Menanti Suara Kritis Dokter Indonesia dari Kota Kendari
loading...
A
A
A
Misi kesehatan Paslon nomor urut 3 ini dapat dijumpai pada Misi 1, yakni: Mempercepat pembangunan manusia Indonesia unggul yang berkualitas, produktif, dan berkepribadian, dan Misi 6: Mempercepat perwujudan lingkungan yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau dan biru.
Pertanyaanya, apanya dari dari visi dan misi ketiga Paslon tersebut yang mau dikritisi dan diberi masukan? Hemat penulis yang perlu diberi masukan adalah terkait: Pertama, apakah program kesehatannya merupakan kebutuhan riil dari masyarakat Indonesia atau hanyalah sekumpulan keinginan paslon saja. Kedua, apakah program kesehatanya tersebut mampu laksana secara berkelanjutan?
Ketiga, apakah setelah dilaksanakan memang mampu memberi daya ungkit untuk peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia. Keempat, apakah ada program sektor lain yang mendukung pembangunan? Kelima, apakah ada program sektor lain yang berdampak buruk kepada kesehatan masyarakat Indonesia (tidak berwawasan kesehatan)? Dan seterusnya.
Karena itu, penulis sangat berharap Rakernas IDI yang dihadiri banyak kaum profesional dan cerdik pandai ini dapat mengkaji dan mendebatkannya visi dan misi kesehatan ketiga Paslon tersebut.
Mengapa IDI? Sebab, pertama, secara de facto IDI-lah satu-satunya organisai profesi dokter yang ada di Indonesia. IDI-lah yang merupapan refresentasi dokter Indonesia secara nasional dan maupun internasional. Kedua, IDI beranggotakan para sajana, yang profesional dan cerdik pandai. Ketiga, karena dengan memberi masukan dan analisa kritis maka IDI telah melaksanakan meaningful participation dokter Indonesia.
Dan, suara kritis IDI tersebut seharusnya dimaknai oleh ketiga Paslon sebagai sumbangsih IDI bagi proses demokrasi dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Bukankah meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera adalah salah satu tujuan IDI. Selaras pula dengan tema Rakernas, yang ingin agar IDI bangkit dan bersatu untuk rakyat Indonesia.
Di luar soal Pilpres, sebetulnya Pemilu Indonesia masih tersisa menyisakan pekerjaan rumah (PR) besar yang cukup “menghantui”, yakni kematian penyelenggara pemilu 2019 lalu. Data KPU tahun 2019 menunjukkan 894 orang petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia dan 5.175 yang mengalami sakit. Salah satu faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah beban kerja yang cukup besar dan berat.
Bila memang penyebab kematian 2019 lalu karena beban kerja yang berat dan melelahkan maka dapat dikatakan risiko Pemilu 2024 lebih berat lagi. Mengapa demikian? Sebab setelah Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif akan diselenggarakan pula Pemilihan Kepala Daerah serentak bulan Septemebr 2024.
Beban pekerjaannya 2024 lebih panjang dan tentu lebih berat serta melelahkan dibanding 2019. Bukan sesuatu yang tidak mungkin kejadian 2019 terulang kembali. Karena itu KPU dan pemerintah perlu waspada dengan melakukan mitigasi risiko atas segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Catatan Akhir
Memang sebagian orang awam masih sulit memahami bila organisasi profesi seperti IDI bisa berbeda pendapat dengan pemerintah. Apalagi bila perbedaan pendapat itu cukup kritis. Bahkan sebagian dokter anggota IDI yang kebetulan pejabat pemerintah pun kadang sulit memahaminya.
Pertanyaanya, apanya dari dari visi dan misi ketiga Paslon tersebut yang mau dikritisi dan diberi masukan? Hemat penulis yang perlu diberi masukan adalah terkait: Pertama, apakah program kesehatannya merupakan kebutuhan riil dari masyarakat Indonesia atau hanyalah sekumpulan keinginan paslon saja. Kedua, apakah program kesehatanya tersebut mampu laksana secara berkelanjutan?
Ketiga, apakah setelah dilaksanakan memang mampu memberi daya ungkit untuk peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia. Keempat, apakah ada program sektor lain yang mendukung pembangunan? Kelima, apakah ada program sektor lain yang berdampak buruk kepada kesehatan masyarakat Indonesia (tidak berwawasan kesehatan)? Dan seterusnya.
Karena itu, penulis sangat berharap Rakernas IDI yang dihadiri banyak kaum profesional dan cerdik pandai ini dapat mengkaji dan mendebatkannya visi dan misi kesehatan ketiga Paslon tersebut.
Mengapa IDI? Sebab, pertama, secara de facto IDI-lah satu-satunya organisai profesi dokter yang ada di Indonesia. IDI-lah yang merupapan refresentasi dokter Indonesia secara nasional dan maupun internasional. Kedua, IDI beranggotakan para sajana, yang profesional dan cerdik pandai. Ketiga, karena dengan memberi masukan dan analisa kritis maka IDI telah melaksanakan meaningful participation dokter Indonesia.
Dan, suara kritis IDI tersebut seharusnya dimaknai oleh ketiga Paslon sebagai sumbangsih IDI bagi proses demokrasi dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Bukankah meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera adalah salah satu tujuan IDI. Selaras pula dengan tema Rakernas, yang ingin agar IDI bangkit dan bersatu untuk rakyat Indonesia.
Di luar soal Pilpres, sebetulnya Pemilu Indonesia masih tersisa menyisakan pekerjaan rumah (PR) besar yang cukup “menghantui”, yakni kematian penyelenggara pemilu 2019 lalu. Data KPU tahun 2019 menunjukkan 894 orang petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia dan 5.175 yang mengalami sakit. Salah satu faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah beban kerja yang cukup besar dan berat.
Bila memang penyebab kematian 2019 lalu karena beban kerja yang berat dan melelahkan maka dapat dikatakan risiko Pemilu 2024 lebih berat lagi. Mengapa demikian? Sebab setelah Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif akan diselenggarakan pula Pemilihan Kepala Daerah serentak bulan Septemebr 2024.
Beban pekerjaannya 2024 lebih panjang dan tentu lebih berat serta melelahkan dibanding 2019. Bukan sesuatu yang tidak mungkin kejadian 2019 terulang kembali. Karena itu KPU dan pemerintah perlu waspada dengan melakukan mitigasi risiko atas segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Catatan Akhir
Memang sebagian orang awam masih sulit memahami bila organisasi profesi seperti IDI bisa berbeda pendapat dengan pemerintah. Apalagi bila perbedaan pendapat itu cukup kritis. Bahkan sebagian dokter anggota IDI yang kebetulan pejabat pemerintah pun kadang sulit memahaminya.