Menyiapkan Drone untuk Kekuatan Masa Depan TNI
loading...
A
A
A
KEPALA Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali beberapa waktu lalu menyampaikan keinginannya agar ke depan kapal-kapal perang TNI AL dilengkapi unmaned aerial vehicle (UAV) atau drone tempur , karena sifatnya sangat taktis di medan perang. Dengan semakin modern alutsista, kemampuan prajurit TNI AL dalam menjalankan berbagai bisa kian meningkat.
baca juga: Modernisasi Alutsista, TNI AL Akan Lengkapi Kapal Perang dengan Drone Tempur
Urgensi pemanfaatan drone untuk mendukung kapasitas TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI bukan kali ini saja disampaikan KSAL. Sebelumnya eks komandan kapal selam Nanggala tersebut mengungkapkan program TNI AL membangun skadron khusus untuk operasi drone.
Kesadaran penggunaan drone untuk mendukung strategi militer termutakhir bukan hanya datang dari TNI AL. TNI AD dan TNI AU bahkan sudah sejak awal mendatangkan dan mengembangkan drone. TNI AD misalnya, telah mengakuisisi drone Rajawali 330 buatan PT Bhinneka Dwi Persada (BPD) dan Black Hornet sejak 2021. Selain itu, TNI AD bersama PT Nexin melakukan kerja bareng menggarap drone yang diarahkan sebagai the eye artillery atau mata artileri medan.
TNI AU lebih progresif lagi. Kesatuan yang memiliki motto Swa Bhuana Paksa itu telah dilengkapi dengan CH-4 Rainbow made in China Academy of Aerospace Aerodynamics. Drone yang mampu menempuh jarak 3.500-5.000 kilometer serta endurance terbang hingga 30 sampai 40 jam itu tidak hanya dibekali kemampuan surveillance darat maupun laut hingga sistem rudal untuk mendukung misi serangan.
Demi mendukung operasional armada drone, TNI AU pun telah membentuk satuan drone guna memperkuat pertahanan Indonesia. Tepatnya pada Agustus lalu, TNI AU telah meresmikan Skaduk 103 untuk para penerbang drone. Institusi baru tersebut berada di bawah Wing Pendidikan 100/Terbang Lanud Adi Sutjipto yang berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
baca juga: Ukraina Serang Instalasi Pipa Minyak Rusia dengan Drone Tempur
Tren yang ditunjukkan tiga matra TNI tersebut tentu mengindikasikan adanya respons situasional akan dinamika strategis di dunia militer. Penggunan drone merupakan keniscayaan dalam perang era modern (modern warfare) dan drone battle proven sebagai game changer meraih kemenangan. Di sisi lain, penggunan drone dianggap lebih efisien dan mengurangi risiko mengorbankan prajurit di medan laga.
Dalam konteks inilah, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang belum lama dilantik menyatakan akan memanfaatkan drone untuk mendukung patroli di wilayah konflik Papua. Penggunaan drone di wilayah rawan dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa. Ilustrasinya, bila drone sudah memastikan wilayah steril, baru prajurit TNI dikerahkan untuk mengejar kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Nagorno-Karabakh dan Perkembangan Perang Modern
Berdasar sejumlah catatan, drone sebenarnya sudah dikenal sejak akhir perang Dunia I, dan lebih intensif digunakan pada perang Dunia II. Kala itu, drone digunakan Nazi bukan sebatas untuk latihan target sasaran, tapi juga melakukan serangan. Selanjutnya, lompatan drone canggih menemukan momentum pada 1995 saat General Atomics M-Q-1 Predator memulai menjalani debutnya.
Namun, saat itu fungsi drone masih sebatas menjalankan misi surveillance. Sejak saat itu, perkembangan drone militer mengalami progresivitas dan banyak negara memberi perhatian untuk mengembangkannya kepentingan sipil maupun militer. Kehadirannya pun menjadi warna baru dalam perang modern di abad 21.
baca juga: Misterius, Drone-Drone Ukraina Berjatuhan Sendiri di Medan Tempur
Sebenarnya, apa yang dimaksud perang modern? Wikipedia mengutip definisi The Oxford History of Modern Warfare menyebut sebagai peperangan yang sangat berbeda dari konsep, metode, dan teknologi militer sebelumnya, yang menekankan bagaimana kombatan harus melakukan modernisasi untuk mempertahankan kelayakan pertempuran mereka.
