Meniadakan Mandatory Spending dalam RUU (OBL) Kesehatan: Mashlahat atau Mudharat?

Selasa, 27 Juni 2023 - 17:49 WIB
loading...
A A A
Pencantuman mandatory spending di dalam RUU (OBL) Kesehatan merupakan bentuk konkret dari keberpihakan awal pembentuk undang-undang kepada kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu mandatory spending ini adalah bagian yang amat penting dalam pembetukan UU (OBL) Kesehatan, sebab ketersediaan dana untuk pelaksaannya kemudian sangat bergantung kepada apa yang tertulis di dalam undang-undang.

Akibat dari peniadaan mandatory spending di dalam UU (OLB) Kesehatan maka kelak tidak ada upaya paksa kepada pemerintah untuk berkomitmen menyediakan prosentase minimal anggaran untuk kesehatan rakyatnya. Kemungkinannya pengelola program negara di sektor kesehatan akan berkerja layaknya kepanitiaan dalam sebuah organisasi. Panitia pelaksana diminta membuat proposal untuk setiap rencana kegiatannya, kemudian mengajukan kepada ketua lalu ketua mendisposisi kepada bendahara untuk menyeleksinya.

Dampak Peniadaan Mandatory Spending
Bila mandatory spending ditiadakan maka setidaknya akan menimbukan tujuh dampak: Pertama, pengalokasian anggaran di sektor kesehatan akan makin menjadi prioritas terakhir. Setelah mengalokasikan anggaran untuk pembangun infrastruktur, pengadan barang, dan program yang bersifat politis.

Artinya sektor kesehatan diperkirakan hanya akan mendapatkan sisa-sisa anggaran. Dengan demikian pemerintah berpotensi gagal mengemban amanat Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kedua, program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) akan makin terbengkalai. Upaya promotif dan preventif hanya menjadi penghias bibir para elit. Pun kita akan kembali berjumpa dengan “Rapor Merah” Menteri Kesehatan sebab tidak tercapainya target RPJMN Kesehatan sebagaimana yang dumumkan oleh Menteri Bappenas RI beberapa waktu yang lalu. Kita juga akan kembali berjumpa dengan triple burden of disease dan triple burden of malnutrition.

Ketiga, pemerintah akan kesulitan membiayai janji-janji manisnya. Misalnya, (a) penyebaran tenaga kesehatan ke seluruh pelosok tanah air, (b) pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan seperti seminar, simposium, dan workshop yang dianjikan murah bahkan gratis, (c) pembinaan etik, disipilin, dan hukum tenaga kesehatan yang akan ditarik ke Kementerian Kesehatan, (d) membiayai konsil dan majelis disiplin tenaga kesehatan yang juga berada di bawah Kementerian Kesehatan.

Berikutnya, (e) sulit membiayai operasional kolegium setiap percabangan ilmu. Untuk diketahui setiap percabangan ilmu kedokteran terdapat satu kolegium. Belum lagi profesi kesehatan lain, tentu juga memiliki banyak kolegium, (f) membiayai pengadaan dan distribusi obat dan alat kesehatan, (g) pengadaan dan pendistribusian vaksin, (h) pembangunan puskesmas dan FKTP yang kini masih kurang, (i) sulit memperbaiki satitasi dan pengadaan sarana MCK,

Dan juga, (j) sulit menggaji dokter peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan program spesilisasi profesi lain yang selama ini dijanjikan. Selanjutnya (k) membiayai pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus yang belum ditanggung JKN.
Kemudian, (l) masyarakat yang mengidap gangguan jiwa, (m) sulit membiayai program pengembangan teknologi genomiknya (terkecuali bila program ini mau diserahkan kepada swasta dan asing), yang dengan risiko terhadap ancaman keamanan negara dan warga negara Indonesia.

Keempat, Indonesia akan selalu berjibaku dengan upaya pengobatan di FKTP dan di rumah sakit, sebab rakyat sudah terlanjur sakit dan gagalnya upaya pencegahan yang dipicu oleh penghapusan mandatory spending di bidang kesehatan. Dan jangan lupa, imbas dari masalah ini adalah babak belurnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Kesehatan yang mengelola dana amat dari individu penduduk.

Kelima, Pemerintah akan gagal menunaikan kewajibannya sebagaimana amanat dari 28H ayat (3), “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Dan Pasal 34 (1) UUD Negara RI 1945, “Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”, yang di dalam UU SJSN dan UU BPJS diwuujudkan sebagai penerima bantuan iuran (PBI) yang jumlahnya dapat berubah setiap saat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1730 seconds (0.1#10.140)