Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri secara Melawan Hukum
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERBUATAN memperkaya diri sendiri tengah marak bermunculan di tengah kehidupan kita saat ini; dikenal sebagai Illicit Enrichment (IE) yang dilarang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 2006.
Ratifikasi tersebut sampai saat ini, sudah 17 tahun belum diundangkan sebagai perubahan atas UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2001. Pasal 20 Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 mendefinisikan IE, “significant increase in the assets of a public officials that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income as a criminal offence when committed intentionally”.
Unsur terpenting dari perbuatan IE adalah, seorang pejabat publik, dengan sengaja (opzet), memiliki kekayaan yang signifikan di mana yang bersangkutan tidak dapat menjelaskan asal usul kekayaannya sehubungan dengan penghasilan yang diperolehnya secara sah.
Ketentuan mengenai IE dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, merupakan non-mandatory obligation; artinya ketentuan yang harus dilaksanakan negara peratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 namun bersifat opsional; dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sama saja akibat hukumnya bagi negara dimaksud.
Data awal dugaan adanya IE akhir-akhir ini tercetus dari pernyataan Menteri Keuangan dan Menkopolhukam, bahwa terdapat Rp349 triliun uang beredar di luar jangkauan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), lebih besar dari APBN 2023 sebesar Rp310 triliun; dan dari Rp349 triliun sebesar Rp147 triliun telah diketahui identias pemiliknya yang terbesar berasal dari pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, Kemenkeu.
Berita tersebut sudah tentu menimbulkan shock bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan mayoritas pejabat birokrasi dan anggota DPR. Sejatinya UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Berwibawa Bebas KKN adalah merupakan strategi besar pencegahan KKN melalui kewajiban setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya sebelum, selama dan setelah diangkat sebagai penyelenggara negara dengan tujuan untuk mencegah dari perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau melebihi harta kekayaan yang signifikan yang mana tidak dapat dijelaskan asal-usul perolehanya secara sah atau diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Bahkan di dalam UU Aquo perbuatan nepotisme dan kolusi dilarang dan diancam pidana. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Sanksi pidana atas kolusi dan nepotisme di atur dalam Pasal 21, setiap Penyelenggara negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pasal 22 Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Merujuk pada dua ketentuan larangan dan ancaman sanksi pidana tersebut jelas bahwa, jika larangan dan sanksi atas kolusi dan nepotisme dijalankan aparatur penegak hukum niscaya kehendak kuat untuk melakukan korupsi dipastikan akan berkurang secara signifikan di Indonesia.
Kewajiban pemerintah bersama Komisi III DPR untuk segera mengesahkan Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi bahan masukan perubahan UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2011 atau bahan masukan untuk pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang akan dibahas pemerintah bersama Komisi III DPR.
Kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum merupakan hal yang sangat mendesak karena dalam praktik pemberantasan korupsi sering dihambat karena kurang bukti permulaan cukup untuk perbuatan suap baik penerimaan maupun pemberian suap.
Sedangkan akan lebih mudah dengan cara penelusuran harta kekayaan terduga korupsi yang diakhiri melalui perampasan aset tanpa penuntutan pidana terhadap pemilik aset yang bersangkutan. (non-criminal based forfeiture/ in-rem forfeiture) dibandingkan dengan perampasan aset melalui penuntutan pidana (criminal based forfeiture/ in-personam forfeiture).
Dalam hal perampasan aset non-kriminal, fungsi dan peranan Jamdatun diperkuat Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersifat strategis dengan cara Jamdatun mengajukan tuntutan keperdataan ke pengadilan negeri untuk menggugat agar harta kekayaan yang diduga hasil kejahatan dapat dirampas dengan metoda beban pembuktian terbalik (reversal of burden of proof/onus proof) kepada pemilik harta kekayaan yang dicurigai berasal dari kejahatan di hadapan sidang pengadilan.
Sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal pembuktian di sidang pengadilan menganut prinsip, negative wettelijke beginsel; pembuktian negatif dalam arti, sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP; bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Merujuk ketentuan pasal Aquo jelas bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia, tidak membolehkan sistem pembalikan beban pembuktian (reversal of burden of proof/onus of proof) melainkan hanya dibolehkan hanya melalui kewenangan Hakim dengan dua alat bukti yang sah dan hakim harus hakkulyakin akan salah dan tidaknya seorang terdakwa yang diperiksa dan diadili dihadapan sidang pengadilan di bawah pimpinan hakim/majelis hakim.
