Problematika Stunting, Kerja Bersama

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:10 WIB
loading...
Problematika Stunting, Kerja Bersama
Staf Khusus Menteri Keuangan RI Candra Fajri Ananda. Foto/Dok SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

STUNTING merupakan salah satu permasalahan krusial dalam pembangunan sosial dan ekonomi di banyak negara-negara di dunia, terutama negara-negara berkembang. Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting tersebut merupakan salah satu masalah gizi yang kerap dialami oleh balita.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), stunting merupakan suatu kondisi gagal tumbuh kembang pada anak akibat infeksi berulang dan kurangnya gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dalam hidup seorang anak yang didasarkan pada panjang badan dibanding umur atau tinggi badan dibanding umur dengan batas z-score -2 standar deviasi (SD).

Saat ini diperkirakan telah terjadi pada lebih dari 160 juta anak usia balita di seluruh dunia dan jika tidak ditangani dengan baik, maka diperkirakan pada tahun 2025 akan terdapat penambahan 127 juta anak stunting di dunia. Prevalensi stunting menjadi permasalahan penting karena dapat memberikan dampak berkelanjutan bagi balita tersebut maupun bagi negara.

Pada perkembangan anak balita stunting dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktivitas dan kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Sedangkan bagi negara, stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dari menurunnya produktivitas pasar kerja.

Lebih dari tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dari penjajahan, namun bangsa ini juga masih terbelenggu dalam problematika stunting yang belum usai. Pada perkembangannya, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa sejatinya angka prevalensi stunting di Indonesia telah mengalami penurunan dari 24,4% (2021) menjadi 21,6% (2022).

Akan tetapi, angka penurunan tersebut masih dinilai tinggi, mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan angka stunting tidak boleh lebih dari 20%.

Problematika Stunting di Indonesia


Besarnya wilayah dan jumlah penduduk Indonesia dengan beragam kondisi geografisnya menjadi salah satu tantangan Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan stunting. Berdasarkan pembedahan data hasil SSGI tahun 2021 dan 2022, tidak semua wilayah mengalami penurunan prevalensi.

Di tengah adanya penurunan angka stunting secara agregat di Indonesia, namun faktanya kenaikan stunting masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bappenas (2022) mencatat bahwa sepanjang 2015-2019, beberapa provinsi memiliki rata-rata pertumbuhan positif, yang menandakan adanya tren kenaikan prevalensi stunting.

Lima provinsi dengan rata-rata kenaikan prevalensi stunting tertinggi adalah Bengkulu (11,52%), Sumatera Selatan (7,73%), Maluku Utara (5,05%), Lampung (4,81%), Nusa Tenggara Barat (3,88%), dan Aceh (3,71%). Di sisi lain, lima provinsi lainnya dengan rata-rata penurunan prevalensi stunting tertinggi adalah Bali (6,73%), Kepulauan Riau (6,17%), Papua Barat (3,87%), Kalimantan Utara (3,56%), dan Kalimantan Selatan (3,43%).

Adapun hasil kajian Bappenas (2022) juga menunjukkan hasil bahwa terdapat kecenderungan kelompok kabupaten/kota dengan rata-rata prevalensi stunting tinggi, memiliki rata-rata IPM dan PDRB per kapita lebih rendah dan rata-rata persentase kemiskinan lebih tinggi. Stunting memang bukanlah suatu persoalan yang mudah ditanggulangi. Pasalnya, stunting memiliki banyak faktor penyebab.

Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) menunjukkan bahwa faktor dominan yang memiliki potensi besar menyebabkan balita stunting adalah (1) pendapatan keluarga, (2) kualitas gizi makanan, (3) pendidikan ibu, (3) lahir cukup bulan. Pendapatan keluarga yang rendah yang rendah berpeluang 34 kali lebih besar menyebabkan terjadinya stunting.

Selanjutnya, kualitas gizi makanan yang buruk berpeluang 21 kali lebih besar menyebabkan balita stunting. Di sisi lain, ibu yang memiliki pendidikan rendah memiliki peluang 3 kali lebih besar menyebabkan balita stunting daripada pendidikan ibu yang tinggi.

Solusi Stunting Bukan Anggaran Semata


Di Indonesia, program pencegahan stunting merupakan salah satu program pemerintah yang mendapat perhatian serius dan menjadi prioritas nasional. Oleh karenanya, tak heran bila sejatinya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi terkait intervensi stunting.

Di samping itu, kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program, baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk menurunkan stunting. Seiring dengan berbagai program yang telah disiapkan, dukungan pendanaan penurunan stunting pun telah diberikan dengan jumlah yang tak sedikit melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pada tahun 2022 pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung Program Percepatan Pencegahan Stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga sebesar Rp34,1 triliun dan Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp8,9 triliun serta DAK Nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.

Akan tetapi, meski anggaran merupakan bagian penting yang diperlukan untuk menjalankan setiap kegiatan di organisasi sektor publik, namun bukan faktor utama yang bisa menyelesaikan permasalahan publik, termasuk dalam permasalahan penanganan stunting.

Hasil penelitian Bappenas (2022) menyebutkan bahwa korelasi antara jumlah anggaran untuk penanganan stunting melalui DAK Fisik (Kesehatan, Air Minum, dan Sanitasi) dan DAK Non Fisik terhadap penurunan stunting di kabupaten/kota di Indonesia masih korelasi yang lemah dalam beberapa periode.

Artinya, sebetulnya penyelesaian stunting bukan hanya anggaran semata namun juga berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, edukasi terhadap orang tua dan fasilitas lingkungan. Kini, langkah terpenting bagi pemerintah untuk menekan stunting adalah dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat agar kualitas kesehatan masyarakat meningkat.

Pemerintah perlu terlebih dahulu menurunkan angka kemiskinan dan menaikkan IPM untuk dapat mendorong penurunan angka prevalensi stunting. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperkuat implementasi pembangunan yang inklusif sehingga dampak pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dengan disertai meningkatnya IPM serta menurunnya tingkat kemiskinan dan prevalensi stunting secara merata.

Selain itu, kerja sama lintas sektor yang melibatkan berbagai pihak yakni pemerintah (pusat dan daerah), lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan, akademisi, dan media untuk menghilangkan ego sektoral yang selama ini melekat di perangkat daerah. Hal ini karena penyelesaian permasalahan pembangunan daerah tidak dapat diselesaikan oleh satu perangkat daerah saja, namun harus berkolaborasi dengan perangkat daerah lainnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Penerapan pendekatan lintas sektor dilaksanakan dengan strategi bertahap mulai dari menyamakan persepsi mengenai stunting, membangun komitmen dan kerjasama antar berbagai pihak. Selanjutnya memperluas pelaksanaan program pembangunan perangkat daerah yang dirancang berdasarkan penyebab stunting dan lokus sasarannya yang terintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran.

Selanjutnya, yang juga tak kalah penting ialah validitas data terkait jumlah balita stunting pada setiap daerah seharusnya menjadi kunci agar berbagai program yang digulirkan dapat berjalan efektif dan efisien sehingga permasalahan stunting dapat segera terselesaikan dengan tuntas. Semoga.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1674 seconds (0.1#10.140)