Pesawat Hawk 109/209 Menolak Tua!
loading...
A
A
A
MEDIO Februari kemarin TNI AU dan TNI AL melaksanakan latihan bersama di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I. Pada latihan tersebut TNI AU mengerahkan dua pesawat Hawk 109/209 milik Skadron Udara I Wing Udara 7 Lanud Supadio dan TNI AL mengandalkan KRI John Lie-358.
baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru
Berdasar skenario latihan yang bertajuk Air Joining Procedure (AJP), dua pesawat Hawk TNI AU melaksanakan prosedur pengenalan berhasil diidentifikasi radar udara AWS-9 KRI John Lie-358 sebelum akhirnya melaksanakan prosedur penggabungan.
Selanjutnya, dua pesawat Hawk melaksanakan simulasi penyerangan udara ke permukaan terhadap KRI John Lie-358, yang diikuti aksi self-defense kapal korvet tersebut dengan menggunakan meriam Oto Melara 76 mm, Oerlikon 30 mm, dan Mitraliur 12,7 mm. Dua pesawat Hawk TNI AU kemudian melaksanakan taktik ofensif terhadap kapal perang sekaligus melatih manuver penghindaran dari serangan balasan.
Untuk diketahui, latihan ini merupakan pelaksanaan perintah Pangkoarmada I untuk meningkatkan profesionalisme prajurit dan kemampuan unsur gelar operasi TNI yang responsif dan integratif dalam melaksanakan operasi pengamanan ALKI I dengan alutsista TNI yang modern dan adaptif dalam merespons segala ancaman yang mungkin terjadi, baik di masa damai maupun di masa perang.
Sekilas, latihan interoperabilitas di antara unsur kekuatan TNI AL dan TNI sebagai latihan biasa. Namun di balik itu, ada pemandangan yang sebenarnya Istimewa, yaitu bagaimana pesawat Hawk 109/209 masih survive dan mampu mengemban misi menjawab dinamika tantangan yang sangat progresif dan membutuhkan teknologi militer teranyar.
Realitas tersebut tentu serta-merta mengulik pertanyaan bagaimana pesawat tua tersebut masih menjadi andalan TNI AU untuk menjaga dirgantara Indonesia? Apakah pesawat buatan British Aerospace (BAE) itu mampu menghadapi dinamika tantangan yang mutlak mensyaratkan dukungan state of the art teknologi militer? Atau apakah TNI AU terpaksa masih mengandalkan pesawat tersebut karena pesawat teranyar yang dibeli, yakni Rafale masih butuh waktu lama untuk tiba di Tanah Air.
Cercaan pertanyaan itu wajar karena pesawat Hawk 109/209 sudah menjadi tulang punggung kekuatan TNI AU sejak 1996. Kala itu total TNI AU membeli 8 Hawk 109 dan 16 Hawk 209 yang diterima antara 1996 hingga 1997. Pada 1980, TNI AU menambah sejumlah varian Hawk Mk 53. Pembelian pesawat jenis ini antara lain untuk mengemban misiair superioritydanground attack, terutama untuk Hawk Mk 209 yang merupakan variansingle seater.
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Pertanyaan juga patut disampaikan karena sejumlah insinden yang dialami. Pada 2012 misalnya, pesawat Hawk 200 Skuadron 12 TNI AU Rusmin Nuryadin mengalami kecelakaan saat melakukan latihan rutin. Bersyukur pilot Letnan Pnb Reza selamat setelah berhasil keluar dengan kursi pelontar (eject seat). Masih di Riau, pada 15 Juni 2020 pesawat Hawk 109 celaka dalam pendaratan usai latihan. Sang pilot, Lettu Pnb Apriyanto Ismail selamat dengan cara yang sama.
baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru
Berdasar skenario latihan yang bertajuk Air Joining Procedure (AJP), dua pesawat Hawk TNI AU melaksanakan prosedur pengenalan berhasil diidentifikasi radar udara AWS-9 KRI John Lie-358 sebelum akhirnya melaksanakan prosedur penggabungan.
Selanjutnya, dua pesawat Hawk melaksanakan simulasi penyerangan udara ke permukaan terhadap KRI John Lie-358, yang diikuti aksi self-defense kapal korvet tersebut dengan menggunakan meriam Oto Melara 76 mm, Oerlikon 30 mm, dan Mitraliur 12,7 mm. Dua pesawat Hawk TNI AU kemudian melaksanakan taktik ofensif terhadap kapal perang sekaligus melatih manuver penghindaran dari serangan balasan.
Untuk diketahui, latihan ini merupakan pelaksanaan perintah Pangkoarmada I untuk meningkatkan profesionalisme prajurit dan kemampuan unsur gelar operasi TNI yang responsif dan integratif dalam melaksanakan operasi pengamanan ALKI I dengan alutsista TNI yang modern dan adaptif dalam merespons segala ancaman yang mungkin terjadi, baik di masa damai maupun di masa perang.
Sekilas, latihan interoperabilitas di antara unsur kekuatan TNI AL dan TNI sebagai latihan biasa. Namun di balik itu, ada pemandangan yang sebenarnya Istimewa, yaitu bagaimana pesawat Hawk 109/209 masih survive dan mampu mengemban misi menjawab dinamika tantangan yang sangat progresif dan membutuhkan teknologi militer teranyar.
Realitas tersebut tentu serta-merta mengulik pertanyaan bagaimana pesawat tua tersebut masih menjadi andalan TNI AU untuk menjaga dirgantara Indonesia? Apakah pesawat buatan British Aerospace (BAE) itu mampu menghadapi dinamika tantangan yang mutlak mensyaratkan dukungan state of the art teknologi militer? Atau apakah TNI AU terpaksa masih mengandalkan pesawat tersebut karena pesawat teranyar yang dibeli, yakni Rafale masih butuh waktu lama untuk tiba di Tanah Air.
Cercaan pertanyaan itu wajar karena pesawat Hawk 109/209 sudah menjadi tulang punggung kekuatan TNI AU sejak 1996. Kala itu total TNI AU membeli 8 Hawk 109 dan 16 Hawk 209 yang diterima antara 1996 hingga 1997. Pada 1980, TNI AU menambah sejumlah varian Hawk Mk 53. Pembelian pesawat jenis ini antara lain untuk mengemban misiair superioritydanground attack, terutama untuk Hawk Mk 209 yang merupakan variansingle seater.
baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Pertanyaan juga patut disampaikan karena sejumlah insinden yang dialami. Pada 2012 misalnya, pesawat Hawk 200 Skuadron 12 TNI AU Rusmin Nuryadin mengalami kecelakaan saat melakukan latihan rutin. Bersyukur pilot Letnan Pnb Reza selamat setelah berhasil keluar dengan kursi pelontar (eject seat). Masih di Riau, pada 15 Juni 2020 pesawat Hawk 109 celaka dalam pendaratan usai latihan. Sang pilot, Lettu Pnb Apriyanto Ismail selamat dengan cara yang sama.