Robohnya Etika Pemimpin Negeri Kami
loading...
A
A
A
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator Seni dan Koordinator Forum Alumni Unej untuk Perubahan, Anies Cadas
GONJANG-GANJING dinamika politik Indonesia, memantik ingat pada sosok dan karya A.ANavis, sastrawan dan kritikus tahun 50-an yang mendapat penghargaan S.E.A Write Award dengan simbol surau yang roboh.
baca juga: Wapres Minta Elite Pegang Teguh Etika Politik Jelang Pemilu 2024
Secara sosio-religi, cerpen berjudul Robohnya Surau Kamitanpa narasi bertele-tele penanda surau atau langgar (Jawa: masjid kecil) yang roboh jelas membawa gambaran metafora “sebuah bangunan psikis” yang ringkih, berakhir runtuh dengan tragis.
Para seniman, sastrawan, pekerja budaya pun penulis-penulis serta merekasiapa saja tentu setuju bahwa surau tak hanya yang bersifat spiritual, namun lebih pada ruang-berbagi lambang bekerjanya komunitas bersama.
Surau adalah sebuah fundamen psiko-geografi, di mana seseorang melabuhkan diri menunggal bersama masyarakat. Surau, berarti pula upaya menegakkan ikatan tentang apa yang dianggap kebenaran personal sekaligus komunal.
Ke-Tuhanan pada saat sama adalah pancaran tentang yang paling hakiki, yang suci mendiami kejiwaan sekaligus juga kesepakatan untuk janji memberi yang terbaik dalam kehidupan riil bagi kebaikan sosial. Cerpen A.A Navis patut dibaca ulang konteksnya yang tak hanya sebatas reliji, namun sebagai pukulan besar akan etika-sosial yang luluh lantak di negeri ini.
Dalam narasi cerpen A.A Navis diibaratkan bangsa Indonesia sepertinya akan masuk “Neraka”. Bukan sebab tak rajin ibadah, namun lengah untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dalam bermasyarakat, sederhananya: kesalehan sosial menghilang hari-hari ini.
baca juga: Teladan dan Etika Politik Mahfud MD Menghormati Keberagaman Budaya Indonesia
Bangsa Indonesia wajib mengembalikan kebenaran etis yang terlanggar oleh penguasa sejumlah tahun ini. Dari fenomena menjelang Pemilu, isu hasil keputusan MKMK dengan pelanggaran berat etika konstitusional, dijalankannya UU Ciptakerja yang kontroversial itu, isu lingkungan hidup yang makin merusak ekologi Indonesia,pun kemiskinan dan pengangguran merajalela.
Juga tentang konflik agraria masyarakat adat yang masif terjadi. Sampai pada isu-isu korupsi di institusi-institusi Kementerian,selain pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terserak dimana-mana sejak satu dekade ini. Dalam konteks kebebasan berekspresi serta sejumlah penghilangan nyawa yang masih misterius tanpa ada pertanggungjawaban secara yuridis formal.
Jika seni, apapun itu ekspresi dan bentuk pengejawantahannya seperti teater, film, sastra, tari pun seni rupa terikat adab pada tiga mantra utama, yakniestetika, logika dan etika. Maka estetika adalah ruang terhimpun dan menumpuknya berbagai teori serta konsep-konsep tentang kebagusan, yang menampak menawan dan dikatakan indah.
Sementara, logika adalah argumen-argumen pun konsep canggih yang bernalar untuk menjunjung logika yang disebut estetik tadi. Namun, dari semua hal itu, tak lengkap bahkan omong ksosong jika yang estetik dan yang logis itu melabrak bagian paling sakral dari seni, yakniyang Etis!
baca juga: Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
Sejarah peradaban menunjukkan, bahwa para seniman, filsuf dan cendikia cum politikus yang hebat menorehkan jejak-jejak yang etis membawa transformasi sejarah menuju ke pencerahan-pencerahan. Seperti sosok Voltaire, JJ. Rosseau sampai Montesquieu di Perancis di abad ke-18 yang kemudian memberi inspirasi ke masyarakat untuk merombak monarki dan sistem kerajaan menjadi hadirnya harapan tentang demokrasi, tentu dengan pengorbanan Revolusi Perancis nan berdarah-darah itu.
Politik dan seni tumbuhmenjadi satu tatkala yang etis dibaca dalam tubuh sosok dan karya-karya mereka bertiga. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau seorang komposer musik ciamik yang meneguhkan tentang prinsip bahwa penguasa—yakni, Raja Perancis— wajib diikat sebagai aturan ketat mengenai kekuasaannya, semata-mata berbasis kontrak-sosial dengan publik, tak lagi menyoal keturunan-darah.
