menggunakan energi dzikir dalam proses pemahaman terhadap ayat-ayat Allah sebagai yang disebut Qolbu Salim, yang maknanya hati-nurani yang selamat, yang dimiliki oran-orang beriman. Seperti juga Rasulullah menyatakan "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati/Qolbu." (HR Bukhari).

Renungan Ghazali dan Sabda Nabi, tentang Qolbu beresonansi pada piwulang Jawa tentang nurani dengan ajaran Eling lan Waspodo; yakni mawas diri yang juga berkaca pada konsep Qolbu. Baik seturut Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin pun Aquinas di Summa Theologiae, piwulang leluhur Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono kembali menggema lirih, samar-samar terdengar. Tatkala negeri makin gundah dan lara sebab para pemimpin tak kunjung memberi teladan, bahkan nilai-nilai kolektif dilabrak.

Pengetahuan tentang mawas diri, yang mengetuk pintu hati nurani, yang turun-temurun, generasi ke generasi diwariskan tak lagi mendiami benak mereka. Pemimpin yang tak mengindahkan lagi tuntunan kitab suci religi, melabrak nasihat-nasihat para cendekiawan serta abai pada ujaran-ujaran bijak leluhur.

Mungkin ujaran "Ngono Yo Ngono ning Ojo Ngono", telah usang, tak lagi memancarkan makna kamanungsan yang tulus bersemayam di dalam batin.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3411 seconds (0.1#10.140)