Meniadakan Mandatory Spending dalam RUU (OBL) Kesehatan: Mashlahat atau Mudharat?
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia(periode 2012-2015)
ADALAH Dr Chazali Husni Situmorang, seorang apoteker dan pakar kebijakan publik yang didapuk menjadi narasumber tunggal untuk membahas topik “Mandatory Spending yang Terabaikan”, dalam acara Morning Podcast Kang Hadi Conscience (25 Juni 2023) lalu.
Tentu saja Bang Chazali begitu yang penulis sering menyapanya, paham persis hal yang berkaiatan dengan topik tersebut. Sebab beliau cukup lama berkecimpun di dunia birokrasi pemerintahan. Karena itu, penulis tidak merasa perlu untuk memberi tanggapan apalagi menyanggahnya. Lebih pas, bila penulis memberi komentar berupa penguatan terhadap apa yang telah disajikannya.
Bang Chazali mengemukakan bahwa sebetulnya pihak kementerian keuangan sendiri tidak begitu happy dengan adanya mandatory spending di dalam Pasal 171 (1) dan (2) UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Mungkin itu pula sebabnya mengapa Menteri Kesehatan sering harus menegosiasi Menteri Keuangan agar anggarannya tetap terpenuhi.
Itu pun pihak Menteri Keuangan sering memasukkan dana penerima bantuan iuran (PBI) yang ada di dalam program Jaminan Sosial Kesehatan sebagai bahagian dari mandatory spending tersebut. Padahal pengeluaran negara untuk PBI bukan amanat UU No 36/2009 tentang Kesehatan, melainkan amanat UU SJSN, yang bersumber dari Pasal 34 (3) UUD 1945, agar fakir miskin dan anak terlantar dapat memperoleh pelayanan kesehatan.
Terkait peniadaan mandatory spending, Menteri Kesehatan dalam penjelasannya menyatakan bahwa mandatory spending harus tetap dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5% untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas. Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100% mencapai tujuannya.
Bila seperti itu argumentasi tentu tidak kuat. Sebab bukankah di setiap kementerian ada mekanisme pengawasan? Dan lagi pula Pasal 20A ayat (1) UUD Negara 1945 juga memberi amanat kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk melakukan funsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR ini dimaksudkan untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan APBN oleh pemerintah agar kebijakan dan programnya terlaksana secara tepat, untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat.
Manfaat Mandatory Spending
Pembentuk UU (OBL) Kesehatan dalam hal ini pemerintah dan DPR bersikukuh ingin menghapus Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No 36/2009, yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji pegawai. Pada Pasal ini tendapat kata “minimal” yang ulang dua kali dan juga kata “di luar gaji”.
Artinya bahwa bila suatu saat di mana sektor kesehatan membutuhkan anggaran melebihi yang dimandatkan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhinya. Sebab telah tertulis secara terang benderang kata “minimal”. Begitu pula terkait gaji pegawai semestinya tidak dimasukkan di dalam kategori minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD ini.
Lalu apa pentingnya mandatory spending ini? Mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokokasi secara adil, termanfaatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar mampu meningkatkan derajat kesehatan rakyat setinggi-tingginya.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia(periode 2012-2015)
ADALAH Dr Chazali Husni Situmorang, seorang apoteker dan pakar kebijakan publik yang didapuk menjadi narasumber tunggal untuk membahas topik “Mandatory Spending yang Terabaikan”, dalam acara Morning Podcast Kang Hadi Conscience (25 Juni 2023) lalu.
Tentu saja Bang Chazali begitu yang penulis sering menyapanya, paham persis hal yang berkaiatan dengan topik tersebut. Sebab beliau cukup lama berkecimpun di dunia birokrasi pemerintahan. Karena itu, penulis tidak merasa perlu untuk memberi tanggapan apalagi menyanggahnya. Lebih pas, bila penulis memberi komentar berupa penguatan terhadap apa yang telah disajikannya.
Bang Chazali mengemukakan bahwa sebetulnya pihak kementerian keuangan sendiri tidak begitu happy dengan adanya mandatory spending di dalam Pasal 171 (1) dan (2) UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Mungkin itu pula sebabnya mengapa Menteri Kesehatan sering harus menegosiasi Menteri Keuangan agar anggarannya tetap terpenuhi.
Itu pun pihak Menteri Keuangan sering memasukkan dana penerima bantuan iuran (PBI) yang ada di dalam program Jaminan Sosial Kesehatan sebagai bahagian dari mandatory spending tersebut. Padahal pengeluaran negara untuk PBI bukan amanat UU No 36/2009 tentang Kesehatan, melainkan amanat UU SJSN, yang bersumber dari Pasal 34 (3) UUD 1945, agar fakir miskin dan anak terlantar dapat memperoleh pelayanan kesehatan.
Terkait peniadaan mandatory spending, Menteri Kesehatan dalam penjelasannya menyatakan bahwa mandatory spending harus tetap dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5% untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas. Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100% mencapai tujuannya.
Bila seperti itu argumentasi tentu tidak kuat. Sebab bukankah di setiap kementerian ada mekanisme pengawasan? Dan lagi pula Pasal 20A ayat (1) UUD Negara 1945 juga memberi amanat kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk melakukan funsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR ini dimaksudkan untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan APBN oleh pemerintah agar kebijakan dan programnya terlaksana secara tepat, untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat.
Manfaat Mandatory Spending
Pembentuk UU (OBL) Kesehatan dalam hal ini pemerintah dan DPR bersikukuh ingin menghapus Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No 36/2009, yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji pegawai. Pada Pasal ini tendapat kata “minimal” yang ulang dua kali dan juga kata “di luar gaji”.
Artinya bahwa bila suatu saat di mana sektor kesehatan membutuhkan anggaran melebihi yang dimandatkan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhinya. Sebab telah tertulis secara terang benderang kata “minimal”. Begitu pula terkait gaji pegawai semestinya tidak dimasukkan di dalam kategori minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD ini.
Lalu apa pentingnya mandatory spending ini? Mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokokasi secara adil, termanfaatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar mampu meningkatkan derajat kesehatan rakyat setinggi-tingginya.