Pandemi Covid-19 Belum Usai, Karhutla Sudah Mengintai

Kamis, 30 Juli 2020 - 18:44 WIB
loading...
Pandemi Covid-19 Belum...
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Saat ini Indonesia sedang memasuki masa transisi ke musim kemarau. Pada Juli ini, separuh wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau , yang puncaknya diprediksi pada Agustus-Oktober 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mengeluarkan peringatan kepada seluruh kepala daerah agar waspada terhadap ancaman rutin pada musim kemarau, yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Hutan hujan di Kalimantan dikenal sebagai paru-paru dunia. Paru-paru ini sedang sesak napas, karena ia ditebang dan dibakar setiap tahun. Di banyak tempat di Indonesia, hutan telah berubah menjadi perkebunan untuk memenuhi permintaan global akan minyak kelapa sawit.” kata Monica Nirmala, dokter ahli kesehatan masyarakat di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), dalam diskusi webinar bertajuk “Covid-19 & Kebakaran Hutan dan Lahan”, pada Selasa (28/7).

Monica mengungkapkan, titik api umumnya mulai meningkat seiring dengan dimulainya musim kemarau. Karhutla di Indonesia pernah mencapai titik terparah pada Oktober 2015. Monica bahkan masih sangat ingat, saat itu untuk bernafas saja sulit.

(Baca: BMKG: 64% Wilayah Tanah Air Sudah Memasuki Musim Kemarau)

"Bukit berjarak 500 meter persis di belakang klinik kami pun tidak terlihat karena tertutup asap. Di klinik kami saat itu jumlah pasien sesak napas meningkat 48%, dan kebutuhan oksigen meningkat tiga kali lipat. Bahkan, peneliti di Harvard dan Columbia menunjukan bahwa kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015 mengakibatkan lebih dari 100.000 kematian di Indonesia, Malaysia, dan Singapura,” tuturnya.

Tak bisa ditampik, asap karhutla sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Salah satu komponen asap berupa partikel kecil yang berukuran kurang dari 2.5 mikrometer (PM 2.5), bersifat toksik bagi tubuh manusia. Sejumlah riset telah membuktikan asap karhutla menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, kekurangan oksigen, asma berat, pemicu kanker, dan sejumlah penyakit lainnya.

Monica juga mengingatkan, bahwa tahun 2020 adalah tahun pandemi Covid-19. Dia tak bisa membayangkan bencana ganda asap karhutla dan Covid-19 menyerang paru-paru manusia dan makhluk hidup lainnya di waktu bersamaan.

"Dan jangan lupa, paru-paru masyarakat kita sudah banyak tergerus kualitasnya oleh polusi dan rokok. Berapa banyak lagi penderitaan dan kematian jika kita terpapar dua musibah asap dan Covid sekaligus pada tahun ini? Apalagi sekarang ini adalah awal musim kemarau dan Indonesia belum mencapai puncak perkiraan kasus Covid. Oleh karena itu, selain cegah Covid, mari cegah karhutla, berapapun harganya. Demi keselamatan kita,” tekannya.

(Baca: BNPB Catat 1.663 Kejadian Bencana Telah Melanda Indonesia Sepanjang 2020)

Ancam Kesehatan
Covid-19 dan karhutla memiliki kaitan erat. Asap karhutla dapat menambah kerentanan tertular (susceptibility) dan keparahan (severity) seseorang yang terinfeksi Covid-19. Polusi udara menurunkan kekebalan tubuh manusia terhadap virus, sehingga orang yang terpapar asap karhutla akan lebih rentan terinfeksi Covid-19.

Paparan buruk asap karhutla juga meningkatkan penyakit pernafasan, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta peradangan secara sistemik, yang mana semuanya adalah penyakit komorbid dari Covid-19 itu sendiri. Komorbid artinya, jika kedua kondisi terjadi bersamaan maka dampak kesehatannya akan lebih parah.

Karhutla juga berpotensi menambah beban sistem kesehatan yang kini hampir membludak karena Covid-19. Api dan asap juga memaksa banyak orang untuk mengungsi. Jika tidak dikelola dengan protokol kesehatan yang ketat, fasilitas pengungsian dapat menjadi sumber penularan Covid-19 yang baru.