Demikian juga, cendikia serta filsuf ternama Montesque yang bergiat sebagai dramawan tenar dan kritikus cerlang tentang estetika dalam seni. Jelas-jelas ia meneruskan filsuf John Locke dari Inggris tentang teori Trias Politica yang fenomenal itu. Layaknya penguasa, dalam hal ini penyelenggara negara seharusnya terbagi atas tiga kuasa, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Seperti kita tahu, justru di Indonesia ketiga-nya tak saling mengingatkan, namun semua bersatu dalam “kegelapan-kegelapan kebangsaan”.
Sementara, Voltaire dengan tajam surat-suratnya, karya esai-esainya, sebagai sastrawan dan cendikia politik membawa ia sebuah keyakinan bahwa semestinya penguasa wajib dikontrol, bahkan raja sekalipun, tak ada kekuasaan di muka bumi ini yang absolut dalam diri manusia.
Tangisan Tardji dan Air Mata Rakyat
Sebagai koordinator dan kurator seni pada bulan sakral yang bersisihan, Oktober (Sumpah Pemuda) dan juga November (Hari Pahlawan), penulis dan tim panitia penyelenggara eksibisi mengundang penyair hebat Melayu kontemporer kita, Sutardji Colzum Bachri dalam rangkaian acara Orasi Budaya oleh Anies Rasyid Baswedan dan Cak Muhaimin Iskandar serta sejumlah pelukis dan penari juga sastrawan.
Penulis benar-benar tercenung tatkala puisi Tanah Air Mata, yang diciptakan tahun 1991 yang menggambarkan perlawanan sosial dari seorang sastrawan atas realitas kehidupan yang dihadapi oleh rakyat, yang tentunya sangat kontekstual pada saat ini.
Tanah Air Mata
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Puisi Tardji, puluhan tahun silam dibacakan kembali di Galeri Seni Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Oktober lalu.Dan,air-matanya banjir dimana-mana dan kelu lidah dan bungkam mulut ini menjadi saksi kepedihan negeri yang roboh sudah etika para pemimpinnya.
Kurator Seni dan Koordinator Forum Alumni Unej untuk Perubahan, Anies Cadas
GONJANG-GANJING dinamika politik Indonesia, memantik ingat pada sosok dan karya A.ANavis, sastrawan dan kritikus tahun 50-an yang mendapat penghargaan S.E.A Write Award dengan simbol surau yang roboh.
baca juga: Wapres Minta Elite Pegang Teguh Etika Politik Jelang Pemilu 2024
Secara sosio-religi, cerpen berjudul Robohnya Surau Kamitanpa narasi bertele-tele penanda surau atau langgar (Jawa: masjid kecil) yang roboh jelas membawa gambaran metafora “sebuah bangunan psikis” yang ringkih, berakhir runtuh dengan tragis.
Para seniman, sastrawan, pekerja budaya pun penulis-penulis serta merekasiapa saja tentu setuju bahwa surau tak hanya yang bersifat spiritual, namun lebih pada ruang-berbagi lambang bekerjanya komunitas bersama.
Surau adalah sebuah fundamen psiko-geografi, di mana seseorang melabuhkan diri menunggal bersama masyarakat. Surau, berarti pula upaya menegakkan ikatan tentang apa yang dianggap kebenaran personal sekaligus komunal.
Ke-Tuhanan pada saat sama adalah pancaran tentang yang paling hakiki, yang suci mendiami kejiwaan sekaligus juga kesepakatan untuk janji memberi yang terbaik dalam kehidupan riil bagi kebaikan sosial. Cerpen A.A Navis patut dibaca ulang konteksnya yang tak hanya sebatas reliji, namun sebagai pukulan besar akan etika-sosial yang luluh lantak di negeri ini.
Dalam narasi cerpen A.A Navis diibaratkan bangsa Indonesia sepertinya akan masuk “Neraka”. Bukan sebab tak rajin ibadah, namun lengah untuk menegakkan sendi-sendi kebenaran dalam bermasyarakat, sederhananya: kesalehan sosial menghilang hari-hari ini.
baca juga: Teladan dan Etika Politik Mahfud MD Menghormati Keberagaman Budaya Indonesia
Bangsa Indonesia wajib mengembalikan kebenaran etis yang terlanggar oleh penguasa sejumlah tahun ini. Dari fenomena menjelang Pemilu, isu hasil keputusan MKMK dengan pelanggaran berat etika konstitusional, dijalankannya UU Ciptakerja yang kontroversial itu, isu lingkungan hidup yang makin merusak ekologi Indonesia,pun kemiskinan dan pengangguran merajalela.