Disebutkan bahwa perang modern merupakan subjek yang terus berkembang, dilihat secara berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda. Dalam arti sempitnya, ini hanyalah sinonim dari peperangan kontemporer. Secara lebih luas, kilasan sejarah perang modern ditandai dengan munculnya revolusi mesiu, artileri, kapal perang, senapan mesin, pesawat terbang, tank, radio, dan lainnya.
Menyederhanakan deskripsi tersebut, perang modern merupakan antitesa perang tradisional yang lazim menggunakan senjata tangan seperti tombak, pedang dan panah sebagai senjata utama yang biasa digunakan di jaman kerajaan. Perang modern ditandai dengan pemanfaatan perkembangan teknologi seiring kemajuan sains dan teknologi. Dalam konteks ini, penggunaan drone merupakan salah satu invensi monumental yang mewarnai perkembangan karakter dan strategi peperangan modern pada abad 21.
Kemenangan Azerbaijan atas Armenia dalam perang memperebutkan wilayah perbatasan, yakni Nagorno-Karabakh, pada 2020 lalu menjadi tonggak pengakuan drone sebagai alutsista perang modern yang berperan sebagai game changer. Penggunaan drone Bayraktar TB2 buatan Baykar Technologies asal Turki dalam momen tersebut bukan hanya menjadi mata-mata bagi militer Azerbaijan untuk mengawasi posisi lawan,tapi sekaligus bertindak sebagai pemukul dengan mengeksekusi target strategis lawan secara langsung.
Perang yang dilakukan Bayraktar TB2 terbilang sangat strategis. Betapa tidak, dia digunakan untuk menyasar sistem radar dan rudal pertahanan udara, sistem artileri medan, peluncur roket multilaras (MLRS), sistem rudal balistik jarak dekat, beragam kendaraan tempur darat, hingga mengeliminasi kelompok pasukan darat Armenia.
Sukses besar di palagan Nagorno-Karabakh menjadikan nama Bayraktar TB2 sebagai alutsista battle proven dan melambung tinggi di persaingan drone tempur dunia. Di sisi lain, pengalaman pertempuran tersebut menggugah kesadaran para ahli strategi militer dunia tentang makna strategis penggunaan drone dalam perang modern.
Apalagi kemudian pada perang Rusia vs Ukraina yang pecah 2022 dan hingga kini masih berlangsung, drone tempur sama digunakan pasukan Ukraina sempat membuat kewalahan pasukan darat Rusia. Catatan paling fenomenal ditorehkan kala Bayraktar TB2 bersama Su-27 Angkatan Udara Ukraina menggempur posisi pasukan Rusia yang menguasai Pulau Ular milik Ukraina di Laut Hitam pada 7 Mei 2022.
baca juga: 7 Keunggulan Drone Tempur Bayraktar Akinci, Berteknologi AI dan Bekerja Layaknya Jet Tempur
Walaupun tidak sefenomenal dua peperangan tersebut, drone sebelumnya telah dimanfaatkan dalam beberapa operasi militer, terutama oleh Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam itu secara intensif memanfaatkannya untuk operasi militer Irak, Iran, Suriah, Libia, Somalia, hingga Afganistan.
Realitas tersebut lagi-lagi menegaskan penggunaan drone tempur sebagai elemen taktis penting dalam mendukung strategi perang modern. Dia bahkan memiliki keunggulan khusus untuk melengkapi sistem persenjataan perang modern lainnya, dalam pesawat tempur generasi teranyar atau dikenal sebagai loyal wingman.
Butuh Komitmen
Keputusan tiga matra di TNI mengakuisi dan menyiapkan satuan drone mengindikasikan langkah kongkret menjadikan pesawat nirawak ini sebagai kekuatan masa depan TNI. Sikap ini sekaligus menunjukkan kesadaran bahwa drone adalah alutsista signifikan dalam perang modern saat ini.
