Kompromi Hukum Tata Kelola SDA demi Laju Ekonomi Dalam Negeri

Kamis, 07 September 2023 - 18:40 WIB
loading...
Kompromi Hukum Tata Kelola SDA demi Laju Ekonomi Dalam Negeri
Muhamad Ikram Pelesa, Ketua PB HMI Bidang Energi, Migas, dan Minerba. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Muhamad Ikram Pelesa
Ketua PB HMI Bidang Energi, Migas, dan Minerba

PADA permulaan masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah telah merealisasikan beragam perbaikan dalam semua sektor sumber daya alam. Perbaikan tersebut diterapkan secara luas pada industri hilirisasi sektor energi, migas, mineral dan batubara.

Khususnya mendorong divestasi saham sebesar 51%. Tujuannya mengutamakan kepentingan nasional dan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, sambil tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.

Pemerintah dan lembaga terkait telah mengambil berbagai kebijakan untuk terus merealisasikan dan mendorong hilirisasi di Indonesia yakni menerbitkan dua UU sebagai dasar hilirisasi industri di Indonesia. Keduanya yakni UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan agar tidak melakukan ekspor bahan mentah dan UU No 3/2014 tentang Perindustrian.

Pemerintah mendorong pengembangan aktivitas usaha salah satunya melalui pemberian insentif pajak berupa fasilitas bea impor, pemberian insentif pajak (tax holiday), dan pengurangan pajak (tax allowance).

Hilirisasi industri merupakan jargon yang terus disampaikan Presiden Jokowi. Dalam konteks energi dan sumber daya alam, hilirisasi sering berkaitan dengan usaha untuk mengolah sumber daya alam mentah menjadi produk yang lebih bernilai tinggi. Ini biasanya lebih kompleks dan memiliki tingkat penjualan yang lebih baik di pasar Internasional demi membantu meningkatkan nilai ekonomi produk dan menciptakan peluang kerja di sektor pengolahan.

Timeline hilirisasi industri Indonesia dimulai dari pembangunan smelter. Meliputi smelter pengolahan bijih nikel dan smelter pengolahan tembaga, hilirisasi logam meliputi larangan ekspor nikel.

Bersadarkan data BPS tanggal 18 September 2022, nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal 2020. Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai USD12,35 miliar atau tumbuh hingga 263 % jika dibandingkan 2019, sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar (Kemenku, 2022).

Namun kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan mengugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, alasan Uni Eropa menggugat Indonesia bahwa saat ini dunia bergerak menuju energi hijau dan industri ramah lingkungan. Di mana, bahan-bahan untuk mendukung hal-hal tersebut membutuhkan nikel yang berasal dari proses penambangan.

Berbagai tantangan dihadapi oleh Indonesia dalam merealisasikan hilirisasi sumber daya alam. Pertama, sumber daya manusia. Setiap tahunnya dibutuhkan 16.000 tenaga kerja kompeten untuk untuk sektor manufaktur termasuk proses hilirisasi.

Kedua, perluasan kerja sama internasional. Adanya kerja sama internasional akan membuka pasar ekspor baru dan investasi yang masuk ke Indonesia. Pemerintah saat ini menargetkan negara-negara di Eropa dan Afrika sebagai pasar ekspor dengan market yang besar.

Ketiga, insentif untuk menarik investor: Indonesia harus memiliki kebijakan yang ramah terhadap investor dan market dengan memberikan penawaran yang terbaik terutama dari sisi perizinan.

Keempat, tekanan eksternal. Kebijakan pemerintah untuk menghentikan ekspor nikel menimbulkan resistensi di WTO. Meskipun Indonesia kalah dalam tuntutan namun program hilirisasi tetap berjalan, hal ini dilakukan demi pembangunan ekonomi Indonesia.

Pada 2019 dunia digegerkan dengan munculnya wabah virus Covid-19 yang sangat berdampak buruk pada situasi perekonomian global. Sehingga pada 2020 perekonomian dunia menururun secara drastis termasuk Indonesia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 sebesar -2,07%. Hal ini menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami deflasi atau penurunan drastis karena perkembangan ekonomi di Indonesia mempunyai pegerakan yang kurang stabil.

Tentu penurunan ini sangat mempengaruhi perekonomian di Indonesia. Sebab penurunan investasi lebih besar atas pengaruh berkurangnya lapangan kerja (Nainggolan, 2020).

