Pandemi Covid-19 Belum Usai, Karhutla Sudah Mengintai
loading...
A
A
A
Paparan buruk asap karhutla juga meningkatkan penyakit pernafasan, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta peradangan secara sistemik, yang mana semuanya adalah penyakit komorbid dari Covid-19 itu sendiri. Komorbid artinya, jika kedua kondisi terjadi bersamaan maka dampak kesehatannya akan lebih parah.
Karhutla juga berpotensi menambah beban sistem kesehatan yang kini hampir membludak karena Covid-19. Api dan asap juga memaksa banyak orang untuk mengungsi. Jika tidak dikelola dengan protokol kesehatan yang ketat, fasilitas pengungsian dapat menjadi sumber penularan Covid-19 yang baru.
Menilik data Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran hutan dan lahan tahun lalu mencapai 1,6 juta hektare. BNPB menyebut angka itu merupakan yang terparah dalam tiga tahun terakhir. Luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut menyebar di beberapa daerah seperti di Sumatera dan Kalimantan. Dengan mengutip data Bank Dunia, kerugian akibat bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun lalu mencapai sedikitnya Rp75 triliun.
Dari total luas kebakaran tahun lalu, sekitar 494.450 hektare terjadi di lahan dan hutan gambut atau setara 30%. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sepanjang Agustus-September 2019, kebakaran di hutan dan lahan gambut menyumbang emisi atau CO2 yang sangat tinggi, sebanyak 708 megaton.
(Baca: Peran Optimal dari MPA dan Paralegal Bisa Mencegah Karhutla)
Emisi ini bukan hanya menimbulkan bencana asap di sejumlah daerah, tapi juga merambah ke negara tetangga. Ditambah dengan adanya wabah Covid-19 yang sudah menelan banyak korban jiwa di Indonesia, dampak terburuk akan terjadi jika kebakaran hutan dan lahan tidak dicegah sedini mungkin pada musim kemarau 2020.
“Akar persoalannya sebenarnya sudah jelas, ini tentang kerusakan hutan dan gambut. Perilaku manusia membakar lahan adalah sebagian dari pemicu,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Selain Covid, lanjut Teguh, RUU Cipta Kerja juga menambah kerentanan lingkungan hidup, karena RUU ini mengatur dan menghilangkan berbagai aturan tentang perlindungan lingkungan khususnya hutan, jika ini terjadi dan dijalankan, 5 provinsi di Indonesia akan terancam kehilangan seluruh hutan alamnya dengan laju deforestasi yang tak terbendung.
Ari Wibawanto, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung melihat, kebakaran terjadi tidak hanya di kawasan hutan, tetapi juga di area-area penggunaan lain, di luar kawasan hutan. Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian harus saling terhubung antara aktor yang berada di sekitar kawasan.
Upaya pencegahan karhutla dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan dan lahan, wajib menerapkan 3P, yaitu, Pantang membakar, Patroli api, dan Padamkan api sedini mungkin.
Karhutla juga berpotensi menambah beban sistem kesehatan yang kini hampir membludak karena Covid-19. Api dan asap juga memaksa banyak orang untuk mengungsi. Jika tidak dikelola dengan protokol kesehatan yang ketat, fasilitas pengungsian dapat menjadi sumber penularan Covid-19 yang baru.
Menilik data Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran hutan dan lahan tahun lalu mencapai 1,6 juta hektare. BNPB menyebut angka itu merupakan yang terparah dalam tiga tahun terakhir. Luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut menyebar di beberapa daerah seperti di Sumatera dan Kalimantan. Dengan mengutip data Bank Dunia, kerugian akibat bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun lalu mencapai sedikitnya Rp75 triliun.
Dari total luas kebakaran tahun lalu, sekitar 494.450 hektare terjadi di lahan dan hutan gambut atau setara 30%. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sepanjang Agustus-September 2019, kebakaran di hutan dan lahan gambut menyumbang emisi atau CO2 yang sangat tinggi, sebanyak 708 megaton.
(Baca: Peran Optimal dari MPA dan Paralegal Bisa Mencegah Karhutla)
Emisi ini bukan hanya menimbulkan bencana asap di sejumlah daerah, tapi juga merambah ke negara tetangga. Ditambah dengan adanya wabah Covid-19 yang sudah menelan banyak korban jiwa di Indonesia, dampak terburuk akan terjadi jika kebakaran hutan dan lahan tidak dicegah sedini mungkin pada musim kemarau 2020.
“Akar persoalannya sebenarnya sudah jelas, ini tentang kerusakan hutan dan gambut. Perilaku manusia membakar lahan adalah sebagian dari pemicu,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Selain Covid, lanjut Teguh, RUU Cipta Kerja juga menambah kerentanan lingkungan hidup, karena RUU ini mengatur dan menghilangkan berbagai aturan tentang perlindungan lingkungan khususnya hutan, jika ini terjadi dan dijalankan, 5 provinsi di Indonesia akan terancam kehilangan seluruh hutan alamnya dengan laju deforestasi yang tak terbendung.
Ari Wibawanto, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung melihat, kebakaran terjadi tidak hanya di kawasan hutan, tetapi juga di area-area penggunaan lain, di luar kawasan hutan. Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian harus saling terhubung antara aktor yang berada di sekitar kawasan.
Upaya pencegahan karhutla dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan dan lahan, wajib menerapkan 3P, yaitu, Pantang membakar, Patroli api, dan Padamkan api sedini mungkin.