Selain telah diperkuat CH-4 Rainbow, TNI juga telah mengincar drone buatan Turki yang masuk kategori drone berkemampuan terbang pada ketinggian medium dan terbang lama/jauh atau MALE (Medium-Altitude Long-Endurance). Berdasar laporan Janes (9/2/2023), drone dimaksud adalah BayraktarTB2 buatan Baykar Technologies dan Anka yang diproduksi Turkish Aerospace Industries (TUSAS) dengan produknya droneAnka.
baca juga: Dahsyat! Drone Tempur Buatan Israel Perkuat Pasukan Elite Kopasgat TNI AU
Pembelian drone asal Turki itu merupakan bagian dari daftar 16 program pembelian alutsista TNI pada 2023, yang diizinkan untuk menggunakan pinjaman luar negeri. Kemenkeu menyetujui sistem pembiayaan itu, dengan syarat kontrak formal ditandatangani Kemenhan sebelum 31 Desember 2023.
Persetujuan pengadaandronediberikan secara terpisah untuk masing-masing tiga angkatan, beserta amunisinya. Untuk TNI AU , misalnya, Kemenkeu telah mengizinkan jumlah pinjaman hingga USD200 juta tau sekitar Rp3,29 triliun. Sedangkan untukpengadaanamunisi, nilai pinjaman dipatok maksimal sebesar USD38,115 juta atau sekitar Rp577 miliar.
Bila melihat perkembangan tersebut, kapasitas drone tempur yang dimiliki TNI sebenarnya tak ketinggalan dibanding negara kawasan. Termasuk, dibanding Singapura yang diperkuat dengan drone RQ-4 Global Hawk buatan Northrop Grumman, dan Australia telah memesan drone intai strategis kelas HALE (High–Altitude Long–Endurance) Northrop Grumman MQ-4CTritonmade in Amerika Serikat.
Hanya saja, kedua negara tetangga ini lebih progresif mengembangkan kemandirian drone tempur. Singapura misalnya dalam proses pengembangan drone serang supersonic, yaitu Arrow. Drone yang dikembangkan Kelley Aerospace itu diarahkan untuk multi-misi: pengintaian, serangan darat, serangan udara, mengawal pesawat berawak, dan jenis misi lainnya. Sedangkan Australia membangun UCAVloyal wingmanbersama Boeing, yakni MQ-28Ghost Bat.
Indonesia sebetulnya jauh hari sudah merintis pembangunan drone, namun dengan kapasitas dan fungsi terbatas. Beberapa drone karya anak bangsa adalah drone Wulung, Lapan Surveillance Unnamed (LSU), Gagak dan lainnya. Bahkan untuk drone MALE yang dipersenjatai, yakni drone Elang Hitam yang digarap BPPT, PT LEN, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia dan beberapa lembaga lain. Sayangnya, setelah lembaga riset disatukan dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), proyek tersebut malah dihentikan dengan berbagai alasan.
Melihat pentingnya perang drone tempur dalam peperangan modern serta kebutuhan penguatan kapasitas militer agar mampu merespons dinamika tantangan dan ancaman, termasuk di Laut China Selatan, proyek Elang Hitam urgen kembali dihidupkan. Jika persoalan terkendala keterbatasan teknologi dan kemampuan SDM, BRIN bisa memanfaatkan kerja sama dengan Turki sebagai bagian mekanisme transfer of technology (ToT) akuisisi drone BayraktarTB2 dan Anka.
baca juga: Pertahanan Udara Rusia Hancurkan 21 Drone Tempur Ukraina
Atau, kalau memang BRIN tidak bisa diharapkan, pemerintah bisa mendorong partisipasi swasta. Tapi, rasanya aneh bila Indonesia yang sudah memiliki kompetensi membangun pesawat terbang tidak mampu membangun drone. Karenanya, decision maker negeri ini harus belajar dari kesungguhan Turki yang sudah mampu drone dan bahkan mengekspor, hingga drone buatanya mereka menjadi alutsista andalan banyak negara untuk memenangkan pertempuran.
Perkembangan termutakhir juga menunjukkan jenis droneKamikaze telah menjadi alutsista penting dalam medan laga. Iran misalnya, memproduksi drone Shahed-136 dan sudah digunakan Rusia untuk melumpuhkan Ukraina. Bahkan Hamas pun sudah mampu membuat jenis drone ini, Zouari, dan telah dioperasikan dalam misi penyerangan ke wilayah Israel.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. PT Dahana yang merupakan BUMN produsen bahan peledak telah mengembangkan droneKamikaze Rajata. Bahkan, drone yang dikembangkan sejak 2021 itu diklaim tak kalah canggih dibanding Kalashnikov milik Rusia, Warmate (Polandia), Switchblade (Amerika Serikat), dan Hero-30 (Israel). Istimewanya, walaupun memiliki kemampuan bersaing, harga Rajata paling murah.
