95% Bahan Baku Obat Masih Impor, YLKI: Tidak Pernah Dikembangkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai yang bisa menjawab kenapa Indonesia masih tergantung bahan baku obat iadalah Presiden dan pemerintah sendiri.
YLKI menilai industri farmasi tidak pernah didorong untuk mengembangkan bahan-bahan mentah yang ada di Tanah Air.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahan-bahan mentah atau fitofarmakologi di Indonesia itu melimpah ruah. Namun, selama ini pemerintah dan industri lebih gemar mendatangkan bahan baku obat dari China dan India.
“Jadi selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka sampai sekarang tidak pernah difasilitasi agar Indonesia tidak tergantung dengan bahan baku impor. Mungkin ada mafia impor dan segala macam. Itu soal teknis,” ujar Tulus kepada SINDOnews, Kamis (30/04/2020).( )
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui ketergantungan Indonesia dengan luar negeri terkait bahan baku obat masih tinggi. "95% masih impor. Alat kesehatan ada tidak? Apa yg bisa kita produksi sendiri dan apa saja yang kita beli dari negara lain. Sekarang kelihatan semua. Lalu bagaimana dengan tenaga medis, rasio dokter, rasio dokter spesialis, perawat, apa cukup menghadapi situasi seperti saat ini,” tutur Presiden, Kamis (30/4/2020) siang
Menurut Tulus, selama ini tidak ada usaha mendorong pengkajian ilmiah untuk mengembangkan sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi. Bahkan, perusahaan plat merah di bidang farmasi lebih senang impor.
Tulus menyebut Indonesia merupakan sumber bahan baku obat setelah China dan India. “Itu tidak pernah dikembangkan, kenapa? Justru Pak Jokowi yang menjawab, karena kebijakannya tidak pernah mendukung untuk itu,” ungkapnya.
Tulus menjelaskan Indonesia perlu melakukan riset dan pengembangan yang memadai untuk mengolah bahan-bahan mentah menjadi bahan baku obat. Itu memang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat mahal.
Namun, setelah berhasil akan berpengaruh pada harga obat yang menjadi lebih murah.“Itulah yang membuat obat Indonesia termasuk yang termahal di ASEAN karena kita tergantung dengan impor bahan baku,” tuturnya.
.
YLKI menilai industri farmasi tidak pernah didorong untuk mengembangkan bahan-bahan mentah yang ada di Tanah Air.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan bahan-bahan mentah atau fitofarmakologi di Indonesia itu melimpah ruah. Namun, selama ini pemerintah dan industri lebih gemar mendatangkan bahan baku obat dari China dan India.
“Jadi selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka sampai sekarang tidak pernah difasilitasi agar Indonesia tidak tergantung dengan bahan baku impor. Mungkin ada mafia impor dan segala macam. Itu soal teknis,” ujar Tulus kepada SINDOnews, Kamis (30/04/2020).( )
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui ketergantungan Indonesia dengan luar negeri terkait bahan baku obat masih tinggi. "95% masih impor. Alat kesehatan ada tidak? Apa yg bisa kita produksi sendiri dan apa saja yang kita beli dari negara lain. Sekarang kelihatan semua. Lalu bagaimana dengan tenaga medis, rasio dokter, rasio dokter spesialis, perawat, apa cukup menghadapi situasi seperti saat ini,” tutur Presiden, Kamis (30/4/2020) siang
Menurut Tulus, selama ini tidak ada usaha mendorong pengkajian ilmiah untuk mengembangkan sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi. Bahkan, perusahaan plat merah di bidang farmasi lebih senang impor.
Tulus menyebut Indonesia merupakan sumber bahan baku obat setelah China dan India. “Itu tidak pernah dikembangkan, kenapa? Justru Pak Jokowi yang menjawab, karena kebijakannya tidak pernah mendukung untuk itu,” ungkapnya.
Tulus menjelaskan Indonesia perlu melakukan riset dan pengembangan yang memadai untuk mengolah bahan-bahan mentah menjadi bahan baku obat. Itu memang membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat mahal.
Namun, setelah berhasil akan berpengaruh pada harga obat yang menjadi lebih murah.“Itulah yang membuat obat Indonesia termasuk yang termahal di ASEAN karena kita tergantung dengan impor bahan baku,” tuturnya.
.
(dam)