Syarat Jalur Independen Perlu Diperlonggar untuk Mengurangi Calon Tunggal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setiap gelaran pemilihan umum (Pemilu) selalu diharapkan berjalan demokratis. Ada beberapa indikator yang harus dipenuhi untuk mencapai, seperti standar-standar dasar yang mengikuti konvensi internasional dan kerangka hukum.
Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokratis ( Perludem ) Khoirunnisa Nur Agustyati menerangkan undang-undang (UU) pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus berkesesuaian dan hadirnya tidak boleh terlambat.
“Kalau terlambat atau semakin dekat dengan tahapan, penyelenggara pemilu tidak punya waktu (menyiapkan). Misalnya, penyelenggara perlu waktu 24 bulan, maka kerangka hukum (hadir) sebelum itu,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada dan Konsesi Politik”, Rabu (12/8/2020).
(Baca: Ditanya Kemungkinan Lawan Kotak Kosong, Gibran Meradang)
Beberapa syarat lain agar pemilu berjalan demokratis, antara lain, hak untuk memilih dan dipilih, badan penyelenggaraan yang independen dan tidak partisan, serta kampanye yang demokratis.
“Agar calon-calon yang punya modal besar tidak menguasai tahapan kampanye. Bagaimana menciptakan ruang kompetisi yang setara. Itu harus diatur dengan jelas,” tutur Khoirunnisa.
Saat ini tengah berlangsung tahapan pilkada di 270 daerah. Pilkada yang tak mudah bagi penyelenggara, peserta, dan masyarakat karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Di luar itu, Khoirunnisa menerangkan mengenai permasalahan yang muncul dalam pilkada selama ini.
Pertama, aturan pencalonan yang mensyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol mempunyai 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen suara dalam pemilihan legislatif. Ketentuan ini membuat nyaris semua parpol di daerah harus berkoalisi.
(Baca: Calon Tunggal Pilkada Meningkat Tajam, PAN Usulkan Syarat Pencalonan Tak Dipersulit)
Masalah lain muncul, ketika semua parpol hanya mendukung satu pasangan calon. Yang terjadi adalah pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong. Masyarakat menjadi tidak punya pilihan calon alternatif.
Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokratis ( Perludem ) Khoirunnisa Nur Agustyati menerangkan undang-undang (UU) pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus berkesesuaian dan hadirnya tidak boleh terlambat.
“Kalau terlambat atau semakin dekat dengan tahapan, penyelenggara pemilu tidak punya waktu (menyiapkan). Misalnya, penyelenggara perlu waktu 24 bulan, maka kerangka hukum (hadir) sebelum itu,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada dan Konsesi Politik”, Rabu (12/8/2020).
(Baca: Ditanya Kemungkinan Lawan Kotak Kosong, Gibran Meradang)
Beberapa syarat lain agar pemilu berjalan demokratis, antara lain, hak untuk memilih dan dipilih, badan penyelenggaraan yang independen dan tidak partisan, serta kampanye yang demokratis.
“Agar calon-calon yang punya modal besar tidak menguasai tahapan kampanye. Bagaimana menciptakan ruang kompetisi yang setara. Itu harus diatur dengan jelas,” tutur Khoirunnisa.
Saat ini tengah berlangsung tahapan pilkada di 270 daerah. Pilkada yang tak mudah bagi penyelenggara, peserta, dan masyarakat karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Di luar itu, Khoirunnisa menerangkan mengenai permasalahan yang muncul dalam pilkada selama ini.
Pertama, aturan pencalonan yang mensyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol mempunyai 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen suara dalam pemilihan legislatif. Ketentuan ini membuat nyaris semua parpol di daerah harus berkoalisi.
(Baca: Calon Tunggal Pilkada Meningkat Tajam, PAN Usulkan Syarat Pencalonan Tak Dipersulit)
Masalah lain muncul, ketika semua parpol hanya mendukung satu pasangan calon. Yang terjadi adalah pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong. Masyarakat menjadi tidak punya pilihan calon alternatif.