Robohnya Etika Pemimpin Negeri Kami
loading...
A
A
A
Juga tentang konflik agraria masyarakat adat yang masif terjadi. Sampai pada isu-isu korupsi di institusi-institusi Kementerian,selain pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terserak dimana-mana sejak satu dekade ini. Dalam konteks kebebasan berekspresi serta sejumlah penghilangan nyawa yang masih misterius tanpa ada pertanggungjawaban secara yuridis formal.
Jika seni, apapun itu ekspresi dan bentuk pengejawantahannya seperti teater, film, sastra, tari pun seni rupa terikat adab pada tiga mantra utama, yakniestetika, logika dan etika. Maka estetika adalah ruang terhimpun dan menumpuknya berbagai teori serta konsep-konsep tentang kebagusan, yang menampak menawan dan dikatakan indah.
Sementara, logika adalah argumen-argumen pun konsep canggih yang bernalar untuk menjunjung logika yang disebut estetik tadi. Namun, dari semua hal itu, tak lengkap bahkan omong ksosong jika yang estetik dan yang logis itu melabrak bagian paling sakral dari seni, yakniyang Etis!
baca juga: Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
Sejarah peradaban menunjukkan, bahwa para seniman, filsuf dan cendikia cum politikus yang hebat menorehkan jejak-jejak yang etis membawa transformasi sejarah menuju ke pencerahan-pencerahan. Seperti sosok Voltaire, JJ. Rosseau sampai Montesquieu di Perancis di abad ke-18 yang kemudian memberi inspirasi ke masyarakat untuk merombak monarki dan sistem kerajaan menjadi hadirnya harapan tentang demokrasi, tentu dengan pengorbanan Revolusi Perancis nan berdarah-darah itu.
Politik dan seni tumbuhmenjadi satu tatkala yang etis dibaca dalam tubuh sosok dan karya-karya mereka bertiga. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau seorang komposer musik ciamik yang meneguhkan tentang prinsip bahwa penguasa—yakni, Raja Perancis— wajib diikat sebagai aturan ketat mengenai kekuasaannya, semata-mata berbasis kontrak-sosial dengan publik, tak lagi menyoal keturunan-darah.
Demikian juga, cendikia serta filsuf ternama Montesque yang bergiat sebagai dramawan tenar dan kritikus cerlang tentang estetika dalam seni. Jelas-jelas ia meneruskan filsuf John Locke dari Inggris tentang teori Trias Politica yang fenomenal itu. Layaknya penguasa, dalam hal ini penyelenggara negara seharusnya terbagi atas tiga kuasa, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Seperti kita tahu, justru di Indonesia ketiga-nya tak saling mengingatkan, namun semua bersatu dalam “kegelapan-kegelapan kebangsaan”.
Sementara, Voltaire dengan tajam surat-suratnya, karya esai-esainya, sebagai sastrawan dan cendikia politik membawa ia sebuah keyakinan bahwa semestinya penguasa wajib dikontrol, bahkan raja sekalipun, tak ada kekuasaan di muka bumi ini yang absolut dalam diri manusia.
Tangisan Tardji dan Air Mata Rakyat
Sebagai koordinator dan kurator seni pada bulan sakral yang bersisihan, Oktober (Sumpah Pemuda) dan juga November (Hari Pahlawan), penulis dan tim panitia penyelenggara eksibisi mengundang penyair hebat Melayu kontemporer kita, Sutardji Colzum Bachri dalam rangkaian acara Orasi Budaya oleh Anies Rasyid Baswedan dan Cak Muhaimin Iskandar serta sejumlah pelukis dan penari juga sastrawan.
Jika seni, apapun itu ekspresi dan bentuk pengejawantahannya seperti teater, film, sastra, tari pun seni rupa terikat adab pada tiga mantra utama, yakniestetika, logika dan etika. Maka estetika adalah ruang terhimpun dan menumpuknya berbagai teori serta konsep-konsep tentang kebagusan, yang menampak menawan dan dikatakan indah.
Sementara, logika adalah argumen-argumen pun konsep canggih yang bernalar untuk menjunjung logika yang disebut estetik tadi. Namun, dari semua hal itu, tak lengkap bahkan omong ksosong jika yang estetik dan yang logis itu melabrak bagian paling sakral dari seni, yakniyang Etis!
baca juga: Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
Sejarah peradaban menunjukkan, bahwa para seniman, filsuf dan cendikia cum politikus yang hebat menorehkan jejak-jejak yang etis membawa transformasi sejarah menuju ke pencerahan-pencerahan. Seperti sosok Voltaire, JJ. Rosseau sampai Montesquieu di Perancis di abad ke-18 yang kemudian memberi inspirasi ke masyarakat untuk merombak monarki dan sistem kerajaan menjadi hadirnya harapan tentang demokrasi, tentu dengan pengorbanan Revolusi Perancis nan berdarah-darah itu.
Politik dan seni tumbuhmenjadi satu tatkala yang etis dibaca dalam tubuh sosok dan karya-karya mereka bertiga. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau seorang komposer musik ciamik yang meneguhkan tentang prinsip bahwa penguasa—yakni, Raja Perancis— wajib diikat sebagai aturan ketat mengenai kekuasaannya, semata-mata berbasis kontrak-sosial dengan publik, tak lagi menyoal keturunan-darah.
Demikian juga, cendikia serta filsuf ternama Montesque yang bergiat sebagai dramawan tenar dan kritikus cerlang tentang estetika dalam seni. Jelas-jelas ia meneruskan filsuf John Locke dari Inggris tentang teori Trias Politica yang fenomenal itu. Layaknya penguasa, dalam hal ini penyelenggara negara seharusnya terbagi atas tiga kuasa, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Seperti kita tahu, justru di Indonesia ketiga-nya tak saling mengingatkan, namun semua bersatu dalam “kegelapan-kegelapan kebangsaan”.
Sementara, Voltaire dengan tajam surat-suratnya, karya esai-esainya, sebagai sastrawan dan cendikia politik membawa ia sebuah keyakinan bahwa semestinya penguasa wajib dikontrol, bahkan raja sekalipun, tak ada kekuasaan di muka bumi ini yang absolut dalam diri manusia.
Tangisan Tardji dan Air Mata Rakyat
Sebagai koordinator dan kurator seni pada bulan sakral yang bersisihan, Oktober (Sumpah Pemuda) dan juga November (Hari Pahlawan), penulis dan tim panitia penyelenggara eksibisi mengundang penyair hebat Melayu kontemporer kita, Sutardji Colzum Bachri dalam rangkaian acara Orasi Budaya oleh Anies Rasyid Baswedan dan Cak Muhaimin Iskandar serta sejumlah pelukis dan penari juga sastrawan.