Mantan Hakim MK: PP Nomor 28 Tahun 2022 tentang Piutang Negara Langgar Due Process Of Law

Senin, 21 Agustus 2023 - 12:49 WIB
loading...
Mantan Hakim MK: PP Nomor 28 Tahun 2022 tentang Piutang Negara Langgar Due Process Of Law
Diskusi bertema Disharmoni & Overlapping Sebuah Peraturan Pemerintah yang diadakan DPP Ferari (Federasi Advokat Republik Indonesia), Senin (21/8/2023). Foto/Carlos Roy Fajarta
A A A
JAKARTA - Keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara melanggar due process of law (proses hukum yang semestinya atau proses hukum yang adil). Hal ini ditegaskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva.

"PP ini menjadikan peraturan di Indonesia semakin disharmoni antara undang-undang dengan peraturan dan menjadi isu nasional serta menjadi problem dalam hukum kita," kata Hamdan Zoelva dalam diskusi bertema 'Disharmoni & Overlapping Sebuah Peraturan Pemerintah' yang diadakan DPP Ferari (Federasi Advokat Republik Indonesia) di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/8/2023).

Ia menyebutkan, ketika disharmoni terjadi, maka penegakan hukum akan jadi pilih-pilih sehingga akan berdampak pada keadilan yang dirasakan masyarakat.

"Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena penegak hukum akan memilih berdasarkan perspektif nya sehingga dapat terjadi kesewenang-wenangan," kata dia.

Hamdan Zoelva mengungkapkan setiap negara bisa besar apabila melaksanakan due process of law dengan dua prinsip dasar.

"Pertama, segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Apakah prosesnya berdasarkan hukum, substansi kebijakan harus berdasarkan hukum juga. Bahkan pembuat peraturan harus menghormati peraturan yang ia buat," ungkap Hamdan Zoelva.

Prinsip kedua disebut Hamdan, adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di mana prinsip yang paling dasar penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

"Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 28 ini saya melihat intensi dan maksudnya pemerintah adalah untuk gelap mata yang penting bagaimana orang-orang yang ada di dalam PP tersebut ditarik kembali. Intinya bagaimana agar aturan itu ada. Itu kesimpulan umum," jelasnya.

Contoh paling nyata dan mendasar, maksud pembentukan PP ini dijelaskan Hamdan Zoelva adalah bagaimana agar utang piutang itu bisa ditagih kembali kemanapun si pemilik utang pergi.

"Sehingga entah dia pembuat utang kepada badan usaha atau negara. PP ini membuat memperluas pemegang saham, direksi, komisaris, kemudian keluarga, dan para ahli waris. Ini menabrak peraturan dan UU lain yang ada atau eksis," ucapnya.

Hamdan memberi contoh dalam sebuah Perseoran Terbatas, seorang komisaris hanya bertanggung jawab ketika dia melakukan usahanya tidak hati-hati dengan intensitas tidak baik.

"Namun dengan PP ini, setiap direksi pada zaman dulu bisa dicabut layanan imigrasi dan kependudukan karena pernah menjabat direksi. Padahal dia sudah melaksanakan kepengurusan perseroan dengan kehati-hatian, tanpa intensi buruk atau ada benturan kepentingan," tuturnya.

Terkait warisan, ahli waris tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk menjadi menerima warisan. Artinya seorang ahli waris boleh menolak warisan. Prinsipnya boleh. Itu UU. Tapi berdasarkan PP ini Hamdan menyebutkan ahli waris harus menerima warisan (piutang) terkait PP tersebut.

"Memang di UU PR Tahun 1960, penanggung utang karena perjanjian atau karena peraturan. Kalau karena perjanjian clear. Penanggung utang yang lahir dari perjanjian. Kelihatannya apa yang dimaksud dengan atau peraturan, penanggung utang yang muncul karena perjanjian atau peraturan," jelasnya.

Hal tersebut kata Hamdan Zoelva dapat menimbulkan dispute di mana utang bisa muncul karena perjanjian atau peraturan berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2022.

"Penanggung hutang menjadi berutang karena PP ini. Apakah PP ini sudah sesuai dua prinsip hukum di atas. PP ini tidak dapat merujuk prinsip tersebut. Harusnya utang yang timbul itu hanya didasarkan pada UU, tidak bisa berdasarkan PP. PP sebagai produk yang legal, apakah benar mengeluarkan PP untuk menghukum orang di masa lalu. Itu adalah prinsip paling dasar dari prinsip hukum di atas. Seseorang tidak bisa dihukum berdasarkan hukum yang berlaku surut. Aturan yang dibuat tidak boleh melanggar UU yang lain," pungkasnya.

Hakim MK 2003-2008, Maruarar Siahaan menyebutkan, peraturan yang dibuat pemerintah dalam PP Nomor 28 Tahun 2022 tersebut seperti ingin mendapatkan kembali piutang-piutang negara, salah satunya yakni dalam kasus BLBI.

"PP ini menerabas semuanya. PP 28 seperti ingin mengutamakan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi dengan mengejar piutang negara yang belum tertagih namun dengan menabrak berbagai perundang-undangan lainnya," kata Maruarar.

Ia menjelaskan setiap pihak yang berutang di BLBI dengan peraturan tersebut harus membayar kepada negara. Namun dengan adanya pasal, para pembuat utang harus bersifat rahasia sehingga membuat kerancuan, kabur atau pun menyangkal.

"Para pejabat siapa saja yang bermain nanti akan diketahui saat proses pengadilan. Kucuran BLBI kepada perbankan saat itu untuk menyelamatkan kondisi bank. Dan itu nanti ada audit dari BPK," jelas Maruarar.

Sedangkan, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menyebutkan PP Nomor 28 Tahun 2022 yang dibuat pemerintah adalah kebijakan absolut administrasi yang rujukan hukum nya kacau.

"DPP Ferari (Federasi Advokat Republik Indonesia) harus bergerak melihat persatuan ini. Pastikan tata cara pembentukan perundang-undangan lebih baik. Harus ada organisasi yang mengawasi penegakan hukum terhadap pembayaran pihak-pihak yang berhutang terhadap negara," kata Margarito.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2054 seconds (0.1#10.140)