Pancasila: Meneguhkan Nasionalisme Pemuda
loading...
A
A
A
Muh Jusrianto
Wakil Sekretaris Eksternal Bidang HI PB HMI
Perkembangan “negara-bangsa” Indonesia tak pernah bergiat dalam ruang yang vakum. Keterhubungan dengan lingkungan global turut melahirkan konsekuensi dihadapkannya bangsa Indonesia kepada tantangan dan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang cepat dan dinamis akibat globalisasi dan perkembangan teknologi yang secara perlahan mendisrupsi sendi-sendi kehidupan negara-bangsa.
Memasuki kehidupan abad ke-21 yang dikenal dengan era keterbukaan – dikarenakan penyebaran informasi yang pesat, fleksibilitas yang tinggi, hingga kebebasan individu yang kian diterima oleh masyarakat luas – menjadi realitas yang harus disikapi, bukan sebaliknya; menyangkal! Negara-bangsa tidak sekadar dituntut melakukan adaptasi, melainkan lebih dari itu adalah memperkuat komitmen kebangsaan sebagai bagian dari self-defence.
Penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa diartikan sebagai suatu sikap penyangkalan (denial) terhadap dinamika zaman. Komitmen ini hendaknya dipahami sebagai upaya self-defence dalam rangka memastikan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalam Pancasila agar tidak tergerus – jika bukan alienasi – oleh penetrasi budaya-budaya luar. Dari trayektori ini, makainteraksi Indonesia dengan lingkungan global selalu berangkat dari kuatnya self-defence yang mengakar pada Pancasila.
Dalam kehidupan politik, semisal, kuatnya penetrasi budaya terpotret dari anasir-anasir yang berupaya mendelegitimasi tatanan demokrasi lantaran dianggap gagal dalam mewujudkan visi kesetaraan politik, sembari membangkitkan romantismeotoritarian sebagai tuntunan ideal. Kalau komitmen kebangsaan itu kuat, maka anasir-anasir yang demikian, tidak serta-merta mampu menyerabut negara-bangsa dari nilai dasar yang telah menjadi konsensus bernegara.
Komitmen kebangsaan yang sama juga penting ditunjukkan dalam konteks kebangkitan ideologi transnasional, yang belakangan ini banyak mengambil bentuk dalam gagasan kekhalifahan, yang dalam perkembangannya telah memunculkan kembali debat tentang hubungan agama (Islam) dan negara. Padahal secara historis, Presiden Soekarno telah merumuskan Pancasila sebagai titik temu (common ground) yang disepakati bersama, yakni dasar berbangsa-bernegara yang menjadi kalimatun sawa.
Common Ground
Pidato 1 Juni 1945 Presiden Soekarno merupakan bagian inti dari sejarah Indonesia dan menjadi sebuah penegasan jati diri bangsa yang gandrung akan kehidupan yang rukun, damai, adil dan sejahtera walaupun berada di tengah kemajemukan. Tentu sebagai ide atau gagasan awal, pidato 1 Juni, masih memerlukan “penyempurnaan” dalam Pancasila dan UUD-45, tetapi secara substansi, Soekarno mampu menunjukkan ketajaman pikiran yang melampaui zamannya.
Jalan panjang melawan kolonialisme turut membentuk kesadaran sang proklamator dalam merumuskan suatu dasar negara yang diharapkan dapat menjadi dasar yang statis dan Leitstar dinamis (Yudi Latif, 2012). Dengan trayek pemikiran yang demikian, sesungguhnya dasar negara yang dirumuskan Soekarno adalah dasar negara yang dapat tumbuh relevan di setiap zaman. Faktanya rumusan lima sila Pancasila terbukti mampu menyelamatkan negeri ini dari antagonisme ideologi pada medio 90-an.
Kendati Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai ideologi, melainkan Philosofische Grondslag dan Weltanschauung dalam pidato 1 Juni, namun contoh-contoh yang dikemukakan olehnya secara tersirat menunjukkan bahwa pengertian mengenai kata Weltanschauung dekat dengan makna ideologi. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi tentu tidak lepas dari perpaduan akan tiga hal yang inheren dalam sebuah ideologi: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Sehingga sebagai rumusan sintesis, Pancasila seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi, apalagi dipertanyakan kompatibilitasnya dengan agama (Islam). Memang perdebatan hubungan agama dan negara bukan sesuatu yang baru.