Tak mau kalah, PT Pindad juga sedang mengembangkan drone Minibe. Drone kamikaze yang dilengkapi sistem seperti misil ini memiliki kemampuan jarak terbang mencapai 25 km dengan kecepatan 250 km per jam, dan membawa bahan peledak hingga hampir satu kilo. Selain Dahana dan Pindad, TNI AL melalui Perwira Siswa (Pasis) Seskoal juga tengah merancang jenis drone sama.
Hanya saja, setiap pengembangkan alutsista di Tanah Air selalui dihantui keraguan akan berhenti di prototipe, atau tidak dilanjutkan seperti nasib yang dialami Elang Hitam. Jawaban tentu dikembalikan ke Kemhan atau institusi terkait seperti BRIN, yakni apakah Indonesia bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian, termasuk membuat drone tempur, atau selamanya bergantung pada negara lain.
Namun, berangkat dari kesadaran akan posisi strategis drone, pentingnya kemandirian alutsista, serta menguatnya dinamika konflik antar-negara, pemerintah dan otoritas terkait harus berani melangkah ke depan mewujudkan berbagai program drone yang dilakukan.
baca juga: Prabowo Dipameri Drone hingga Rudal Tempur Buatan UGM
Komitmen ini merupakan prasarat mutlak membangun kapasitas militer Indonesia, serta menjadi pondasi untuk mengikuti perkembangan teknologi alutsista, termasuk drone, yang berlangsung sangat cepat. Apalagi untuk teknologi drone ini, beberapa negara bahkan sudah melangkah mewujudkan loyal wingman.
Konsep loyal wingman adalah drone yang dibenamkan kemampuan kecerdasan buatan (AI) dan dirancang mampu berkolaborasi dengan pesawat tempur berawak generasi berikutnya. Termasuk pesawat tempur dan pembom generasi keenam seperti Northrop Grumman B- 21. Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal dengan nama collaborative combat aircraft (CCA).
Beberapa negara maju sudah mengembangkan loyal wingman, termasuk Korea Selatan. Negeri Gingseng ini pada 2021 mengumumkan mengembangkan Stingray-X yang diproyeksikan mendampingi Boromae. Alutsista yang diagendakan kelar 2025 itu disebut mampu menembus jaringan pertahanan udara, melumpuhkan radar, dan mendukung pertempuran udara. (*)
baca juga: Modernisasi Alutsista, TNI AL Akan Lengkapi Kapal Perang dengan Drone Tempur
Urgensi pemanfaatan drone untuk mendukung kapasitas TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI bukan kali ini saja disampaikan KSAL. Sebelumnya eks komandan kapal selam Nanggala tersebut mengungkapkan program TNI AL membangun skadron khusus untuk operasi drone.
Kesadaran penggunaan drone untuk mendukung strategi militer termutakhir bukan hanya datang dari TNI AL. TNI AD dan TNI AU bahkan sudah sejak awal mendatangkan dan mengembangkan drone. TNI AD misalnya, telah mengakuisisi drone Rajawali 330 buatan PT Bhinneka Dwi Persada (BPD) dan Black Hornet sejak 2021. Selain itu, TNI AD bersama PT Nexin melakukan kerja bareng menggarap drone yang diarahkan sebagai the eye artillery atau mata artileri medan.
TNI AU lebih progresif lagi. Kesatuan yang memiliki motto Swa Bhuana Paksa itu telah dilengkapi dengan CH-4 Rainbow made in China Academy of Aerospace Aerodynamics. Drone yang mampu menempuh jarak 3.500-5.000 kilometer serta endurance terbang hingga 30 sampai 40 jam itu tidak hanya dibekali kemampuan surveillance darat maupun laut hingga sistem rudal untuk mendukung misi serangan.
Demi mendukung operasional armada drone, TNI AU pun telah membentuk satuan drone guna memperkuat pertahanan Indonesia. Tepatnya pada Agustus lalu, TNI AU telah meresmikan Skaduk 103 untuk para penerbang drone. Institusi baru tersebut berada di bawah Wing Pendidikan 100/Terbang Lanud Adi Sutjipto yang berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
baca juga: Ukraina Serang Instalasi Pipa Minyak Rusia dengan Drone Tempur
Tren yang ditunjukkan tiga matra TNI tersebut tentu mengindikasikan adanya respons situasional akan dinamika strategis di dunia militer. Penggunan drone merupakan keniscayaan dalam perang era modern (modern warfare) dan drone battle proven sebagai game changer meraih kemenangan. Di sisi lain, penggunan drone dianggap lebih efisien dan mengurangi risiko mengorbankan prajurit di medan laga.
