Komite I DPD Minta Pembahasan RUU Cipta Kerja Ditunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komite I DPD RI menilai masih banyak persoalan dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang saat ini sedang digodok di DPR.
Wakil Ketua Komite I DPD, Abdul Kholik menjelaskan dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal-pasal yang masih bermasalah, serta kondisi dan situasi Indonesia yang sedang menghadapi pandemi COVID-19, Komite I meminta Pemerintah dan DPR serta Pimpinan DPD untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
”RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikkan seluruh proses pembentukan UU yang selama ini sudah partisipatif di era Reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat berisiko apabila RUU ini tidak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya. UU selalu mempunyai tiga basis, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Di RUU ini banyak masalah pada ketiga basis itu,” ujar Kholik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) secara virtual dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rabu (29/4/2020).
Senada dengan Kholik, Ketua Komite I DPD Teras Narang mengatakan RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang mengubah dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. “RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perizinan yang berpotensi merugikan daerah, serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan Reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945,” jelas mantan Gubernur Kalteng ini.
Anggota Komite I dari Dapil Papua Barat, Filep Wamafma mengatakan RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik. ”Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD,” tegas Filep.
Wakil Ketua Komite I DPD Jafar Alkatiri dari Dapil Sulut menjelaskan, pihaknya menolak RUU ini karena tidak menguntungkan semua pihak. “Kami meminta pembahasan harus transparan, inklusif dan partisipatif. Selama ini DPD tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Ini catatan untuk pemerintah dan DPR,” tutur Jafar.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai RUU Cipta Kerja hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan. RUU ini dinilai dapat menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pihaknya meminta DPD untuk bersikap tegas terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
“Karena RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor, dan tidak melalui tahapan dalam pembentukan UU, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan,” ujar Isnur.
Isnur mengatakan RUU ini juga bertentangan juga dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur di pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan (PPP). “Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU,” ujar Isnur.
Menurut Isnur, RUU ini mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu Pasal 6 ayat (5), Pasal 8 ayat (7), Pasal 34A ayat (1). RUU Cipta Kerja juga dinilai bertentangan dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, lanjutnya, Pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan daerah ke pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan,” tegas Isnur.
RDPU ini diikuti 20 anggota Komite I ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD Abdul Kholik (Dapil Jateng), didampingi Ketua Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) dan Fachrul Razi (Aceh).
Wakil Ketua Komite I DPD, Abdul Kholik menjelaskan dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal-pasal yang masih bermasalah, serta kondisi dan situasi Indonesia yang sedang menghadapi pandemi COVID-19, Komite I meminta Pemerintah dan DPR serta Pimpinan DPD untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
”RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikkan seluruh proses pembentukan UU yang selama ini sudah partisipatif di era Reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat berisiko apabila RUU ini tidak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya. UU selalu mempunyai tiga basis, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Di RUU ini banyak masalah pada ketiga basis itu,” ujar Kholik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) secara virtual dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rabu (29/4/2020).
Senada dengan Kholik, Ketua Komite I DPD Teras Narang mengatakan RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang mengubah dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. “RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perizinan yang berpotensi merugikan daerah, serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan Reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945,” jelas mantan Gubernur Kalteng ini.
Anggota Komite I dari Dapil Papua Barat, Filep Wamafma mengatakan RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik. ”Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD,” tegas Filep.
Wakil Ketua Komite I DPD Jafar Alkatiri dari Dapil Sulut menjelaskan, pihaknya menolak RUU ini karena tidak menguntungkan semua pihak. “Kami meminta pembahasan harus transparan, inklusif dan partisipatif. Selama ini DPD tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Ini catatan untuk pemerintah dan DPR,” tutur Jafar.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai RUU Cipta Kerja hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan. RUU ini dinilai dapat menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, pihaknya meminta DPD untuk bersikap tegas terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
“Karena RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor, dan tidak melalui tahapan dalam pembentukan UU, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan,” ujar Isnur.
Isnur mengatakan RUU ini juga bertentangan juga dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur di pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan (PPP). “Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU,” ujar Isnur.
Menurut Isnur, RUU ini mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu Pasal 6 ayat (5), Pasal 8 ayat (7), Pasal 34A ayat (1). RUU Cipta Kerja juga dinilai bertentangan dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selain itu, lanjutnya, Pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan daerah ke pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan,” tegas Isnur.
RDPU ini diikuti 20 anggota Komite I ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD Abdul Kholik (Dapil Jateng), didampingi Ketua Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) dan Fachrul Razi (Aceh).
(kri)