Pesawat Hawk 109/209 Menolak Tua!
loading...
A
A
A
Saat itu pesawat yang relatif masih berusia muda diduga celaka karena masalah perawatan. Di usia jelang 30 tahun, risiko operasi pesawat Hawk 109/209 sudah pasti semakin tinggi. Pemerintah tentu menyadari kondisi tersebut. Karena itu, wacana penggantian pesawat tersebut sudah menyeruak beberapa tahun jelang pesawat Hawk 109/209 menginjak usia 25 tahun.
Rencananya, penggantian armada Hawk 109/209 yang bermarkas di dua skadron operasional TNI AU tersebut akan dilaksanakan secara bertahap pada pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) TNI AU ke-4 periode 2020-2024. Hal ini pun sudah masuk dalam pengajuan pemenuhan kebutuhan pokok minimal (MEF) Tahap IV untuk periode yang sama. Pembelian Rafale dan F-15 EX menjadi opsi penggantinya.
Membangun Interoperabilitas dan NCW
Dari latihan bersama TNI AL-TNI AU yang melibatkan pesawat Hawk 109/209 dengan KRI John Lie-358, maka fokus utama yang diuji kapasitasnya adalah kemampuan melakukan interoperabilitas. Prasyarat demikian bisa terwujud di antaranya karena sistem avionik yang dimiliki, termasuk oleh Hawk 109/209, memiliki kapasitas untuk tugas tersebut.
Dengan demikian, alutsista yang terlibat dalam latihan, simulasi tempur atau bahkan dalam peperangan bisa melakukan koordinasi atau satu komando dalam melaksanakan misi. Berdasar definisi, interoperabilitas dimaknai sebagai kemampuan dari sebuah blockchain untuk dapat berkomunikasi, berinteraksi, dan berbagi informasi dengan sistem eksternal.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Dalam dunia blockchain, kebanyakanblockchain lebih mirip sebuah sistem tertutup daripada sistem terbuka yang bisa berinteraksi dengan leluasa. Interoperabilitas adalah masalah besar karena pengguna akan sulit memindahkan aset ke ekosistem lain.
Ketua Bidang Ketahanan Informasi Desk Cyberspace Nasional (DCN) Kemenkopolhukam dan tulisan bertajuk ‘’Meraih Interoperabilitas TNI AU, Sebuah Pendekatan Ilmiah Sederhana’’ menyebut interoperabilitas sering dikaitkan dengan sistem informasi dan komunikasi yang digunakan dalam operasi udara mandiri atau operasi gabungan dengan matra lain.
Dipaparkan, dengan avionik berbasis komputer, maka pesawat dapat dianalogkan sebagai komputer mandiri di angkasa. Bila operasi melibatkan dua atau lebih pesawat, maka pembentukan saluran komunikasi untuk pertukaran data pesawat yang terbang diibaratkan sebagai jaringan komputer. Jaringan akan semakin besar jika terhubung dengan stasiun bumi, laut ataupun luar angkasa. Konsep ini yang lazim disebut network-centric: system of system yang terhubung menjadi satu.
Dalam dunia militer, network-centric dikembangkan menjadi network-centric warfare (NCW) atau peperangan jaringan terpusat. Komputer direpresentasikan berbagai alutsista yang terhubung menjadi satu membentuk jaringan besar dalam rangka peperangan. Dalam konsep NCW, setiap alutsista adalah adalah simpul mandiri yang berkemampuan mengolah informasi dan bertukar data satu sama lain. Kemampuan tersebut akan menghadirkan sinkronisasi, kecepatan komando dan kendali, serta tempo operasi.
Rencananya, penggantian armada Hawk 109/209 yang bermarkas di dua skadron operasional TNI AU tersebut akan dilaksanakan secara bertahap pada pelaksanaan Rencana Strategis (Renstra) TNI AU ke-4 periode 2020-2024. Hal ini pun sudah masuk dalam pengajuan pemenuhan kebutuhan pokok minimal (MEF) Tahap IV untuk periode yang sama. Pembelian Rafale dan F-15 EX menjadi opsi penggantinya.
Membangun Interoperabilitas dan NCW
Dari latihan bersama TNI AL-TNI AU yang melibatkan pesawat Hawk 109/209 dengan KRI John Lie-358, maka fokus utama yang diuji kapasitasnya adalah kemampuan melakukan interoperabilitas. Prasyarat demikian bisa terwujud di antaranya karena sistem avionik yang dimiliki, termasuk oleh Hawk 109/209, memiliki kapasitas untuk tugas tersebut.
Dengan demikian, alutsista yang terlibat dalam latihan, simulasi tempur atau bahkan dalam peperangan bisa melakukan koordinasi atau satu komando dalam melaksanakan misi. Berdasar definisi, interoperabilitas dimaknai sebagai kemampuan dari sebuah blockchain untuk dapat berkomunikasi, berinteraksi, dan berbagi informasi dengan sistem eksternal.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Dalam dunia blockchain, kebanyakanblockchain lebih mirip sebuah sistem tertutup daripada sistem terbuka yang bisa berinteraksi dengan leluasa. Interoperabilitas adalah masalah besar karena pengguna akan sulit memindahkan aset ke ekosistem lain.
Ketua Bidang Ketahanan Informasi Desk Cyberspace Nasional (DCN) Kemenkopolhukam dan tulisan bertajuk ‘’Meraih Interoperabilitas TNI AU, Sebuah Pendekatan Ilmiah Sederhana’’ menyebut interoperabilitas sering dikaitkan dengan sistem informasi dan komunikasi yang digunakan dalam operasi udara mandiri atau operasi gabungan dengan matra lain.
Dipaparkan, dengan avionik berbasis komputer, maka pesawat dapat dianalogkan sebagai komputer mandiri di angkasa. Bila operasi melibatkan dua atau lebih pesawat, maka pembentukan saluran komunikasi untuk pertukaran data pesawat yang terbang diibaratkan sebagai jaringan komputer. Jaringan akan semakin besar jika terhubung dengan stasiun bumi, laut ataupun luar angkasa. Konsep ini yang lazim disebut network-centric: system of system yang terhubung menjadi satu.
Dalam dunia militer, network-centric dikembangkan menjadi network-centric warfare (NCW) atau peperangan jaringan terpusat. Komputer direpresentasikan berbagai alutsista yang terhubung menjadi satu membentuk jaringan besar dalam rangka peperangan. Dalam konsep NCW, setiap alutsista adalah adalah simpul mandiri yang berkemampuan mengolah informasi dan bertukar data satu sama lain. Kemampuan tersebut akan menghadirkan sinkronisasi, kecepatan komando dan kendali, serta tempo operasi.