Dalam konteks inilah, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang belum lama dilantik menyatakan akan memanfaatkan drone untuk mendukung patroli di wilayah konflik Papua. Penggunaan drone di wilayah rawan dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa. Ilustrasinya, bila drone sudah memastikan wilayah steril, baru prajurit TNI dikerahkan untuk mengejar kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Nagorno-Karabakh dan Perkembangan Perang Modern
Berdasar sejumlah catatan, drone sebenarnya sudah dikenal sejak akhir perang Dunia I, dan lebih intensif digunakan pada perang Dunia II. Kala itu, drone digunakan Nazi bukan sebatas untuk latihan target sasaran, tapi juga melakukan serangan. Selanjutnya, lompatan drone canggih menemukan momentum pada 1995 saat General Atomics M-Q-1 Predator memulai menjalani debutnya.
Namun, saat itu fungsi drone masih sebatas menjalankan misi surveillance. Sejak saat itu, perkembangan drone militer mengalami progresivitas dan banyak negara memberi perhatian untuk mengembangkannya kepentingan sipil maupun militer. Kehadirannya pun menjadi warna baru dalam perang modern di abad 21.
baca juga: Misterius, Drone-Drone Ukraina Berjatuhan Sendiri di Medan Tempur
Sebenarnya, apa yang dimaksud perang modern? Wikipedia mengutip definisi The Oxford History of Modern Warfare menyebut sebagai peperangan yang sangat berbeda dari konsep, metode, dan teknologi militer sebelumnya, yang menekankan bagaimana kombatan harus melakukan modernisasi untuk mempertahankan kelayakan pertempuran mereka.
Disebutkan bahwa perang modern merupakan subjek yang terus berkembang, dilihat secara berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda. Dalam arti sempitnya, ini hanyalah sinonim dari peperangan kontemporer. Secara lebih luas, kilasan sejarah perang modern ditandai dengan munculnya revolusi mesiu, artileri, kapal perang, senapan mesin, pesawat terbang, tank, radio, dan lainnya.
Menyederhanakan deskripsi tersebut, perang modern merupakan antitesa perang tradisional yang lazim menggunakan senjata tangan seperti tombak, pedang dan panah sebagai senjata utama yang biasa digunakan di jaman kerajaan. Perang modern ditandai dengan pemanfaatan perkembangan teknologi seiring kemajuan sains dan teknologi. Dalam konteks ini, penggunaan drone merupakan salah satu invensi monumental yang mewarnai perkembangan karakter dan strategi peperangan modern pada abad 21.
Kemenangan Azerbaijan atas Armenia dalam perang memperebutkan wilayah perbatasan, yakni Nagorno-Karabakh, pada 2020 lalu menjadi tonggak pengakuan drone sebagai alutsista perang modern yang berperan sebagai game changer. Penggunaan drone Bayraktar TB2 buatan Baykar Technologies asal Turki dalam momen tersebut bukan hanya menjadi mata-mata bagi militer Azerbaijan untuk mengawasi posisi lawan,tapi sekaligus bertindak sebagai pemukul dengan mengeksekusi target strategis lawan secara langsung.
Perang yang dilakukan Bayraktar TB2 terbilang sangat strategis. Betapa tidak, dia digunakan untuk menyasar sistem radar dan rudal pertahanan udara, sistem artileri medan, peluncur roket multilaras (MLRS), sistem rudal balistik jarak dekat, beragam kendaraan tempur darat, hingga mengeliminasi kelompok pasukan darat Armenia.
Sukses besar di palagan Nagorno-Karabakh menjadikan nama Bayraktar TB2 sebagai alutsista battle proven dan melambung tinggi di persaingan drone tempur dunia. Di sisi lain, pengalaman pertempuran tersebut menggugah kesadaran para ahli strategi militer dunia tentang makna strategis penggunaan drone dalam perang modern.
