Akademisi Dorong Masyarakat Berdemokrasi secara Sehat dan Beretika
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia merupakan negara demokrasi yang memberikan kebebasan kepada siapa pun menyatakan pendapatnya. Sayangnya di era media sosial, kebebasan berpendapat itu kerap kali mengabaikan etika berdemokrasi.
Pandangan ini disampaikan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah menanggapi kebebasan berpendapat di media sosial. Menurutnya, dalam sistem demokrasi, siapa pun bebas menyatakan pendapatnya melalui apa pun, termasuk media sosial. Namun ia prihatin menjatuhkan figur tertentu justru menjadi budaya, dibandingkan menonjolkan kelebihan tokoh yang didukung.
"Persoalannya adalah kebanyakan di media sosial itu malah lebih ke apa yang tidak mereka dukung gitu. Maka mau tidak mau, ketika membicarakan apa yang tidak mereka dukung itu, yang terjadi bukan proses dialog, tetapi perdebatan yang kontraproduktif. Semestinya ketika kita telah dewasa dalam menyatakan dukungan dan punya literasi yang cukup, maka yang dilakukan adalah melempar pertanyaan, bukan malah menjatuhkan figur tertentu," kata Rully dalam keterangannya dikutip, Jumat (19/1/2024).
Misalnya ketika ada peserta Pemilu yang memiliki program menyehatkan masyarakat, maka bisa ditanyakan rincian program dan perencanaannya. Melalui format pertanyaan, masyarakat bisa mengetahui lebih jauh apa yang ingin disampaikan pihak lain dan dapat menciptakan dialog yang efektif.
Menurut Rully, persoalan yang umum terjadi adalah masyarakat lebih tertarik pada black campaign pada tokoh yang dianggap berseberangan. Hal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif, bahkan sampai melakukan character assassination atau pembunuhan karakter.
Bukan hal yang mengherankan jika lebih banyak yang tertarik pada berita atau pencitraan negatif ketimbang positif. Media-media yang terlibat seringkali juga larut dalam permainan saling menjatuhkan masing-masing kontestan politik. Ironinya, kampanye negatif seringkali dianggap sebagai cara yang mudah dan efektif untuk menggaet perhatian masyarakat luas, terlepas dari tingkat ekonomi dan latar belakang mereka.
"Karena begini, bikin orang bahagia itu kadang-kadang susah, tapi kalau bikin benci orang terhadap pihak tertentu, itu jauh lebih gampang. Saya juga tidak menyalahkan para konsultan politik dengan segala macam strategi yang mereka tawarkan pada pihak yang merekrutnya. Mungkin saja masih ada segelintir dari konsultan ini yang berpikir untuk memasukkan character assassination sebagai program kampanye yang mereka rancang," katanya.
Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia masih dan akan terus belajar berdemokrasi yang baik. Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, sebenarnya Indonesia patut bersyukur karena bisa proses pemilihan umum, baik eksekutif atau legislatif, yang semakin membaik tiap periodenya.
Rully Nasrullah yang juga penulis buku 'Manajemen Komunikasi Digital' ini menyampaikan, kampanye negatif memang masih menjadi hal yang menakutkan, apalagi algoritma mesin pencari di internet akan cenderung menampilkan hal negatif karena justru bisa menarik banyak pengunjung. Fandom atau basis pendukung yang fanatik dan irasional akan senang sekali jika menemukan bahan baru untuk menjatuhkan lawannya.
"Di sinilah rasa tanggung jawab dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang aktif bermedia sosial, harus dikedepankan. Tanpa terkecuali, semua pihak harus mengonfirmasi kebenaran setiap berita yang datang kepadanya," katanya.
Namun faktanya, ungkap Rully, jumlah simpatisan politik yang belum dewasa dalam berbeda pendapat masih cukup banyak, dan bahkan cenderung lebih vokal ketimbang mereka yang memilih dialog secara sehat. Maka dari itu, perlu kedewasaan yang sangat luar biasa bagi tiap warga negara Indonesia untuk menanggapi semua isu, informasi, dan berita yang beredar.
Untuk itu, Rully mengimbau masyarakat yang bermedia sosial juga harus mampu menyeimbangkan kebebasan berpendapat tanpa merusak nama baik seseorang, karena itu merupakan tindak pidana.
"Kalau dalam KUHP, seandainya ada orang yang menyampaikan sesuatu dan kita merasa tidak senang, itu kan bisa kena delik pidana. Apalagi itu sifatnya fitnah, pencemaran nama baik," katanya.
Menurut Rully, penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran narasi negatif dan fitnah di media sosial penting untuk dilakukan. Hal ini untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
"Saya pikir itu sudah diatur di situ, ketika seseorang menyampaikan pendapatnya di media sosial dan saya tidak senang, karena itu pencemaran nama baik, itu sudah masuk ke delik pidana, sudah ada bukti, locus delicti-nya (tempat terjadinya tindak pidana) memang kan sudah diakui itu kalau di media sosial," imbuh Rully.
Ia memandang masyarakat Indonesia masih perlu belajar untuk beretika dalam berpendapat di media sosial. Hal ini terlihat dari banyaknya narasi negatif dan fitnah yang tersebar di media sosial menjelang Pemilu 2024.
"Masyarakat Indonesia perlu tahu, sehebat-hebatnya para tokoh politik bertengkar di televisi, sehebat-hebatnya para tokoh politik, calon partai, sampai calon presiden bertengkar di media televisi tapi mereka baik-baik saja setelah itu. Nah masalahnya para pendukungnya menjadi tidak baik-baik saja. Singgungan antartokoh secara dramatis di layar kaca dianggap sebuah realitas oleh masing-masing pendukung," kata Rully.