Pembuktian yang mengharuskan terdakwa wajib membuktikan keabsahan kepemilikan harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana - pembalikan beban pembuktian- khususnya di dalam RUU Perampasan Aset; dan dalam perkara tindak pidana memperkaya diri sendiri secara melawan hukum (ilicit enrichment) - harus memiliki ketentuan mengenai tata cara proses pembuktian - terbalik karena tanpa metoda proses tersebut perampasan harta kekayaan tersangka/terdakwa tidak dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif.
Masalah hukum yang muncul dari kehendak menggunakan prosedur pembuktian dimaksud adalah tidak dapat digunakan untuk mengejar dan merampas aset yang di duga berasal dari tindak pidana tanpa melakukan penuntutan pidana terhadap terdangka/terdakwa pemilik harta kekayaan yan dicurigai diduga berasal dari tindak pidana- membuktikan kesalahan atas perbuatannya - cara tersebut justru akan menghambat tugas penuntutan (negara) dan semakin menjauhkan dari tujuan RUU Perampasan Aset.
Satu-satunya cara yang efisien dan efektif telah diakui di negara-negara sistem hukum Common Law adalah dengan penuntutan melalui gugatan keperdataan- in rem forfeiture yang hanya bertujuan merampas harta kekayaan saja dari pemiliknya yang diduga kuat berasal dari tindak pidana.
Sedangkan pemilik harta kekayaan dimaksud terlepas dari penuntutan pidana. Pola pembuktian dengan beban pembuktian pada terdakwa dipastikan rentan penyalahgunaan wewenang aparatur hukum dan pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa dan akan menimbulkan reaksi masyrakat yang keras.
Dalam hal ini diperlukan sosialisasi atas tujuan UU Perampasan Aset Tindak pidana ke masyarakat luas khususnya kepada aparatur hukum yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Di dalam RUU Perampasan Aset- yang akan dibahas pemerintah dan Komisi III DPR, telah diatur mengenai tempat penampungan aset-aset perampasan yaitu di Kelola Kejaksaan selain oleh Rumah Tempat Benda Sitaan (Rupbasan) yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERBUATAN memperkaya diri sendiri tengah marak bermunculan di tengah kehidupan kita saat ini; dikenal sebagai Illicit Enrichment (IE) yang dilarang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 7 tahun 2006.
Ratifikasi tersebut sampai saat ini, sudah 17 tahun belum diundangkan sebagai perubahan atas UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2001. Pasal 20 Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 mendefinisikan IE, “significant increase in the assets of a public officials that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income as a criminal offence when committed intentionally”.
Unsur terpenting dari perbuatan IE adalah, seorang pejabat publik, dengan sengaja (opzet), memiliki kekayaan yang signifikan di mana yang bersangkutan tidak dapat menjelaskan asal usul kekayaannya sehubungan dengan penghasilan yang diperolehnya secara sah.
Ketentuan mengenai IE dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, merupakan non-mandatory obligation; artinya ketentuan yang harus dilaksanakan negara peratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 namun bersifat opsional; dilaksanakan atau tidak dilaksanakan sama saja akibat hukumnya bagi negara dimaksud.
Data awal dugaan adanya IE akhir-akhir ini tercetus dari pernyataan Menteri Keuangan dan Menkopolhukam, bahwa terdapat Rp349 triliun uang beredar di luar jangkauan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), lebih besar dari APBN 2023 sebesar Rp310 triliun; dan dari Rp349 triliun sebesar Rp147 triliun telah diketahui identias pemiliknya yang terbesar berasal dari pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, Kemenkeu.
Berita tersebut sudah tentu menimbulkan shock bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan mayoritas pejabat birokrasi dan anggota DPR. Sejatinya UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Berwibawa Bebas KKN adalah merupakan strategi besar pencegahan KKN melalui kewajiban setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya sebelum, selama dan setelah diangkat sebagai penyelenggara negara dengan tujuan untuk mencegah dari perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau melebihi harta kekayaan yang signifikan yang mana tidak dapat dijelaskan asal-usul perolehanya secara sah atau diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Bahkan di dalam UU Aquo perbuatan nepotisme dan kolusi dilarang dan diancam pidana. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Sanksi pidana atas kolusi dan nepotisme di atur dalam Pasal 21, setiap Penyelenggara negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Pasal 22 Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Merujuk pada dua ketentuan larangan dan ancaman sanksi pidana tersebut jelas bahwa, jika larangan dan sanksi atas kolusi dan nepotisme dijalankan aparatur penegak hukum niscaya kehendak kuat untuk melakukan korupsi dipastikan akan berkurang secara signifikan di Indonesia.
