RUU (OBL) Kesehatan: Benarkah Demi Kepentingan Rakyat?

Kamis, 06 Juli 2023 - 08:26 WIB
loading...
A A A
Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.

Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”

Politik belah bambu menurut pemerhati kebijakan publik, dosen FISIP UNAS, dan apoteker ini, “adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Dan cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas, yang satunya lagi diinjak ke bawah. “

Tujuan menerapkan politik belah bambu menurut Bang Chazali adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Praktiknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis. Tetapi sebagian kelompok yang lain (terutama yang mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupannya di masyarakat.

Senada dengan pernyataan Bang Chazali di atas, RUU (OBL) Kesehatan ini juga ditengarai berbau liberalisasi (individualisme dan kapitalisme), yang memberi karpet merah kepada tenaga kesehatan asing dan rumah sakit modal asing pada satu sisi. Sedang pada sisi lain menginjak dan merendahkan tenaga kesehatan berbangsa Indonesia dan rumah sakit nasional.

Perlakuan diskriminatif semacam itu tentu sulit untuk mengharapkan bahwa RUU (OBL) Kesehatan mampu memberi rasa adil kepada rakyat Indonesia. Justru yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya. Akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia kepada cita-cita kemerdekaanya, yakni, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Demikian pula dengan di-downgrade-nya entitas dan norma kelembagaan profesi lalu menghadirkan adanya etatisme dan absolutisme kekuasaan. Hal semacam ini tentu tidak akan mendatangkan keadilan, sebab tidak ada keadilan tanpa kelembagaan yang adil.

Pertanyaan keempat, dapatkah memberi manfaat bagi rakyat? Bagi rakyat profesi dan tenaga kesehatan jawabannya sudah jelas. Sebab keberadaan RUU (OBL) Kesehatan ini dianggap memberangus undang-undang terkait profesi dan undang-undang tenaga kesehatan. Menjadi sebab profesi dan tenaga kesehatan serta organisasinya melakukan dua kali aksi berar-besaran untuk menolak dan minta dihentikan pembahasannya.

Karena memberangus organisasi profesi dan organisasi tenaga kesehatan maka tentu tidak akan memberdayakannya. Sangat berbeda dengan semangat undang-undang produk reformasi yang existing, yang memberdayakan.

Fenomena tersebut dapat disaksikan pada proses pembahasannya di Baleg sampai di Panja DPR, pembentuk undang-undang terutama Kementerian Kesehatan sangat sibuk menjelek-jelekkan IDI dan kolegiumnya. Bahwa terakhir ini muncul pernyataan bahwa akan menghadirkan format baru organisasi profesi dengan RUU (OBL) Kesehatan ini, tetapi sangat bertolak belakang dengan ucapan dan perilakunya selama ini.

Terus bagaimana dengan kemanfaatan kepada rakyat umum? Tampaknya tidak jauh berbeda dengan rakyat profesi dan tenaga kesehatan. Cukup peniadaan mandatory spending yang berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat atas kesehatan berbicara.

Atau potensi bocornya data genomik rakyat dan dibolehkannya aborsi terhadap korban pemerkosaan pada usia kehamilannya mencapai 14 minggu, yang dapat merugikan kesehatan ibunya tanpa perlu mencantukan pertimbangan agama, etik kedokteran, dan trauma psikologis korban, sebagaimana undang-undang existing.

Lalu, muncul pertanyaan, sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agama mana yang membolehkan aborsi dalam kondisi semacam itu? Belum lagi risiko acaman hukum belum sepenuhnya dapat disingkirkan. Terus, siapa yang mau melaksanakannya?

Catatan Akhir


Bila setelah diuji dan ternyata kata “Demi Kepentingan Rakyat” tidak ditemukan jawaban rasional dan meyakinkan, jangan-jangan RUU (OBL) Kesehatan ini memang mengandung banyak masalah. Jika banyak masalah maka boleh jadi sinyalemen dr. Iqbal Mochtar dalam diskusi online (4 Juli 2023) bahwa RUU ini berpotensi menimbulkan menjadi “tragedi” kesehatan, adalah benar.

Tragedi kesehatan karena produk undang-undang yang buruk dampaknya dapat lebih berat dibanding bencana alam, bencana sosial, pandemi, kelaparan, dan peperangan. Dan, bahkan undang-undang yang buruk itu sendiri dapat menciptakan sejumlah bencana.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1065 seconds (0.1#10.140)