Debat ini pernah mengemuka di masa-masa perumusan dasar negara. Namun menghidupkan kembali perdebatan itu, yang sejatinya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai titik temu, justru menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam melihat relasi keduanya.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
Komitmen kebangsaan sangatlah penting diperkuat sebagai bagian dari self-defence, agar dalam menyikapi dinamika dan perkembangan zaman, negara-bangsa tidak mudah tercerabut dari jati dirinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Keith Suter (2023) perihal skenario worldstate (negara dunia).
Di satu sisi negara-bangsa kuat karena tetap memegang kendali atas kepentingan nasionalnya, sedangkan di sisi lain, negara-bangsa juga tetap inklusif dalam kerjasama global, utamanya yang berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak.
Tidak heran jika Bung Karno, dalam pidato 1 Juni itu, menyampaikan internasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Dengan kata lain walaupun keterhubungan sosial dalam pergaulan bangsa-bangsa merupakan suatu keharusan, namun tetap hubungan itu tetap mengacu pada prinsip kebangsaan: kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia.
Prinsip kebangsaan bukanlah yang bersifat eksklusif maupun chauvinistik, melainkan sebuah prinsip inklusif dan universal yang menjadi katalisator bagi bangsa Indonesia menuju persaudaraan bangsa-bangsa. Jadi, bangsa merupakan akar tumbuhnya rasa nasionalisme di mana perasaan itu membawa konsekuensi orientasi yang tertuju pada kesatuan level bangsa secara luas. Semangat inilah yang juga mesti tumbuh di kalangan elemen kepemudaan.
Sejarah membuktikan peran golongan muda dalam mendorong perubahan serta peranannya merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Tetapi membiarkan diri larut ke dalam romantisme sejarah, tentu bukan pilihan bijak.
Setiap generasi selalu memiliki tantangannya sendiri. Kaum muda di masa pra kemerdekaan, semisal, memiliki cita-cita yang jelas dan idealisme yang kuat dalam mewujudkan kemerdekaan. Aktivisme politik mereka di masa itu menyatu dengan grassroot, sehingga memungkinkan terbangunnya solidaritas melawan kolonialisme.
Berbeda dari tantangan pada masa perjuangan kemerdekaan. Tugas kesejarahan yang mesti diambil golongan muda hari ini adalah memastikan trajectory Indonesia sebagai satu bangsa tetap berada di jalur konstitusional yang tepat dalam rangka mencapai cita-cita kemerdekaan. Faktor sejarah di sini hanya diperlukan sebagai titik beranjak, bukan romantisme!
Pemahaman akan sejarah tidak hanya relevan memupuk nasionalisme dan memperkuat komitmen kebangsaan, tetapi juga berguna dalam memastikan dari mana perubahan bangsa ini harus diupayakan oleh golongan muda. Dalam perspektif konstitusional, pintu masuk yang legal-legitimate mendorong perubahan, salah satu yang terpenting adalah Pemilu. Melalui agenda atau momentum demokrasi elektoral, pemuda harus tampil sebagai mercusuar, dengan turut menggariskan platform perjuangan yang berbasiskan pada gagasan dan program.
Pemuda dan politik merupakan dua entitas yang koheren dan bersinggungan. Tidak perlu mengeksklusifkan diri dari dunia politik sebab perubahan hakiki bisa dimulai dari sana.
Hanya saja, politik golongan muda adalah politik kebangsaan yang termanifestasikan dalam politik programatik, bukan politik partisan. Politik programatik yang diekspresikan kaum muda merupakan politik yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa ini, yakni Pancasila. Atas dasar itulah, maka, ada tiga prinsip yang harus dipegang teguh dalam aktivisme politik golongan muda: persatuan, solidaritas dan swadaya.
Dari prinsip persatuan, aktivisme politik harus berorientasi pada upaya merajut persamaan dibalik disimilaritas yang ada. Dari prinsip solidaritas, aktivisme politik harus berorientasi pada upaya mencari titik temu di balik diferensiasi kepentingan individu atau kelompok.
Sementara dari prinsip swadaya, aktivisme politik harus bertumpu pada kekuatan sumberdaya yang mereka miliki sendiri tanpa bergantung dari pihak lain. Dengan demikian, positioning politik elemen kepemudaan mengakar pada mindset, pola pikir, dan perspektif yang luas dalam memahami realitas kebangsaan dan kenegaraan.