Apalagi kemudian pada perang Rusia vs Ukraina yang pecah 2022 dan hingga kini masih berlangsung, drone tempur sama digunakan pasukan Ukraina sempat membuat kewalahan pasukan darat Rusia. Catatan paling fenomenal ditorehkan kala Bayraktar TB2 bersama Su-27 Angkatan Udara Ukraina menggempur posisi pasukan Rusia yang menguasai Pulau Ular milik Ukraina di Laut Hitam pada 7 Mei 2022.
baca juga: 7 Keunggulan Drone Tempur Bayraktar Akinci, Berteknologi AI dan Bekerja Layaknya Jet Tempur
Walaupun tidak sefenomenal dua peperangan tersebut, drone sebelumnya telah dimanfaatkan dalam beberapa operasi militer, terutama oleh Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam itu secara intensif memanfaatkannya untuk operasi militer Irak, Iran, Suriah, Libia, Somalia, hingga Afganistan.
Realitas tersebut lagi-lagi menegaskan penggunaan drone tempur sebagai elemen taktis penting dalam mendukung strategi perang modern. Dia bahkan memiliki keunggulan khusus untuk melengkapi sistem persenjataan perang modern lainnya, dalam pesawat tempur generasi teranyar atau dikenal sebagai loyal wingman.
Butuh Komitmen
Keputusan tiga matra di TNI mengakuisi dan menyiapkan satuan drone mengindikasikan langkah kongkret menjadikan pesawat nirawak ini sebagai kekuatan masa depan TNI. Sikap ini sekaligus menunjukkan kesadaran bahwa drone adalah alutsista signifikan dalam perang modern saat ini.
Selain telah diperkuat CH-4 Rainbow, TNI juga telah mengincar drone buatan Turki yang masuk kategori drone berkemampuan terbang pada ketinggian medium dan terbang lama/jauh atau MALE (Medium-Altitude Long-Endurance). Berdasar laporan Janes (9/2/2023), drone dimaksud adalah BayraktarTB2 buatan Baykar Technologies dan Anka yang diproduksi Turkish Aerospace Industries (TUSAS) dengan produknya droneAnka.
baca juga: Dahsyat! Drone Tempur Buatan Israel Perkuat Pasukan Elite Kopasgat TNI AU
Pembelian drone asal Turki itu merupakan bagian dari daftar 16 program pembelian alutsista TNI pada 2023, yang diizinkan untuk menggunakan pinjaman luar negeri. Kemenkeu menyetujui sistem pembiayaan itu, dengan syarat kontrak formal ditandatangani Kemenhan sebelum 31 Desember 2023.
Persetujuan pengadaandronediberikan secara terpisah untuk masing-masing tiga angkatan, beserta amunisinya. Untuk TNI AU , misalnya, Kemenkeu telah mengizinkan jumlah pinjaman hingga USD200 juta tau sekitar Rp3,29 triliun. Sedangkan untukpengadaanamunisi, nilai pinjaman dipatok maksimal sebesar USD38,115 juta atau sekitar Rp577 miliar.
Bila melihat perkembangan tersebut, kapasitas drone tempur yang dimiliki TNI sebenarnya tak ketinggalan dibanding negara kawasan. Termasuk, dibanding Singapura yang diperkuat dengan drone RQ-4 Global Hawk buatan Northrop Grumman, dan Australia telah memesan drone intai strategis kelas HALE (High–Altitude Long–Endurance) Northrop Grumman MQ-4CTritonmade in Amerika Serikat.
Hanya saja, kedua negara tetangga ini lebih progresif mengembangkan kemandirian drone tempur. Singapura misalnya dalam proses pengembangan drone serang supersonic, yaitu Arrow. Drone yang dikembangkan Kelley Aerospace itu diarahkan untuk multi-misi: pengintaian, serangan darat, serangan udara, mengawal pesawat berawak, dan jenis misi lainnya. Sedangkan Australia membangun UCAVloyal wingmanbersama Boeing, yakni MQ-28Ghost Bat.
Indonesia sebetulnya jauh hari sudah merintis pembangunan drone, namun dengan kapasitas dan fungsi terbatas. Beberapa drone karya anak bangsa adalah drone Wulung, Lapan Surveillance Unnamed (LSU), Gagak dan lainnya. Bahkan untuk drone MALE yang dipersenjatai, yakni drone Elang Hitam yang digarap BPPT, PT LEN, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia dan beberapa lembaga lain. Sayangnya, setelah lembaga riset disatukan dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), proyek tersebut malah dihentikan dengan berbagai alasan.
