Asas Praduga Tak Bersalah dan Sila Kemanusiaan Pancasila

Rabu, 21 Juni 2023 - 18:05 WIB
loading...
Asas Praduga Tak Bersalah dan Sila Kemanusiaan Pancasila
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

ASAS hukum ini sangat dikenal di seluruh sistem hukum, kecuali di negara dengan sistem pemerintahan otoritarian. Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) yang merupakan terjemahan dari presumption of innocence telah dijadikan ketentuan undang-undang di beberapa negara. Terutama negara penganut sistem hukum Common Law dan beberapa negara penganut sistem hukum Civil Law, termasuk Indonesia.

Makna APDTB sejatinya menanamkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terdakwa di hadapan sidang pengadilan. Asas hukum universal ini ditujukan secara khusus terhadap aparatur hukum termasuk majelis hakim dengan maksud agar tercipta peradilan yang jujur dan adil (fair and just trial).

Kewajiban menyelenggarakan peradilan yang jujur dan adil semakin menguat dalam sistem peradilan pidana Indonesia dengan ratifikasi ICCPR tahun 1966 berdasarkan UU No 12/2005 yang kemudian diperkuat dengan pembentukan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Kelengkapan perangkat hukum yang menjadi landasan hukum pengakuan dan implementasi asas praduga tak bersalah tidak lagi diragukan di Indonesia. Sayangnya dalam praktik penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terdakwa di muka sidang pengadilan sering terjadi pelecehan dan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah tanpa sanksi terhadap pelaku-pelakunya.

Penerapan APDTB dalam praktik berbanding terbalik dengan nilai kemanusiaan, salah satu sila Pancasila. Sejak proses penangkapan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan sidang pengadilan.

Salah satu yang mencolok adalah tidak ada upaya penyelidik atau penyidik membacakan hak-hak terduga tindak pidana bahwa dia berhak didampingi penasehat hukum. Bahkan sampai pada awal sidang pengadilan kecuali hakim memerintahkannya dalam perkara pidana berat saja.

Kesadaran aparatur hukum untuk jujur kepada terduga tindak pidana yang pada umumnya awam hukum sangat diperlukan untuk menciptakan proses peradilan yang jujur dan adil. Bahkan sering terjadi dalam surat panggilan menghadap petugas penyidik, tuduhan kepada calon tersangka tidak juga dicantumkan. Status seseorang dipanggil untuk diperiksa terkadang belum jelas, sebagai tersangka atau saksi.

Praktik hukum yang menyesatkan sering dilakukan penasihat hukum ketika tersangka (klien) minta secara jujur tuduhannya. Di mana dikemukakan (terhadap klien) bahwa perkaranya mudah, padahal sulit. Sesungguhnya ekses negatif yang menimpa klien atau bermasalah hukum dikembalikan kepada masalah kesadaran hukum yang belum merata menyentuh kalangan awan.

Akibatnya ada praktik hukum yang memilukan di mana pemegang kuasa atas hukum dengan mudahnya melecehkan aspek nilai kemanusiaan seseorang di mata hukum. Setelah bermasalah hukum, tertimpa pula keawaman tentang hukum.

Di sinilah letak sila kemanusiaan yang adil dan beradab dihadapkan kepada kenyataan praktik hukum yang bertentangan. Bahkan melanggar APTB dan digantikan dengan asas praduga bersalah (presumption of guilt/APB).

Tiga pilar penyangga nilai kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam sistem peradilan pidana, penyidik, penuntut dan hakim sangat menentukan ada tidaknya kemuliaan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dalam sistem peradilan Indonesia sebagai negara hukum Pancasila.

Namun ketiga pilar sistem peradilan pidana tersebut bukan satu jaminan tunggal keberadaan nilai kemanusiaan tersebut. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya.

Faktor yang dimaksud dan terpenting adalah sistem birokrasi di dalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana sehingga secara individual dan secara organisatoris, lembaga penyidikan, penuntutan dan bahkan lembaga peradilan menjadi tidak lagi independen bebas dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Salah satu upaya pemerintah di Era Reformasi berkaitan dengan hal tersebut adalah dilepaskannya direktorat jenderal badan peradilan dari struktur organisasi Kementerian Kehakiman (Hukum dan HAM) yang kemudian ditempatkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Upaya pemerintah tersebut terbukti tidak mampu mengatasi bahkan mencegah timbulnya intervensi kekuasaan, kolusi, dan nepotisme ke dalam sistem kekuasaan yudikatif.

Pemberlakuan UU No 28/1999 mengenai Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas KKN dilengkapi perubahan UU No 3/1971 dengan UU No 31/1999 yang telah diubah UU No 20/2001 terbukti tidak mengurangi atau menghentikan perbuatan koruptif, bahkan sebaliknya. Korupsi sejak 50 tahun lebih telah menjadi monster yang mencederai ketertiban, keamanan, kesejahteraan rakyat 260 juta penduduk Indonesia.

Contoh kasus Sengkon dan Karta, Misnah, dan masih banyak kasus lainnya mencerminkan bahwa hukum tidak berpihak kepada mereka yang miskin secara sosial ekonomi. Hukum tumpul kepada mereka yang berpunya.

Suatu fakta tentang kehidupan hukum yang telah diakui secara universal tetapi tidak ada resep khusus untuk mengatasinya sampai saat ini. Masyarakat Indonesia adalah umat beragama sehingga setidak-tidaknya nilai kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya dilengkapi dan diperkuat akan keyakinan manusia Indonesia kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab terbukti tidak lahir dari produk hukum/undang-undang dari pemegang kekuasaan dalam alam demokrasi modern sekalipun. Dia justru lahir dari lubuk hati terdalam setiap manusia akan kewajiban luhur sesama umat manusia sekalipun dalam dan terhadap status tersangka, terdakwa, atau terpidana.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2030 seconds (0.1#10.140)