“Selamat Milad Bung Karno, semoga pemikiranmu tetap abadi memakan zaman sebagai modal generasi muda membangun Bangsa dan Negara”
-Satyam Eva Jayate-
Wakil Sekretaris Eksternal Bidang HI PB HMI
Perkembangan “negara-bangsa” Indonesia tak pernah bergiat dalam ruang yang vakum. Keterhubungan dengan lingkungan global turut melahirkan konsekuensi dihadapkannya bangsa Indonesia kepada tantangan dan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang cepat dan dinamis akibat globalisasi dan perkembangan teknologi yang secara perlahan mendisrupsi sendi-sendi kehidupan negara-bangsa.
Memasuki kehidupan abad ke-21 yang dikenal dengan era keterbukaan – dikarenakan penyebaran informasi yang pesat, fleksibilitas yang tinggi, hingga kebebasan individu yang kian diterima oleh masyarakat luas – menjadi realitas yang harus disikapi, bukan sebaliknya; menyangkal! Negara-bangsa tidak sekadar dituntut melakukan adaptasi, melainkan lebih dari itu adalah memperkuat komitmen kebangsaan sebagai bagian dari self-defence.
Penguatan komitmen kebangsaan tidak bisa diartikan sebagai suatu sikap penyangkalan (denial) terhadap dinamika zaman. Komitmen ini hendaknya dipahami sebagai upaya self-defence dalam rangka memastikan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalam Pancasila agar tidak tergerus – jika bukan alienasi – oleh penetrasi budaya-budaya luar. Dari trayektori ini, makainteraksi Indonesia dengan lingkungan global selalu berangkat dari kuatnya self-defence yang mengakar pada Pancasila.
Dalam kehidupan politik, semisal, kuatnya penetrasi budaya terpotret dari anasir-anasir yang berupaya mendelegitimasi tatanan demokrasi lantaran dianggap gagal dalam mewujudkan visi kesetaraan politik, sembari membangkitkan romantismeotoritarian sebagai tuntunan ideal. Kalau komitmen kebangsaan itu kuat, maka anasir-anasir yang demikian, tidak serta-merta mampu menyerabut negara-bangsa dari nilai dasar yang telah menjadi konsensus bernegara.
Komitmen kebangsaan yang sama juga penting ditunjukkan dalam konteks kebangkitan ideologi transnasional, yang belakangan ini banyak mengambil bentuk dalam gagasan kekhalifahan, yang dalam perkembangannya telah memunculkan kembali debat tentang hubungan agama (Islam) dan negara. Padahal secara historis, Presiden Soekarno telah merumuskan Pancasila sebagai titik temu (common ground) yang disepakati bersama, yakni dasar berbangsa-bernegara yang menjadi kalimatun sawa.
Common Ground
Pidato 1 Juni 1945 Presiden Soekarno merupakan bagian inti dari sejarah Indonesia dan menjadi sebuah penegasan jati diri bangsa yang gandrung akan kehidupan yang rukun, damai, adil dan sejahtera walaupun berada di tengah kemajemukan. Tentu sebagai ide atau gagasan awal, pidato 1 Juni, masih memerlukan “penyempurnaan” dalam Pancasila dan UUD-45, tetapi secara substansi, Soekarno mampu menunjukkan ketajaman pikiran yang melampaui zamannya.
Jalan panjang melawan kolonialisme turut membentuk kesadaran sang proklamator dalam merumuskan suatu dasar negara yang diharapkan dapat menjadi dasar yang statis dan Leitstar dinamis (Yudi Latif, 2012). Dengan trayek pemikiran yang demikian, sesungguhnya dasar negara yang dirumuskan Soekarno adalah dasar negara yang dapat tumbuh relevan di setiap zaman. Faktanya rumusan lima sila Pancasila terbukti mampu menyelamatkan negeri ini dari antagonisme ideologi pada medio 90-an.
Kendati Presiden Soekarno tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai ideologi, melainkan Philosofische Grondslag dan Weltanschauung dalam pidato 1 Juni, namun contoh-contoh yang dikemukakan olehnya secara tersirat menunjukkan bahwa pengertian mengenai kata Weltanschauung dekat dengan makna ideologi. Menempatkan Pancasila sebagai ideologi tentu tidak lepas dari perpaduan akan tiga hal yang inheren dalam sebuah ideologi: keyakinan, pengetahuan dan tindakan.
Sehingga sebagai rumusan sintesis, Pancasila seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi, apalagi dipertanyakan kompatibilitasnya dengan agama (Islam). Memang perdebatan hubungan agama dan negara bukan sesuatu yang baru.