Melihat pentingnya perang drone tempur dalam peperangan modern serta kebutuhan penguatan kapasitas militer agar mampu merespons dinamika tantangan dan ancaman, termasuk di Laut China Selatan, proyek Elang Hitam urgen kembali dihidupkan. Jika persoalan terkendala keterbatasan teknologi dan kemampuan SDM, BRIN bisa memanfaatkan kerja sama dengan Turki sebagai bagian mekanisme transfer of technology (ToT) akuisisi drone BayraktarTB2 dan Anka.
baca juga: Pertahanan Udara Rusia Hancurkan 21 Drone Tempur Ukraina
Atau, kalau memang BRIN tidak bisa diharapkan, pemerintah bisa mendorong partisipasi swasta. Tapi, rasanya aneh bila Indonesia yang sudah memiliki kompetensi membangun pesawat terbang tidak mampu membangun drone. Karenanya, decision maker negeri ini harus belajar dari kesungguhan Turki yang sudah mampu drone dan bahkan mengekspor, hingga drone buatanya mereka menjadi alutsista andalan banyak negara untuk memenangkan pertempuran.
Perkembangan termutakhir juga menunjukkan jenis droneKamikaze telah menjadi alutsista penting dalam medan laga. Iran misalnya, memproduksi drone Shahed-136 dan sudah digunakan Rusia untuk melumpuhkan Ukraina. Bahkan Hamas pun sudah mampu membuat jenis drone ini, Zouari, dan telah dioperasikan dalam misi penyerangan ke wilayah Israel.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. PT Dahana yang merupakan BUMN produsen bahan peledak telah mengembangkan droneKamikaze Rajata. Bahkan, drone yang dikembangkan sejak 2021 itu diklaim tak kalah canggih dibanding Kalashnikov milik Rusia, Warmate (Polandia), Switchblade (Amerika Serikat), dan Hero-30 (Israel). Istimewanya, walaupun memiliki kemampuan bersaing, harga Rajata paling murah.
Tak mau kalah, PT Pindad juga sedang mengembangkan drone Minibe. Drone kamikaze yang dilengkapi sistem seperti misil ini memiliki kemampuan jarak terbang mencapai 25 km dengan kecepatan 250 km per jam, dan membawa bahan peledak hingga hampir satu kilo. Selain Dahana dan Pindad, TNI AL melalui Perwira Siswa (Pasis) Seskoal juga tengah merancang jenis drone sama.
Hanya saja, setiap pengembangkan alutsista di Tanah Air selalui dihantui keraguan akan berhenti di prototipe, atau tidak dilanjutkan seperti nasib yang dialami Elang Hitam. Jawaban tentu dikembalikan ke Kemhan atau institusi terkait seperti BRIN, yakni apakah Indonesia bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian, termasuk membuat drone tempur, atau selamanya bergantung pada negara lain.
Namun, berangkat dari kesadaran akan posisi strategis drone, pentingnya kemandirian alutsista, serta menguatnya dinamika konflik antar-negara, pemerintah dan otoritas terkait harus berani melangkah ke depan mewujudkan berbagai program drone yang dilakukan.
baca juga: Prabowo Dipameri Drone hingga Rudal Tempur Buatan UGM
Komitmen ini merupakan prasarat mutlak membangun kapasitas militer Indonesia, serta menjadi pondasi untuk mengikuti perkembangan teknologi alutsista, termasuk drone, yang berlangsung sangat cepat. Apalagi untuk teknologi drone ini, beberapa negara bahkan sudah melangkah mewujudkan loyal wingman.
Konsep loyal wingman adalah drone yang dibenamkan kemampuan kecerdasan buatan (AI) dan dirancang mampu berkolaborasi dengan pesawat tempur berawak generasi berikutnya. Termasuk pesawat tempur dan pembom generasi keenam seperti Northrop Grumman B- 21. Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal dengan nama collaborative combat aircraft (CCA).
Beberapa negara maju sudah mengembangkan loyal wingman, termasuk Korea Selatan. Negeri Gingseng ini pada 2021 mengumumkan mengembangkan Stingray-X yang diproyeksikan mendampingi Boromae. Alutsista yang diagendakan kelar 2025 itu disebut mampu menembus jaringan pertahanan udara, melumpuhkan radar, dan mendukung pertempuran udara. (*)
(hdr)