Meniadakan Mandatory Spending dalam RUU (OBL) Kesehatan: Mashlahat atau Mudharat?

Selasa, 27 Juni 2023 - 17:49 WIB
loading...
Meniadakan Mandatory...
Zaenal Abidin Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (periode 2012-2015). Foto/Dok. Pribadi
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia(periode 2012-2015)

ADALAH Dr Chazali Husni Situmorang, seorang apoteker dan pakar kebijakan publik yang didapuk menjadi narasumber tunggal untuk membahas topik “Mandatory Spending yang Terabaikan”, dalam acara Morning Podcast Kang Hadi Conscience (25 Juni 2023) lalu.

Tentu saja Bang Chazali begitu yang penulis sering menyapanya, paham persis hal yang berkaiatan dengan topik tersebut. Sebab beliau cukup lama berkecimpun di dunia birokrasi pemerintahan. Karena itu, penulis tidak merasa perlu untuk memberi tanggapan apalagi menyanggahnya. Lebih pas, bila penulis memberi komentar berupa penguatan terhadap apa yang telah disajikannya.

Bang Chazali mengemukakan bahwa sebetulnya pihak kementerian keuangan sendiri tidak begitu happy dengan adanya mandatory spending di dalam Pasal 171 (1) dan (2) UU No 36/2009 tentang Kesehatan. Mungkin itu pula sebabnya mengapa Menteri Kesehatan sering harus menegosiasi Menteri Keuangan agar anggarannya tetap terpenuhi.

Itu pun pihak Menteri Keuangan sering memasukkan dana penerima bantuan iuran (PBI) yang ada di dalam program Jaminan Sosial Kesehatan sebagai bahagian dari mandatory spending tersebut. Padahal pengeluaran negara untuk PBI bukan amanat UU No 36/2009 tentang Kesehatan, melainkan amanat UU SJSN, yang bersumber dari Pasal 34 (3) UUD 1945, agar fakir miskin dan anak terlantar dapat memperoleh pelayanan kesehatan.

Terkait peniadaan mandatory spending, Menteri Kesehatan dalam penjelasannya menyatakan bahwa mandatory spending harus tetap dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5% untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas. Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100% mencapai tujuannya.

Bila seperti itu argumentasi tentu tidak kuat. Sebab bukankah di setiap kementerian ada mekanisme pengawasan? Dan lagi pula Pasal 20A ayat (1) UUD Negara 1945 juga memberi amanat kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk melakukan funsi pengawasan. Fungsi pengawasan DPR ini dimaksudkan untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan APBN oleh pemerintah agar kebijakan dan programnya terlaksana secara tepat, untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat.

Manfaat Mandatory Spending
Pembentuk UU (OBL) Kesehatan dalam hal ini pemerintah dan DPR bersikukuh ingin menghapus Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No 36/2009, yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji pegawai. Pada Pasal ini tendapat kata “minimal” yang ulang dua kali dan juga kata “di luar gaji”.

Artinya bahwa bila suatu saat di mana sektor kesehatan membutuhkan anggaran melebihi yang dimandatkan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhinya. Sebab telah tertulis secara terang benderang kata “minimal”. Begitu pula terkait gaji pegawai semestinya tidak dimasukkan di dalam kategori minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD ini.

Lalu apa pentingnya mandatory spending ini? Mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokokasi secara adil, termanfaatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar mampu meningkatkan derajat kesehatan rakyat setinggi-tingginya.

Pencantuman mandatory spending di dalam RUU (OBL) Kesehatan merupakan bentuk konkret dari keberpihakan awal pembentuk undang-undang kepada kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu mandatory spending ini adalah bagian yang amat penting dalam pembetukan UU (OBL) Kesehatan, sebab ketersediaan dana untuk pelaksaannya kemudian sangat bergantung kepada apa yang tertulis di dalam undang-undang.

Akibat dari peniadaan mandatory spending di dalam UU (OLB) Kesehatan maka kelak tidak ada upaya paksa kepada pemerintah untuk berkomitmen menyediakan prosentase minimal anggaran untuk kesehatan rakyatnya. Kemungkinannya pengelola program negara di sektor kesehatan akan berkerja layaknya kepanitiaan dalam sebuah organisasi. Panitia pelaksana diminta membuat proposal untuk setiap rencana kegiatannya, kemudian mengajukan kepada ketua lalu ketua mendisposisi kepada bendahara untuk menyeleksinya.

Dampak Peniadaan Mandatory Spending
Bila mandatory spending ditiadakan maka setidaknya akan menimbukan tujuh dampak: Pertama, pengalokasian anggaran di sektor kesehatan akan makin menjadi prioritas terakhir. Setelah mengalokasikan anggaran untuk pembangun infrastruktur, pengadan barang, dan program yang bersifat politis.