Pandangan ini disampaikan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rully Nasrullah menanggapi kebebasan berpendapat di media sosial. Menurutnya, dalam sistem demokrasi, siapa pun bebas menyatakan pendapatnya melalui apa pun, termasuk media sosial. Namun ia prihatin menjatuhkan figur tertentu justru menjadi budaya, dibandingkan menonjolkan kelebihan tokoh yang didukung.
"Persoalannya adalah kebanyakan di media sosial itu malah lebih ke apa yang tidak mereka dukung gitu. Maka mau tidak mau, ketika membicarakan apa yang tidak mereka dukung itu, yang terjadi bukan proses dialog, tetapi perdebatan yang kontraproduktif. Semestinya ketika kita telah dewasa dalam menyatakan dukungan dan punya literasi yang cukup, maka yang dilakukan adalah melempar pertanyaan, bukan malah menjatuhkan figur tertentu," kata Rully dalam keterangannya dikutip, Jumat (19/1/2024).
Misalnya ketika ada peserta Pemilu yang memiliki program menyehatkan masyarakat, maka bisa ditanyakan rincian program dan perencanaannya. Melalui format pertanyaan, masyarakat bisa mengetahui lebih jauh apa yang ingin disampaikan pihak lain dan dapat menciptakan dialog yang efektif.
Menurut Rully, persoalan yang umum terjadi adalah masyarakat lebih tertarik pada black campaign pada tokoh yang dianggap berseberangan. Hal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif, bahkan sampai melakukan character assassination atau pembunuhan karakter.
Bukan hal yang mengherankan jika lebih banyak yang tertarik pada berita atau pencitraan negatif ketimbang positif. Media-media yang terlibat seringkali juga larut dalam permainan saling menjatuhkan masing-masing kontestan politik. Ironinya, kampanye negatif seringkali dianggap sebagai cara yang mudah dan efektif untuk menggaet perhatian masyarakat luas, terlepas dari tingkat ekonomi dan latar belakang mereka.
"Karena begini, bikin orang bahagia itu kadang-kadang susah, tapi kalau bikin benci orang terhadap pihak tertentu, itu jauh lebih gampang. Saya juga tidak menyalahkan para konsultan politik dengan segala macam strategi yang mereka tawarkan pada pihak yang merekrutnya. Mungkin saja masih ada segelintir dari konsultan ini yang berpikir untuk memasukkan character assassination sebagai program kampanye yang mereka rancang," katanya.
Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia masih dan akan terus belajar berdemokrasi yang baik. Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, sebenarnya Indonesia patut bersyukur karena bisa proses pemilihan umum, baik eksekutif atau legislatif, yang semakin membaik tiap periodenya.
Rully Nasrullah yang juga penulis buku 'Manajemen Komunikasi Digital' ini menyampaikan, kampanye negatif memang masih menjadi hal yang menakutkan, apalagi algoritma mesin pencari di internet akan cenderung menampilkan hal negatif karena justru bisa menarik banyak pengunjung. Fandom atau basis pendukung yang fanatik dan irasional akan senang sekali jika menemukan bahan baru untuk menjatuhkan lawannya.
"Di sinilah rasa tanggung jawab dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang aktif bermedia sosial, harus dikedepankan. Tanpa terkecuali, semua pihak harus mengonfirmasi kebenaran setiap berita yang datang kepadanya," katanya.
Namun faktanya, ungkap Rully, jumlah simpatisan politik yang belum dewasa dalam berbeda pendapat masih cukup banyak, dan bahkan cenderung lebih vokal ketimbang mereka yang memilih dialog secara sehat. Maka dari itu, perlu kedewasaan yang sangat luar biasa bagi tiap warga negara Indonesia untuk menanggapi semua isu, informasi, dan berita yang beredar.
Untuk itu, Rully mengimbau masyarakat yang bermedia sosial juga harus mampu menyeimbangkan kebebasan berpendapat tanpa merusak nama baik seseorang, karena itu merupakan tindak pidana.
"Kalau dalam KUHP, seandainya ada orang yang menyampaikan sesuatu dan kita merasa tidak senang, itu kan bisa kena delik pidana. Apalagi itu sifatnya fitnah, pencemaran nama baik," katanya.
Menurut Rully, penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran narasi negatif dan fitnah di media sosial penting untuk dilakukan. Hal ini untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
"Saya pikir itu sudah diatur di situ, ketika seseorang menyampaikan pendapatnya di media sosial dan saya tidak senang, karena itu pencemaran nama baik, itu sudah masuk ke delik pidana, sudah ada bukti, locus delicti-nya (tempat terjadinya tindak pidana) memang kan sudah diakui itu kalau di media sosial," imbuh Rully.
Ia memandang masyarakat Indonesia masih perlu belajar untuk beretika dalam berpendapat di media sosial. Hal ini terlihat dari banyaknya narasi negatif dan fitnah yang tersebar di media sosial menjelang Pemilu 2024.
"Masyarakat Indonesia perlu tahu, sehebat-hebatnya para tokoh politik bertengkar di televisi, sehebat-hebatnya para tokoh politik, calon partai, sampai calon presiden bertengkar di media televisi tapi mereka baik-baik saja setelah itu. Nah masalahnya para pendukungnya menjadi tidak baik-baik saja. Singgungan antartokoh secara dramatis di layar kaca dianggap sebuah realitas oleh masing-masing pendukung," kata Rully.
(abd)