Menilik data Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran hutan dan lahan tahun lalu mencapai 1,6 juta hektare. BNPB menyebut angka itu merupakan yang terparah dalam tiga tahun terakhir. Luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut menyebar di beberapa daerah seperti di Sumatera dan Kalimantan. Dengan mengutip data Bank Dunia, kerugian akibat bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun lalu mencapai sedikitnya Rp75 triliun.

Dari total luas kebakaran tahun lalu, sekitar 494.450 hektare terjadi di lahan dan hutan gambut atau setara 30%. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sepanjang Agustus-September 2019, kebakaran di hutan dan lahan gambut menyumbang emisi atau CO2 yang sangat tinggi, sebanyak 708 megaton.

(Baca: Peran Optimal dari MPA dan Paralegal Bisa Mencegah Karhutla)

Emisi ini bukan hanya menimbulkan bencana asap di sejumlah daerah, tapi juga merambah ke negara tetangga. Ditambah dengan adanya wabah Covid-19 yang sudah menelan banyak korban jiwa di Indonesia, dampak terburuk akan terjadi jika kebakaran hutan dan lahan tidak dicegah sedini mungkin pada musim kemarau 2020.

“Akar persoalannya sebenarnya sudah jelas, ini tentang kerusakan hutan dan gambut. Perilaku manusia membakar lahan adalah sebagian dari pemicu,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain Covid, lanjut Teguh, RUU Cipta Kerja juga menambah kerentanan lingkungan hidup, karena RUU ini mengatur dan menghilangkan berbagai aturan tentang perlindungan lingkungan khususnya hutan, jika ini terjadi dan dijalankan, 5 provinsi di Indonesia akan terancam kehilangan seluruh hutan alamnya dengan laju deforestasi yang tak terbendung.

Ari Wibawanto, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung melihat, kebakaran terjadi tidak hanya di kawasan hutan, tetapi juga di area-area penggunaan lain, di luar kawasan hutan. Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian harus saling terhubung antara aktor yang berada di sekitar kawasan.

Upaya pencegahan karhutla dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan dan lahan, wajib menerapkan 3P, yaitu, Pantang membakar, Patroli api, dan Padamkan api sedini mungkin.

(Baca: Penanganan Pemerintah terhadap Karhutla Dinilai Belum Tegas)

Bagi mereka yang tinggal jauh dari hutan dan lahan dapat menerapkan 3B. Pertama, Belajar, yaitu mengedukasi diri sendiri mengenai isu lingkungan hidup dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Kedua, Bicara. Kita membantu membangun kesadaran publik dengan berbicara mengenai isu ini baik secara langsung kepada teman dan keluarga, maupun melalui kampanye media sosial, misalnya dengan menggunakan hashtag #IndonesiaTanpaAsap dengan tag pihak-pihak yang bertanggung jawab.

"Yang terakhir adalah bantu dengan menjadi relawan atau berdonasi kepada lembaga yang melindungi hutan dan masyarakat sekitarnya. Penyadaran akan pentingnya pencegahan karhutla apa lagi di masa pandemi itu sangat penting," tuturnya.

Arif Wicaksono, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura menambahkan, satu orang saja yang faham alam bahaya karhutla akan sangat membantu dan bisa menjadi role model di manapun dia berada nantinya.

Sementara Direktur Eksekutif di Yayasan ASRI Nur Febriani menyatakan, bahwa manusia tidak bisa hidup sehat tanpa alam yang sehat. Edukasi masyarakat akan pentingnya hutan di Indonesia, dan mencegah tambahan masalah asap saat pandemi ini sangat diperlukan.

"Untuk melakukan proses penyadaran dan pemahaman ini kita perlu bergandengan tangan meningkatkan kesadaran semuanya. Pemerintah, LSM, komunitas, media, harus bersama-sama mengingatkan agar kita tidak meningkatkan bencana ganda, Covid dan karhutla.” kata Nur Febriani.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1204 seconds (0.1#10.140)