SDA Penopang Pendapatan Negara Pascapandemi
Akibat kontraksi ekonomi pada 2020, pemerintah mengeluarkan strategi kebijakan guna memulihkan perekonomian Indonesia dengan menetapkan berbagai macam regulasi untuk mempermudah investasi. Pascapandemi, 2023 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2022 telah mencapai 5,31%, angka tertinggi sejak tahun 2014.

Pencapaian ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang mencapai 5,01% (year-on-year/yoy). Dalam satu tahun penuh, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2022 juga mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan sebesar 5,31% (ctc). Angka ini melebihi target yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 5,2% (ctc) dan kembali mencapai tingkat 5% seperti sebelum pandemi.

Sumber daya alam juga memberikan kontribusi dan peran penting dalam pendapatan negara, khususnya melalui pendapatan dari ekspor. Pemerintah terus berkomitmen untuk mendorong optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) serta mempercepat proses hilirisasi SDA guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu langkah yang diambil adalah melalui pengesahan PP No 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau PengelolaanSumber Daya Alam (PP DHE SDA). Penerimaan negara dari sektor pertambangan memberikan kontribusi PNBP di tahun 2021 sebesar Rp75,48 triliun. Selanjutnya di tahun 2022 terjadi kenaikan yakni Rp173,5 triliun atau 170% dari target.

Pada 2023, selama periode 4 bulan pemerintah Indonesia mendapatkan setoran Rp55,9 triliun. Setoran berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ini naik 146% dibandingkan period Januari-April tahun 2022.

Kenaikan pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan cukup signifikan di tiga tahun terakhir jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2020 yakni Rp34,65 trilun sedangkan pada 2019 yakni 44,92 triliun (Kementerian ESDM).

Dalam pembangunan ekonomi, investasi harus menjadi bagian integral dari pelaksanaan ekonomi nasional dan harus ditempatkan sebagai upaya untuk memajukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kemudian meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi di tingkat nasional, mendorong pertumbuhan ekonomi yang melibatkan masyarakat secara luas, serta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dalam suatu sistem ekonomi yang kompetitif.

Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian regulasi terkait penanaman modal. Terbaru adalah UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Namun, substansi dari peraturan-peraturan ini tidak menciptakan kepastian hukum karena beberapa peraturan seringkali tumpang tindih, yang pada akhirnya memberikan beban tambahan bagi para investor.

Setelah diberlakukannya UU No 25/2007, investor asing dan dalam negeri diberikan perlakuan yang sama. Prinsip kesetaraan perlakuan bagi modal dalam negeri dan modal asing adalah dasar penting dalam kebijakan investasi, yang sesuai dengan prinsip yang diadopsi oleh WTO yang dikenal sebagai "most favored nations" (MFN).

Artinya bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara harus diberlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO. Hal ini bertujuan untuk memastikan ketidakdiskriminan, sesuai dengan prinsip WTO. Di sisi lain, peraturan-peraturan daerah juga memberikan kendala bagi investor.

Pengaruh Penegakan Hukum SDA Terhadap Laju Tumbuh Ekonomi
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa pada Mei 2023 realisasi kepabeanan dan cukai hanyamencapai Rp118,4 triliun. Kondisi ini mengalami koreksi cukup tajam 15,6% (yoy) dengan kata lain bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai per Mei 2023 baru mencapai 39% dari target APBN tahun ini yang sebesar Rp303,2 triliun.

Ada beberapa penyebab mengapa penerimaan bea dan cukai negatif pada Mei 2023 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di antaranya lingkungan global menyebabkan harga komoditas koreksi dan terlihat dari bea keluar. Penerimaan bea dan cukai yang negatif juga dipicu bea keluar yang turun tajam hingga 67,52% (yoy).

Anjloknya bea keluar dipicu oleh turunnya volume ekspor mineral, batubara hingga turunnya tarif bea keluar tembaga. Salah satu faktor yang mempengaruhi situasi ekonomi tersebut adalah putusnya rantai suplay bahan baku terhadap industri hilirisasi sumber daya alam, khususnya yang bersumber dari sektor pertambangan nikel dan batu bara.

Pengelolaan hulu sumber daya alam terpaksa terhenti akibat upaya penegakkan hukum yang tidak komprontif terhadap semangat menjaga laju tumbuh ekonomi dalam negeri, akibatnya sirkulasi pasokan bahan baku industri hilir terhenti. Masyarakat lokal pelaku UMKM mengalami kesulitan secara ekonomi, para pengusaha local harus merugi dan tentu merembet pada membeludaknya pengangguran.

