RUU (OBL) Kesehatan: Benarkah Demi Kepentingan Rakyat?

Kamis, 06 Juli 2023 - 08:26 WIB
loading...
RUU (OBL) Kesehatan:...
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2012-2015. Foto/Istimewa
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2012-2015

DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang tentu saja wajib menarasikan bahwa undang-undang yang akan dibuatnya adalah “demi kepentingan rakyat.” Ada tiga alasan mengapa kata atau kalimat tersebut perlu dinarasikan.

Pertama, karena dengan undang-undang tersebut diharapkan rakyat dapat memperoleh kepastian hukum. Kedua, diharapkan rakyat memperoleh keadilan. Ketiga, diharapkan rakyat memperoleh kemanfaatan. Ketiga alasan ini pula yang menjadi tujuan dibentuknya suatu undang-undang.

Alasan lainnya: (a) karena undang-undang dibentuk oleh wakil rakyat ( DPR ) dan pemerintah (b) Wakil rakyat (DPR) dan Pemerintah digaji dari uang rakyat, (c) proses pembentukan undang-undangnya sendiri menggunakan uang rakyat.

Lalu, bagaimana jika ada yang berkata, “kan pembentukan undang-undang tersebut tidak menggunakan uang rakyat” Bila ada yang berkata seperti itu, tentu kita dapat dapat balik bertanya, “terus dari mana uang untuk membiayainya?” Dan, “dari mana uang untuk membiayai studi banding, rapat di hotel mewah, dan seterusnya?”

Menguji Narasi Demi Kepentingan Rakyat


Penulis membagi rakyat dalam dua bagian, yakni: rakyat anggota profesi dan tenaga kesehatan dan rakyat secara umum (bukan anggota profesi dan tenaga kesehatan). Kemudian menguji dengan batu uji berupa pertanyaan terkait proses pembentukan undang-undang dan tujuan pembentukannya.

Berikut ini mari kita uji dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertama, terkait partisipasi publik (rakyat) dalam perancangan dan pembahasan. Untuk rakyat profesi dan tenaga kesehatan. Apakah pembentuk undang-undang menerapkan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) kepada anggota profesi dan tenaga kesehatan, baik secara individu maupun melalui organisasi?

Dalam banyak pertemuan dan diskusi dengan profesi dan tenaga kesehatan, hampir semua mengatakan pernah diundang memberi masukan atau usulan secara online, yang disebutnya sebagai public hearing, namun tidak diketahui apakah usulannya itu ditema atau tidak. Sebagian mengatakan tidak ada usulan kami yang diterima. Memang ada segelintir tenaga kesehatan yang diterima usulannya, namun semua orang tahu bahwa mereka itu memang pendukung RUU (OBL) Kesehatan. Mereka juga dikenal sebagai pembisik pemerintah.



Berikutnya untuk masyarakat umum. Apakah pembentuk undang-undang melakukan meaningful participation guna mengetahui kebutuhan kesehatan mereka? Setidaknya ada 43 lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan dalam konferensi persnya di Kantor YLBH Indonesia, Menteng Jakarta Pusat, 13 Juni 2023, telah menjadi jawabannya. Mereka menolak RUU (OBL) Kesehatan ini karena belum mengupayakan partisipasi bermakna. Koalisi ini saja merasa belum diajak bicara, apalagi rakyat lain.

Meaningful participation dalam proses pembentukan undang-undang sangat penting sehingganya penulis menempatkannya sebagai batu uji pertama. Artinya bila rakyat tidak mengetahui keberadaan RUU tersebut, bagaimana ia dapat berbicara lebih lanjut soal isi, kepastian hukumnya, keadilan, dan keamanfaatannya.?

Dalam membentuk undang-undang, partisipasi publik (rakyat) secara bermakna sangat penting. Partisipasi bermakna menyangkut tiga prasyarat yang terkait dengan hak rakyat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).



Pertanyaan kedua, apakah dapat memberi kepastian hukum rakyat? Untuk pertanyaan ini penulis ingin mengutip Nota Keberatan dari Koalisi Nasional Profesional di Bidang Kesehatan Jiwa dan Psikososial untuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa, No. 01/Koalisi NP Keswa/IV/2023, tertanggal 13 April 2023. Nota Keberatan tersebut ditujukan kepada Ketua Komisi IX DPR RI.

Pada butir (1) dan (2) dari Nota Keberatannya, berbunyi: “(1) RUU Kesehatan akan meniadakan UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Keberadaan UU Keswa merupakan bagian dari identitas negara yang penting di bidang kesehatan jiwa baik tingkat regional (ASEAN) maupun dunia (WHO). (2) Meleburkan UU Keswa dengan dalih penyederhanaan mengakibatkan hilangnya pengejawantahan pasal-pasal Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menunjukkan komitmen Negara untuk melindungi orang dengan disabilitas mental yang seringkali mendapatkan perlakuan salah dan penelantaran dari berbagai pihak.“

Pada butir (4), memuat kekhawatiran bahwa RUU Kesehatan yang diajukan saat ini tidak mampu menyediakan payung yang jelas untuk mendorong dan menjamin aspek-aspek, di antaranya: “(a) Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa yang bermutu, mudah diakses, dan mendukung hak asasi manusia di fasilitas kesehatan (melalui rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, dan layanan kesehatan primer) maupun non kesehatan. (b) Ketersediaan (kuantitatif dan kualitatif) dan perlindungan secara hukum bagi penyelenggara layanan kesehatan jiwa baik tenaga profesional kesehatan jiwa, tenaga profesional lain yang bergerak di aspek psikososial, maupun tenaga non-profesional terlatih secara memadai.” Dan seterusnya.