Debat ini pernah mengemuka di masa-masa perumusan dasar negara. Namun menghidupkan kembali perdebatan itu, yang sejatinya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai titik temu, justru menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam melihat relasi keduanya.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
Komitmen kebangsaan sangatlah penting diperkuat sebagai bagian dari self-defence, agar dalam menyikapi dinamika dan perkembangan zaman, negara-bangsa tidak mudah tercerabut dari jati dirinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Keith Suter (2023) perihal skenario worldstate (negara dunia).
Di satu sisi negara-bangsa kuat karena tetap memegang kendali atas kepentingan nasionalnya, sedangkan di sisi lain, negara-bangsa juga tetap inklusif dalam kerjasama global, utamanya yang berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak.
Tidak heran jika Bung Karno, dalam pidato 1 Juni itu, menyampaikan internasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Dengan kata lain walaupun keterhubungan sosial dalam pergaulan bangsa-bangsa merupakan suatu keharusan, namun tetap hubungan itu tetap mengacu pada prinsip kebangsaan: kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia.
Prinsip kebangsaan bukanlah yang bersifat eksklusif maupun chauvinistik, melainkan sebuah prinsip inklusif dan universal yang menjadi katalisator bagi bangsa Indonesia menuju persaudaraan bangsa-bangsa. Jadi, bangsa merupakan akar tumbuhnya rasa nasionalisme di mana perasaan itu membawa konsekuensi orientasi yang tertuju pada kesatuan level bangsa secara luas. Semangat inilah yang juga mesti tumbuh di kalangan elemen kepemudaan.
Sejarah membuktikan peran golongan muda dalam mendorong perubahan serta peranannya merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Tetapi membiarkan diri larut ke dalam romantisme sejarah, tentu bukan pilihan bijak.
Setiap generasi selalu memiliki tantangannya sendiri. Kaum muda di masa pra kemerdekaan, semisal, memiliki cita-cita yang jelas dan idealisme yang kuat dalam mewujudkan kemerdekaan. Aktivisme politik mereka di masa itu menyatu dengan grassroot, sehingga memungkinkan terbangunnya solidaritas melawan kolonialisme.
Berbeda dari tantangan pada masa perjuangan kemerdekaan. Tugas kesejarahan yang mesti diambil golongan muda hari ini adalah memastikan trajectory Indonesia sebagai satu bangsa tetap berada di jalur konstitusional yang tepat dalam rangka mencapai cita-cita kemerdekaan. Faktor sejarah di sini hanya diperlukan sebagai titik beranjak, bukan romantisme!
Pemahaman akan sejarah tidak hanya relevan memupuk nasionalisme dan memperkuat komitmen kebangsaan, tetapi juga berguna dalam memastikan dari mana perubahan bangsa ini harus diupayakan oleh golongan muda. Dalam perspektif konstitusional, pintu masuk yang legal-legitimate mendorong perubahan, salah satu yang terpenting adalah Pemilu. Melalui agenda atau momentum demokrasi elektoral, pemuda harus tampil sebagai mercusuar, dengan turut menggariskan platform perjuangan yang berbasiskan pada gagasan dan program.
Pemuda dan politik merupakan dua entitas yang koheren dan bersinggungan. Tidak perlu mengeksklusifkan diri dari dunia politik sebab perubahan hakiki bisa dimulai dari sana.
Hanya saja, politik golongan muda adalah politik kebangsaan yang termanifestasikan dalam politik programatik, bukan politik partisan. Politik programatik yang diekspresikan kaum muda merupakan politik yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa ini, yakni Pancasila. Atas dasar itulah, maka, ada tiga prinsip yang harus dipegang teguh dalam aktivisme politik golongan muda: persatuan, solidaritas dan swadaya.
Dari prinsip persatuan, aktivisme politik harus berorientasi pada upaya merajut persamaan dibalik disimilaritas yang ada. Dari prinsip solidaritas, aktivisme politik harus berorientasi pada upaya mencari titik temu di balik diferensiasi kepentingan individu atau kelompok.
Sementara dari prinsip swadaya, aktivisme politik harus bertumpu pada kekuatan sumberdaya yang mereka miliki sendiri tanpa bergantung dari pihak lain. Dengan demikian, positioning politik elemen kepemudaan mengakar pada mindset, pola pikir, dan perspektif yang luas dalam memahami realitas kebangsaan dan kenegaraan.
“Selamat Milad Bung Karno, semoga pemikiranmu tetap abadi memakan zaman sebagai modal generasi muda membangun Bangsa dan Negara”
-Satyam Eva Jayate-
(poe)