RUU (OBL) Kesehatan: Benarkah Demi Kepentingan Rakyat?
loading...
A
A
A
Demikian pula dengan di-downgrade-nya entitas dan norma kelembagaan profesi lalu menghadirkan adanya etatisme dan absolutisme kekuasaan. Hal semacam ini tentu tidak akan mendatangkan keadilan, sebab tidak ada keadilan tanpa kelembagaan yang adil.
Pertanyaan keempat, dapatkah memberi manfaat bagi rakyat? Bagi rakyat profesi dan tenaga kesehatan jawabannya sudah jelas. Sebab keberadaan RUU (OBL) Kesehatan ini dianggap memberangus undang-undang terkait profesi dan undang-undang tenaga kesehatan. Menjadi sebab profesi dan tenaga kesehatan serta organisasinya melakukan dua kali aksi berar-besaran untuk menolak dan minta dihentikan pembahasannya.
Karena memberangus organisasi profesi dan organisasi tenaga kesehatan maka tentu tidak akan memberdayakannya. Sangat berbeda dengan semangat undang-undang produk reformasi yang existing, yang memberdayakan.
Fenomena tersebut dapat disaksikan pada proses pembahasannya di Baleg sampai di Panja DPR, pembentuk undang-undang terutama Kementerian Kesehatan sangat sibuk menjelek-jelekkan IDI dan kolegiumnya. Bahwa terakhir ini muncul pernyataan bahwa akan menghadirkan format baru organisasi profesi dengan RUU (OBL) Kesehatan ini, tetapi sangat bertolak belakang dengan ucapan dan perilakunya selama ini.
Terus bagaimana dengan kemanfaatan kepada rakyat umum? Tampaknya tidak jauh berbeda dengan rakyat profesi dan tenaga kesehatan. Cukup peniadaan mandatory spending yang berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat atas kesehatan berbicara.
Atau potensi bocornya data genomik rakyat dan dibolehkannya aborsi terhadap korban pemerkosaan pada usia kehamilannya mencapai 14 minggu, yang dapat merugikan kesehatan ibunya tanpa perlu mencantukan pertimbangan agama, etik kedokteran, dan trauma psikologis korban, sebagaimana undang-undang existing.
Lalu, muncul pertanyaan, sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agama mana yang membolehkan aborsi dalam kondisi semacam itu? Belum lagi risiko acaman hukum belum sepenuhnya dapat disingkirkan. Terus, siapa yang mau melaksanakannya?
Bila setelah diuji dan ternyata kata “Demi Kepentingan Rakyat” tidak ditemukan jawaban rasional dan meyakinkan, jangan-jangan RUU (OBL) Kesehatan ini memang mengandung banyak masalah. Jika banyak masalah maka boleh jadi sinyalemen dr. Iqbal Mochtar dalam diskusi online (4 Juli 2023) bahwa RUU ini berpotensi menimbulkan menjadi “tragedi” kesehatan, adalah benar.
Tragedi kesehatan karena produk undang-undang yang buruk dampaknya dapat lebih berat dibanding bencana alam, bencana sosial, pandemi, kelaparan, dan peperangan. Dan, bahkan undang-undang yang buruk itu sendiri dapat menciptakan sejumlah bencana.
Itulah sebabnya narasi “demi kepentingan rakyat” wajib dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Bukan basa-basi atau lip servie belaka. Karena kewenangan pembentukan UU (OBL) Kesehatan ada di tangan DPR dan Pemerintah maka semuanya terpulang kepada keduanya untuk merenungkan secara sungguh-sungguh. Wallahu a'lam bishawab.
Pertanyaan keempat, dapatkah memberi manfaat bagi rakyat? Bagi rakyat profesi dan tenaga kesehatan jawabannya sudah jelas. Sebab keberadaan RUU (OBL) Kesehatan ini dianggap memberangus undang-undang terkait profesi dan undang-undang tenaga kesehatan. Menjadi sebab profesi dan tenaga kesehatan serta organisasinya melakukan dua kali aksi berar-besaran untuk menolak dan minta dihentikan pembahasannya.
Karena memberangus organisasi profesi dan organisasi tenaga kesehatan maka tentu tidak akan memberdayakannya. Sangat berbeda dengan semangat undang-undang produk reformasi yang existing, yang memberdayakan.
Fenomena tersebut dapat disaksikan pada proses pembahasannya di Baleg sampai di Panja DPR, pembentuk undang-undang terutama Kementerian Kesehatan sangat sibuk menjelek-jelekkan IDI dan kolegiumnya. Bahwa terakhir ini muncul pernyataan bahwa akan menghadirkan format baru organisasi profesi dengan RUU (OBL) Kesehatan ini, tetapi sangat bertolak belakang dengan ucapan dan perilakunya selama ini.
Terus bagaimana dengan kemanfaatan kepada rakyat umum? Tampaknya tidak jauh berbeda dengan rakyat profesi dan tenaga kesehatan. Cukup peniadaan mandatory spending yang berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat atas kesehatan berbicara.
Atau potensi bocornya data genomik rakyat dan dibolehkannya aborsi terhadap korban pemerkosaan pada usia kehamilannya mencapai 14 minggu, yang dapat merugikan kesehatan ibunya tanpa perlu mencantukan pertimbangan agama, etik kedokteran, dan trauma psikologis korban, sebagaimana undang-undang existing.
Lalu, muncul pertanyaan, sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agama mana yang membolehkan aborsi dalam kondisi semacam itu? Belum lagi risiko acaman hukum belum sepenuhnya dapat disingkirkan. Terus, siapa yang mau melaksanakannya?
Catatan Akhir
Bila setelah diuji dan ternyata kata “Demi Kepentingan Rakyat” tidak ditemukan jawaban rasional dan meyakinkan, jangan-jangan RUU (OBL) Kesehatan ini memang mengandung banyak masalah. Jika banyak masalah maka boleh jadi sinyalemen dr. Iqbal Mochtar dalam diskusi online (4 Juli 2023) bahwa RUU ini berpotensi menimbulkan menjadi “tragedi” kesehatan, adalah benar.
Tragedi kesehatan karena produk undang-undang yang buruk dampaknya dapat lebih berat dibanding bencana alam, bencana sosial, pandemi, kelaparan, dan peperangan. Dan, bahkan undang-undang yang buruk itu sendiri dapat menciptakan sejumlah bencana.
Itulah sebabnya narasi “demi kepentingan rakyat” wajib dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Bukan basa-basi atau lip servie belaka. Karena kewenangan pembentukan UU (OBL) Kesehatan ada di tangan DPR dan Pemerintah maka semuanya terpulang kepada keduanya untuk merenungkan secara sungguh-sungguh. Wallahu a'lam bishawab.
(zik)