Pertanyaan ketiga, apakah dapat memberi keadilan kepada rakyat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis ingin mengutip tulisan seorang senior, Bang Chazali Husni Situmorang, berjudul “Omnibus Law dan Politik Belah Bambu.”

Politik belah bambu menurut pemerhati kebijakan publik, dosen FISIP UNAS, dan apoteker ini, “adalah politik yang membelah bambu yang semula terpadu dan menyatu, lalu dibelah. Dan cara membelahnya adalah yang satu diangkat ke atas, yang satunya lagi diinjak ke bawah. “

Tujuan menerapkan politik belah bambu menurut Bang Chazali adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Praktiknya, sebagian kelompok masyarakat yang menentang kekuasaan, diinjak, ditekan, dan selanjutnya jika perlu dihancurkan sampai habis. Tetapi sebagian kelompok yang lain (terutama yang mendukung kekuasaan) diangkat, diberi fasilitas, dan diistimewakan kehidupannya di masyarakat.

Senada dengan pernyataan Bang Chazali di atas, RUU (OBL) Kesehatan ini juga ditengarai berbau liberalisasi (individualisme dan kapitalisme), yang memberi karpet merah kepada tenaga kesehatan asing dan rumah sakit modal asing pada satu sisi. Sedang pada sisi lain menginjak dan merendahkan tenaga kesehatan berbangsa Indonesia dan rumah sakit nasional.

Perlakuan diskriminatif semacam itu tentu sulit untuk mengharapkan bahwa RUU (OBL) Kesehatan mampu memberi rasa adil kepada rakyat Indonesia. Justru yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya. Akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia kepada cita-cita kemerdekaanya, yakni, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Demikian pula dengan di-downgrade-nya entitas dan norma kelembagaan profesi lalu menghadirkan adanya etatisme dan absolutisme kekuasaan. Hal semacam ini tentu tidak akan mendatangkan keadilan, sebab tidak ada keadilan tanpa kelembagaan yang adil.

Pertanyaan keempat, dapatkah memberi manfaat bagi rakyat? Bagi rakyat profesi dan tenaga kesehatan jawabannya sudah jelas. Sebab keberadaan RUU (OBL) Kesehatan ini dianggap memberangus undang-undang terkait profesi dan undang-undang tenaga kesehatan. Menjadi sebab profesi dan tenaga kesehatan serta organisasinya melakukan dua kali aksi berar-besaran untuk menolak dan minta dihentikan pembahasannya.

Karena memberangus organisasi profesi dan organisasi tenaga kesehatan maka tentu tidak akan memberdayakannya. Sangat berbeda dengan semangat undang-undang produk reformasi yang existing, yang memberdayakan.

Fenomena tersebut dapat disaksikan pada proses pembahasannya di Baleg sampai di Panja DPR, pembentuk undang-undang terutama Kementerian Kesehatan sangat sibuk menjelek-jelekkan IDI dan kolegiumnya. Bahwa terakhir ini muncul pernyataan bahwa akan menghadirkan format baru organisasi profesi dengan RUU (OBL) Kesehatan ini, tetapi sangat bertolak belakang dengan ucapan dan perilakunya selama ini.

Terus bagaimana dengan kemanfaatan kepada rakyat umum? Tampaknya tidak jauh berbeda dengan rakyat profesi dan tenaga kesehatan. Cukup peniadaan mandatory spending yang berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat atas kesehatan berbicara.

Atau potensi bocornya data genomik rakyat dan dibolehkannya aborsi terhadap korban pemerkosaan pada usia kehamilannya mencapai 14 minggu, yang dapat merugikan kesehatan ibunya tanpa perlu mencantukan pertimbangan agama, etik kedokteran, dan trauma psikologis korban, sebagaimana undang-undang existing.

Lalu, muncul pertanyaan, sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agama mana yang membolehkan aborsi dalam kondisi semacam itu? Belum lagi risiko acaman hukum belum sepenuhnya dapat disingkirkan. Terus, siapa yang mau melaksanakannya?

Catatan Akhir


Bila setelah diuji dan ternyata kata “Demi Kepentingan Rakyat” tidak ditemukan jawaban rasional dan meyakinkan, jangan-jangan RUU (OBL) Kesehatan ini memang mengandung banyak masalah. Jika banyak masalah maka boleh jadi sinyalemen dr. Iqbal Mochtar dalam diskusi online (4 Juli 2023) bahwa RUU ini berpotensi menimbulkan menjadi “tragedi” kesehatan, adalah benar.

Tragedi kesehatan karena produk undang-undang yang buruk dampaknya dapat lebih berat dibanding bencana alam, bencana sosial, pandemi, kelaparan, dan peperangan. Dan, bahkan undang-undang yang buruk itu sendiri dapat menciptakan sejumlah bencana.

Itulah sebabnya narasi “demi kepentingan rakyat” wajib dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Bukan basa-basi atau lip servie belaka. Karena kewenangan pembentukan UU (OBL) Kesehatan ada di tangan DPR dan Pemerintah maka semuanya terpulang kepada keduanya untuk merenungkan secara sungguh-sungguh. Wallahu a'lam bishawab.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1778 seconds (0.1#10.140)