Kompromi Hukum Tata Kelola SDA demi Laju Ekonomi Dalam Negeri
loading...
A
A
A
Muhamad Ikram Pelesa
Ketua PB HMI Bidang Energi, Migas, dan Minerba
PADA permulaan masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah telah merealisasikan beragam perbaikan dalam semua sektor sumber daya alam. Perbaikan tersebut diterapkan secara luas pada industri hilirisasi sektor energi, migas, mineral dan batubara.
Khususnya mendorong divestasi saham sebesar 51%. Tujuannya mengutamakan kepentingan nasional dan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, sambil tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.
Pemerintah dan lembaga terkait telah mengambil berbagai kebijakan untuk terus merealisasikan dan mendorong hilirisasi di Indonesia yakni menerbitkan dua UU sebagai dasar hilirisasi industri di Indonesia. Keduanya yakni UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan agar tidak melakukan ekspor bahan mentah dan UU No 3/2014 tentang Perindustrian.
Pemerintah mendorong pengembangan aktivitas usaha salah satunya melalui pemberian insentif pajak berupa fasilitas bea impor, pemberian insentif pajak (tax holiday), dan pengurangan pajak (tax allowance).
Hilirisasi industri merupakan jargon yang terus disampaikan Presiden Jokowi. Dalam konteks energi dan sumber daya alam, hilirisasi sering berkaitan dengan usaha untuk mengolah sumber daya alam mentah menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Ini biasanya lebih kompleks dan memiliki tingkat penjualan yang lebih baik di pasar Internasional demi membantu meningkatkan nilai ekonomi produk dan menciptakan peluang kerja di sektor pengolahan.
Timeline hilirisasi industri Indonesia dimulai dari pembangunan smelter. Meliputi smelter pengolahan bijih nikel dan smelter pengolahan tembaga, hilirisasi logam meliputi larangan ekspor nikel.
Bersadarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal 2020. Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai USD12,35 miliar atau tumbuh hingga 263 % jika dibandingkan 2019, sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar (Kemenku, 2022).
Namun kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, alasan Uni Eropa menggugat Indonesia bahwa saat ini dunia bergerak menuju energi hijau dan industri ramah lingkungan. Di mana, bahan-bahan untuk mendukung hal-hal tersebut membutuhkan nikel yang berasal dari proses penambangan.
Berbagai tantangan dihadapi oleh Indonesia dalam merealisasikan hilirisasi sumber daya alam. Pertama, sumber daya manusia. Setiap tahunnya dibutuhkan 16.000 tenaga kerja kompeten untuk untuk sektor manufaktur termasuk proses hilirisasi.
Ketua PB HMI Bidang Energi, Migas, dan Minerba
PADA permulaan masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah telah merealisasikan beragam perbaikan dalam semua sektor sumber daya alam. Perbaikan tersebut diterapkan secara luas pada industri hilirisasi sektor energi, migas, mineral dan batubara.
Khususnya mendorong divestasi saham sebesar 51%. Tujuannya mengutamakan kepentingan nasional dan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, sambil tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.
Pemerintah dan lembaga terkait telah mengambil berbagai kebijakan untuk terus merealisasikan dan mendorong hilirisasi di Indonesia yakni menerbitkan dua UU sebagai dasar hilirisasi industri di Indonesia. Keduanya yakni UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan agar tidak melakukan ekspor bahan mentah dan UU No 3/2014 tentang Perindustrian.
Pemerintah mendorong pengembangan aktivitas usaha salah satunya melalui pemberian insentif pajak berupa fasilitas bea impor, pemberian insentif pajak (tax holiday), dan pengurangan pajak (tax allowance).
Hilirisasi industri merupakan jargon yang terus disampaikan Presiden Jokowi. Dalam konteks energi dan sumber daya alam, hilirisasi sering berkaitan dengan usaha untuk mengolah sumber daya alam mentah menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Ini biasanya lebih kompleks dan memiliki tingkat penjualan yang lebih baik di pasar Internasional demi membantu meningkatkan nilai ekonomi produk dan menciptakan peluang kerja di sektor pengolahan.
Timeline hilirisasi industri Indonesia dimulai dari pembangunan smelter. Meliputi smelter pengolahan bijih nikel dan smelter pengolahan tembaga, hilirisasi logam meliputi larangan ekspor nikel.
Bersadarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal 2020. Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai USD12,35 miliar atau tumbuh hingga 263 % jika dibandingkan 2019, sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar (Kemenku, 2022).
Namun kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, alasan Uni Eropa menggugat Indonesia bahwa saat ini dunia bergerak menuju energi hijau dan industri ramah lingkungan. Di mana, bahan-bahan untuk mendukung hal-hal tersebut membutuhkan nikel yang berasal dari proses penambangan.
Berbagai tantangan dihadapi oleh Indonesia dalam merealisasikan hilirisasi sumber daya alam. Pertama, sumber daya manusia. Setiap tahunnya dibutuhkan 16.000 tenaga kerja kompeten untuk untuk sektor manufaktur termasuk proses hilirisasi.