Artinya sektor kesehatan diperkirakan hanya akan mendapatkan sisa-sisa anggaran. Dengan demikian pemerintah berpotensi gagal mengemban amanat Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kedua, program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) akan makin terbengkalai. Upaya promotif dan preventif hanya menjadi penghias bibir para elit. Pun kita akan kembali berjumpa dengan “Rapor Merah” Menteri Kesehatan sebab tidak tercapainya target RPJMN Kesehatan sebagaimana yang dumumkan oleh Menteri Bappenas RI beberapa waktu yang lalu. Kita juga akan kembali berjumpa dengan triple burden of disease dan triple burden of malnutrition.

Ketiga, pemerintah akan kesulitan membiayai janji-janji manisnya. Misalnya, (a) penyebaran tenaga kesehatan ke seluruh pelosok tanah air, (b) pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan seperti seminar, simposium, dan workshop yang dianjikan murah bahkan gratis, (c) pembinaan etik, disipilin, dan hukum tenaga kesehatan yang akan ditarik ke Kementerian Kesehatan, (d) membiayai konsil dan majelis disiplin tenaga kesehatan yang juga berada di bawah Kementerian Kesehatan.

Berikutnya, (e) sulit membiayai operasional kolegium setiap percabangan ilmu. Untuk diketahui setiap percabangan ilmu kedokteran terdapat satu kolegium. Belum lagi profesi kesehatan lain, tentu juga memiliki banyak kolegium, (f) membiayai pengadaan dan distribusi obat dan alat kesehatan, (g) pengadaan dan pendistribusian vaksin, (h) pembangunan puskesmas dan FKTP yang kini masih kurang, (i) sulit memperbaiki satitasi dan pengadaan sarana MCK,

Dan juga, (j) sulit menggaji dokter peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan program spesilisasi profesi lain yang selama ini dijanjikan. Selanjutnya (k) membiayai pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus yang belum ditanggung JKN.
Kemudian, (l) masyarakat yang mengidap gangguan jiwa, (m) sulit membiayai program pengembangan teknologi genomiknya (terkecuali bila program ini mau diserahkan kepada swasta dan asing), yang dengan risiko terhadap ancaman keamanan negara dan warga negara Indonesia.

Keempat, Indonesia akan selalu berjibaku dengan upaya pengobatan di FKTP dan di rumah sakit, sebab rakyat sudah terlanjur sakit dan gagalnya upaya pencegahan yang dipicu oleh penghapusan mandatory spending di bidang kesehatan. Dan jangan lupa, imbas dari masalah ini adalah babak belurnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Kesehatan yang mengelola dana amat dari individu penduduk.

Kelima, Pemerintah akan gagal menunaikan kewajibannya sebagaimana amanat dari 28H ayat (3), “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Dan Pasal 34 (1) UUD Negara RI 1945, “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”, yang di dalam UU SJSN dan UU BPJS diwuujudkan sebagai penerima bantuan iuran (PBI) yang jumlahnya dapat berubah setiap saat.

Keenam, berpotensi menjerumuskan pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk melanggar Ketetapan (TAP) MPR RI No 10/2001. Pada poin 5a angka 4 TAP MPR 2001 tesebut tercantum amanat, “Mengugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan sebesar 15% APBN.” Dalam amanat tersebut dibagi menjadi minimal 5% APBN dan 10% APBD.

Ketujuh, bila dikaitkan dengan teori sistem kesehatan, salah satu poin penting selain pengorganisasian pelayanan adalah pengorganisasian pembiayaan. Pengorganisasian pembiayaan kesehatan menyangkut kejelasan dalam hal jumlah anggaran, penyebaran, dan pemanfaatannya.

Catatan Akhir
Meniadakan mandatory spending dapat berdampak sulit dan bahkan gagalnya pamerintah menjalankan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 (1) UUD, yang kemudian menjadi sebab tidak terjaminnya kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Selain itu, persoalannya serius lainnya yang akan dihadapi adalah pelanggaran terhadap Ketetapan (TAP) MPR No 10/2001.

Dan untuk diketahui, membuat UU (OBL) Kesehatan tidak serta-merta mampu meniadakan TAP MPR tersebut. Seperti diketahui, dalam hirarki perundang-undangan TAP MPR RI itu kedudukannya lebih tinggi dibanding undang-undang. Berlaku asas yang mengatakan, “Peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.” Lex superior derogate legi inferiori.

Karena itu, jika peniadaan mandatory spending tetap saja dipaksakan, hemat penulis bukan mashlahat yang akan diperoleh bangsa Indonesia melainkan mudharat-lah yang kemungkinan dituainya. Wallahu a'lam bishawab.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2332 seconds (0.1#10.140)