Juga tentang konflik agraria masyarakat adat yang masif terjadi. Sampai pada isu-isu korupsi di institusi-institusi Kementerian,selain pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terserak dimana-mana sejak satu dekade ini. Dalam konteks kebebasan berekspresi serta sejumlah penghilangan nyawa yang masih misterius tanpa ada pertanggungjawaban secara yuridis formal.
Jika seni, apapun itu ekspresi dan bentuk pengejawantahannya seperti teater, film, sastra, tari pun seni rupa terikat adab pada tiga mantra utama, yakniestetika, logika dan etika. Maka estetika adalah ruang terhimpun dan menumpuknya berbagai teori serta konsep-konsep tentang kebagusan, yang menampak menawan dan dikatakan indah.
Sementara, logika adalah argumen-argumen pun konsep canggih yang bernalar untuk menjunjung logika yang disebut estetik tadi. Namun, dari semua hal itu, tak lengkap bahkan omong ksosong jika yang estetik dan yang logis itu melabrak bagian paling sakral dari seni, yakniyang Etis!
baca juga: Matinya Etika Politik di Era Post Democracy
Sejarah peradaban menunjukkan, bahwa para seniman, filsuf dan cendikia cum politikus yang hebat menorehkan jejak-jejak yang etis membawa transformasi sejarah menuju ke pencerahan-pencerahan. Seperti sosok Voltaire, JJ. Rosseau sampai Montesquieu di Perancis di abad ke-18 yang kemudian memberi inspirasi ke masyarakat untuk merombak monarki dan sistem kerajaan menjadi hadirnya harapan tentang demokrasi, tentu dengan pengorbanan Revolusi Perancis nan berdarah-darah itu.
Politik dan seni tumbuhmenjadi satu tatkala yang etis dibaca dalam tubuh sosok dan karya-karya mereka bertiga. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau seorang komposer musik ciamik yang meneguhkan tentang prinsip bahwa penguasa—yakni, Raja Perancis— wajib diikat sebagai aturan ketat mengenai kekuasaannya, semata-mata berbasis kontrak-sosial dengan publik, tak lagi menyoal keturunan-darah.
Demikian juga, cendikia serta filsuf ternama Montesque yang bergiat sebagai dramawan tenar dan kritikus cerlang tentang estetika dalam seni. Jelas-jelas ia meneruskan filsuf John Locke dari Inggris tentang teori Trias Politica yang fenomenal itu. Layaknya penguasa, dalam hal ini penyelenggara negara seharusnya terbagi atas tiga kuasa, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Seperti kita tahu, justru di Indonesia ketiga-nya tak saling mengingatkan, namun semua bersatu dalam “kegelapan-kegelapan kebangsaan”.
Sementara, Voltaire dengan tajam surat-suratnya, karya esai-esainya, sebagai sastrawan dan cendikia politik membawa ia sebuah keyakinan bahwa semestinya penguasa wajib dikontrol, bahkan raja sekalipun, tak ada kekuasaan di muka bumi ini yang absolut dalam diri manusia.
Tangisan Tardji dan Air Mata Rakyat
Sebagai koordinator dan kurator seni pada bulan sakral yang bersisihan, Oktober (Sumpah Pemuda) dan juga November (Hari Pahlawan), penulis dan tim panitia penyelenggara eksibisi mengundang penyair hebat Melayu kontemporer kita, Sutardji Colzum Bachri dalam rangkaian acara Orasi Budaya oleh Anies Rasyid Baswedan dan Cak Muhaimin Iskandar serta sejumlah pelukis dan penari juga sastrawan.
Penulis benar-benar tercenung tatkala puisi Tanah Air Mata, yang diciptakan tahun 1991 yang menggambarkan perlawanan sosial dari seorang sastrawan atas realitas kehidupan yang dihadapi oleh rakyat, yang tentunya sangat kontekstual pada saat ini.
Tanah Air Mata
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Puisi Tardji, puluhan tahun silam dibacakan kembali di Galeri Seni Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Oktober lalu.Dan,air-matanya banjir dimana-mana dan kelu lidah dan bungkam mulut ini menjadi saksi kepedihan negeri yang roboh sudah etika para pemimpinnya.
(hdr)