Pengaruh penegakkan hukum SDA terhadap laju tumbuh ekonomi Indonesia menjadi hal yang kontroversial. Penegakkan tersebut dapat berpengaruh positif dan negatif, tergantung dari aspek dan sisi mana yang akan di kaji.

Jika pengawasan dan penindakan hukum yang serampangan pada sektor sumber daya alam dapat berimplikasi pada terhambatnya investasi, apalagi jika institusi penegak hukumnya tidak mempunyai korelasi tentu peristiwa tersebut mampu merembet pada hilangnya lapangan kerja masyarakat, membuat sektor hilir industri pemurnian smelter kehilangan pasokanbahan baku, membuat ekonomi dalam negeri nyungsep.

Poin penting penegakkan hukum SDA adalah membantu mencegah eksploitasi berlebihan dan ilegal terhadap SDA, seperti penambangan ilegal, penebangan liar, atau penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan SDA jangka panjang, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Pendapatan negara yang stabil merupakan bagian penting dalam penegakkan hukum yang baik dapat memastikan bahwa negara menerima pendapatan yang wajar dari eksploitasi SDA melalui pajak, royalti, dana jaminan reklamasi dan kontrak yang adil dengan perusahaan yang beroperasi di sektor SDA. Pendapatan yang stabil dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program-program sosial yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya juga meningkatkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing.

Kepercayaan ini penting untuk menarik investasi jangka panjang yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang stabil. Namun, penegakkan hukum SDA juga dapat menimbulkan beberapa tantangan, seperti birokrasi yang kompleks, potensi korupsi, dan konflik kepentingan.

Justru dalam situasi ini, kenyamanan dalam berusaha dan iklim investasi yang kondusif harus menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah utamanya penegak hukum, baik dalam penindakan maupun penegakkan hukum sumber daya alam sektor pertambangan. Proses penegakkan hukum SDA diharapkan dapatkompromtif, penulis menyarankan agar pemerintah mengadopsi konsep restorative justice Polri dalam mengatasi persoalan tindak pidana SDA yang termuat dalam UU Cipta Kerja (Omnibus law).

Konsep Restorative Justice Meneduhkan Hukum SDA
Sesuai dengan asas restoratif, di mana pemidanaan atau sanksi pidana adalah alternatif atau upaya terakhir dalam penegakan hukum. Oleh karena itu keadilan restoratif adalah program yang menjanjikan dalam strategi mereduksi kejahatan. Restorative justice Polri sama halnya dengan ultimum remedium, maksud dari asas ultimum remedium ini adalah untuk mengutamakan perbaikan lingkungan yang rusak akibat kegiatan orang/badan usaha tersebut.

Dalam hal ini pidana hukuman dapat diganti dengan pengembalian kerugian negara dan denda pengembalian kondisi lingkungan melalui rehabilitasi.

Dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru denga menerapkan konsep ultimum remedium yaitu mengedepankan sanksi administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak pada masalah kesehatan, keselamatan dan/atau kerusakan lingkungan (Riyanto 2022).

Penegakkan hukum pertambangan saat ini seringkali dianggap penuh rekayasa dan tebang pilih. Bahkan seringkali menjadi alat untuk kepentingan kelompok maupun korporasi. Hingga situasi ini secara bersamaan kontradiktif dari semangat pemerintah dalam pemulihan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penciptaan wirausaha lokal, menumbuhkan UMKM. Karena penindakan hukum yang serampangan memberi efek domino tak terelakkan disektor ekonomi.

Untuk itu penulis menyarankan perlu adanya kehati-hatian dalam penegakkan hukum pertambangan mengedepankan prinsip ultimum remedium, sebab konsep penindakan dengan cara pidana kurungan juga tidak menjadi solusi perbaikan ekosistem, juga bukan solusi peningkatan ekonomi, justru dapat menciptakan pengangguran/menutup lapangan kerja.

Untuk itu penulis mencoba merekomendasikan sanksi dari pelanggaran tersebut diganti dengan sanksi administrasi, pengganti kerugian negara, denda dan pajak tinggi yang dapat membangun kembali ekosistem dibandingkan dengan pidana kurungan yang dapat memberi stigma negatif atas iklim investasi dalam negeri.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2070 seconds (0.1#10.140)