RUU (OBL) Kesehatan: Benarkah Demi Kepentingan Rakyat?
loading...
A
A
A
Dalam membentuk undang-undang, partisipasi publik (rakyat) secara bermakna sangat penting. Partisipasi bermakna menyangkut tiga prasyarat yang terkait dengan hak rakyat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Pertanyaan kedua, apakah dapat memberi kepastian hukum rakyat? Untuk pertanyaan ini penulis ingin mengutip Nota Keberatan dari Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa, No. 01/Koalisi NP Keswa/IV/2023, tertanggal 13 April 2023. Nota Keberatan tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi IX DPR RI.
Pada butir (1) dan (2) dari Nota Keberatannya, berbunyi: “(1) RUU Kesehatan akan meniadakan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Keberadaan UU Keswa merupakan bagian dari identitas negara yang penting di bidang kesehatan jiwa baik tingkat regional (ASEAN) maupun dunia (WHO). (2) Meleburkan UU Keswa dengan dalih penyederhanaan mengakibatkan hilangnya pengejawantahan pasal-pasal Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menunjukkan komitmen Negara untuk melindungi orang dengan disabilitas mental yang seringkali mendapatkan perlakuan salah dan penelantaran dari berbagai pihak.“
Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.
Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”
Politik belah bambu menurut pemerhati kebijakan publik, dosen FISIP UNAS, dan apoteker ini, “adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Dan cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas, yang satunya lagi diinjak ke bawah. “
Tujuan menerapkan politik belah bambu menurut Bang Chazali adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Praktiknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis. Tetapi sebagian kelompok yang lain (terutama yang mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupannya di masyarakat.
Senada dengan pernyataan Bang Chazali di atas, RUU (OBL) Kesehatan ini juga ditengarai berbau liberalisasi (individualisme dan kapitalisme), yang memberi karpet merah kepada tenaga kesehatan asing dan rumah sakit modal asing pada satu sisi. Sedang pada sisi lain menginjak dan merendahkan tenaga kesehatan berbangsa Indonesia dan rumah sakit nasional.
Perlakuan diskriminatif semacam itu tentu sulit untuk mengharapkan bahwa RUU (OBL) Kesehatan mampu memberi rasa adil kepada rakyat Indonesia. Justru yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya. Akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia kepada cita-cita kemerdekaanya, yakni, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pertanyaan kedua, apakah dapat memberi kepastian hukum rakyat? Untuk pertanyaan ini penulis ingin mengutip Nota Keberatan dari Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa, No. 01/Koalisi NP Keswa/IV/2023, tertanggal 13 April 2023. Nota Keberatan tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi IX DPR RI.
Pada butir (1) dan (2) dari Nota Keberatannya, berbunyi: “(1) RUU Kesehatan akan meniadakan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Keberadaan UU Keswa merupakan bagian dari identitas negara yang penting di bidang kesehatan jiwa baik tingkat regional (ASEAN) maupun dunia (WHO). (2) Meleburkan UU Keswa dengan dalih penyederhanaan mengakibatkan hilangnya pengejawantahan pasal-pasal Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menunjukkan komitmen Negara untuk melindungi orang dengan disabilitas mental yang seringkali mendapatkan perlakuan salah dan penelantaran dari berbagai pihak.“
Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.
Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”
Politik belah bambu menurut pemerhati kebijakan publik, dosen FISIP UNAS, dan apoteker ini, “adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Dan cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas, yang satunya lagi diinjak ke bawah. “
Tujuan menerapkan politik belah bambu menurut Bang Chazali adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Praktiknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis. Tetapi sebagian kelompok yang lain (terutama yang mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupannya di masyarakat.
Senada dengan pernyataan Bang Chazali di atas, RUU (OBL) Kesehatan ini juga ditengarai berbau liberalisasi (individualisme dan kapitalisme), yang memberi karpet merah kepada tenaga kesehatan asing dan rumah sakit modal asing pada satu sisi. Sedang pada sisi lain menginjak dan merendahkan tenaga kesehatan berbangsa Indonesia dan rumah sakit nasional.
Perlakuan diskriminatif semacam itu tentu sulit untuk mengharapkan bahwa RUU (OBL) Kesehatan mampu memberi rasa adil kepada rakyat Indonesia. Justru yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya. Akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia kepada cita-cita kemerdekaanya, yakni, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”