Meniadakan Mandatory Spending dalam RUU (OBL) Kesehatan: Mashlahat atau Mudharat?
loading...
A
A
A
Keenam, berpotensi menjerumuskan pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk melanggar Ketetapan (TAP) MPR RI No 10/2001. Pada poin 5a angka 4 TAP MPR 2001 tesebut tercantum amanat, “Mengugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan sebesar 15% APBN.” Dalam amanat tersebut dibagi menjadi minimal 5% APBN dan 10% APBD.
Ketujuh, bila dikaitkan dengan teori sistem kesehatan, salah satu poin penting selain pengorganisasian pelayanan adalah pengorganisasian pembiayaan. Pengorganisasian pembiayaan kesehatan menyangkut kejelasan dalam hal jumlah anggaran, penyebaran, dan pemanfaatannya.
Catatan Akhir
Meniadakan mandatory spending dapat berdampak sulit dan bahkan gagalnya pamerintah menjalankan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 (1) UUD, yang kemudian menjadi sebab tidak terjaminnya kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Selain itu, persoalannya serius lainnya yang akan dihadapi adalah pelanggaran terhadap Ketetapan (TAP) MPR No 10/2001.
Dan untuk diketahui, membuat UU (OBL) Kesehatan tidak serta-merta mampu meniadakan TAP MPR tersebut. Seperti diketahui, dalam hirarki perundang-undangan TAP MPR RI itu kedudukannya lebih tinggi dibanding undang-undang. Berlaku asas yang mengatakan, “Peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.” Lex superior derogate legi inferiori.
Karena itu, jika peniadaan mandatory spending tetap saja dipaksakan, hemat penulis bukan mashlahat yang akan diperoleh bangsa Indonesia melainkan mudharat-lah yang kemungkinan dituainya. Wallahu a'lam bishawab.
Ketujuh, bila dikaitkan dengan teori sistem kesehatan, salah satu poin penting selain pengorganisasian pelayanan adalah pengorganisasian pembiayaan. Pengorganisasian pembiayaan kesehatan menyangkut kejelasan dalam hal jumlah anggaran, penyebaran, dan pemanfaatannya.
Catatan Akhir
Meniadakan mandatory spending dapat berdampak sulit dan bahkan gagalnya pamerintah menjalankan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 (1) UUD, yang kemudian menjadi sebab tidak terjaminnya kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Selain itu, persoalannya serius lainnya yang akan dihadapi adalah pelanggaran terhadap Ketetapan (TAP) MPR No 10/2001.
Dan untuk diketahui, membuat UU (OBL) Kesehatan tidak serta-merta mampu meniadakan TAP MPR tersebut. Seperti diketahui, dalam hirarki perundang-undangan TAP MPR RI itu kedudukannya lebih tinggi dibanding undang-undang. Berlaku asas yang mengatakan, “Peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.” Lex superior derogate legi inferiori.
Karena itu, jika peniadaan mandatory spending tetap saja dipaksakan, hemat penulis bukan mashlahat yang akan diperoleh bangsa Indonesia melainkan mudharat-lah yang kemungkinan dituainya. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)