Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri secara Melawan Hukum

Selasa, 13 Juni 2023 - 18:52 WIB
loading...
Perbuatan Memperkaya...
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

PERBUATAN memperkaya diri sendiri tengah marak bermunculan di tengah kehidupan kita saat ini; dikenal sebagai Illicit Enrichment (IE) yang dilarang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 2006.

Ratifikasi tersebut sampai saat ini, sudah 17 tahun belum diundangkan sebagai perubahan atas UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2001. Pasal 20 Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 mendefinisikan IE, “significant increase in the assets of a public officials that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income as a criminal offence when committed intentionally”.

Unsur terpenting dari perbuatan IE adalah, seorang pejabat publik, dengan sengaja (opzet), memiliki kekayaan yang signifikan di mana yang bersangkutan tidak dapat menjelaskan asal usul kekayaannya sehubungan dengan penghasilan yang diperolehnya secara sah.

Ketentuan mengenai IE dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, merupakan non-mandatory obligation; artinya ketentuan yang harus dilaksanakan negara peratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 namun bersifat opsional; dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sama saja akibat hukumnya bagi negara dimaksud.

Data awal dugaan adanya IE akhir-akhir ini tercetus dari pernyataan Menteri Keuangan dan Menkopolhukam, bahwa terdapat Rp349 triliun uang beredar di luar jangkauan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), lebih besar dari APBN 2023 sebesar Rp310 triliun; dan dari Rp349 triliun sebesar Rp147 triliun telah diketahui identias pemiliknya yang terbesar berasal dari pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, Kemenkeu.

Berita tersebut sudah tentu menimbulkan shock bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan mayoritas pejabat birokrasi dan anggota DPR. Sejatinya UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Berwibawa Bebas KKN adalah merupakan strategi besar pencegahan KKN melalui kewajiban setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya sebelum, selama dan setelah diangkat sebagai penyelenggara negara dengan tujuan untuk mencegah dari perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau melebihi harta kekayaan yang signifikan yang mana tidak dapat dijelaskan asal-usul perolehanya secara sah atau diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Bahkan di dalam UU Aquo perbuatan nepotisme dan kolusi dilarang dan diancam pidana. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Sanksi pidana atas kolusi dan nepotisme di atur dalam Pasal 21, setiap Penyelenggara negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1800 seconds (0.1#10.140)