Kewajiban pemerintah bersama Komisi III DPR untuk segera mengesahkan Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi bahan masukan perubahan UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2011 atau bahan masukan untuk pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang akan dibahas pemerintah bersama Komisi III DPR.
Kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri secara melawan hukum merupakan hal yang sangat mendesak karena dalam praktik pemberantasan korupsi sering dihambat karena kurang bukti permulaan cukup untuk perbuatan suap baik penerimaan maupun pemberian suap.
Sedangkan akan lebih mudah dengan cara penelusuran harta kekayaan terduga korupsi yang diakhiri melalui perampasan aset tanpa penuntutan pidana terhadap pemilik aset yang bersangkutan. (non-criminal based forfeiture/ in-rem forfeiture) dibandingkan dengan perampasan aset melalui penuntutan pidana (criminal based forfeiture/ in-personam forfeiture).
Dalam hal perampasan aset non-kriminal, fungsi dan peranan Jamdatun diperkuat Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersifat strategis dengan cara Jamdatun mengajukan tuntutan keperdataan ke pengadilan negeri untuk menggugat agar harta kekayaan yang diduga hasil kejahatan dapat dirampas dengan metoda beban pembuktian terbalik (reversal of burden of proof/onus proof) kepada pemilik harta kekayaan yang dicurigai berasal dari kejahatan di hadapan sidang pengadilan.
Sistem peradilan pidana Indonesia dalam hal pembuktian di sidang pengadilan menganut prinsip, negative wettelijke beginsel; pembuktian negatif dalam arti, sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP; bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Merujuk ketentuan pasal Aquo jelas bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia, tidak membolehkan sistem pembalikan beban pembuktian (reversal of burden of proof/onus of proof) melainkan hanya dibolehkan hanya melalui kewenangan Hakim dengan dua alat bukti yang sah dan hakim harus hakkulyakin akan salah dan tidaknya seorang terdakwa yang diperiksa dan diadili dihadapan sidang pengadilan di bawah pimpinan hakim/majelis hakim.
Pembuktian yang mengharuskan terdakwa wajib membuktikan keabsahan kepemilikan harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana - pembalikan beban pembuktian- khususnya di dalam RUU Perampasan Aset; dan dalam perkara tindak pidana memperkaya diri sendiri secara melawan hukum (ilicit enrichment) - harus memiliki ketentuan mengenai tata cara proses pembuktian - terbalik karena tanpa metoda proses tersebut perampasan harta kekayaan tersangka/terdakwa tidak dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif.
Masalah hukum yang muncul dari kehendak menggunakan prosedur pembuktian dimaksud adalah tidak dapat digunakan untuk mengejar dan merampas aset yang di duga berasal dari tindak pidana tanpa melakukan penuntutan pidana terhadap terdangka/terdakwa pemilik harta kekayaan yan dicurigai diduga berasal dari tindak pidana- membuktikan kesalahan atas perbuatannya - cara tersebut justru akan menghambat tugas penuntutan (negara) dan semakin menjauhkan dari tujuan RUU Perampasan Aset.
Satu-satunya cara yang efisien dan efektif telah diakui di negara-negara sistem hukum Common Law adalah dengan penuntutan melalui gugatan keperdataan- in rem forfeiture yang hanya bertujuan merampas harta kekayaan saja dari pemiliknya yang diduga kuat berasal dari tindak pidana.
Sedangkan pemilik harta kekayaan dimaksud terlepas dari penuntutan pidana. Pola pembuktian dengan beban pembuktian pada terdakwa dipastikan rentan penyalahgunaan wewenang aparatur hukum dan pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa dan akan menimbulkan reaksi masyrakat yang keras.
Dalam hal ini diperlukan sosialisasi atas tujuan UU Perampasan Aset Tindak pidana ke masyarakat luas khususnya kepada aparatur hukum yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Di dalam RUU Perampasan Aset- yang akan dibahas pemerintah dan Komisi III DPR, telah diatur mengenai tempat penampungan aset-aset perampasan yaitu di Kelola Kejaksaan selain oleh Rumah Tempat Benda Sitaan (Rupbasan) yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
(poe)