Pancasila: Meneguhkan Nasionalisme Pemuda
loading...
A
A
A
Debat ini pernah mengemuka di masa-masa perumusan dasar negara. Namun menghidupkan kembali perdebatan itu, yang sejatinya telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai titik temu, justru menunjukkan cara pandang yang kurang proporsional dalam melihat relasi keduanya.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
Komitmen kebangsaan sangatlah penting diperkuat sebagai bagian dari self-defence, agar dalam menyikapi dinamika dan perkembangan zaman, negara-bangsa tidak mudah tercerabut dari jati dirinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Keith Suter (2023) perihal skenario worldstate (negara dunia).
Di satu sisi negara-bangsa kuat karena tetap memegang kendali atas kepentingan nasionalnya, sedangkan di sisi lain, negara-bangsa juga tetap inklusif dalam kerjasama global, utamanya yang berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak.
Tidak heran jika Bung Karno, dalam pidato 1 Juni itu, menyampaikan internasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Dengan kata lain walaupun keterhubungan sosial dalam pergaulan bangsa-bangsa merupakan suatu keharusan, namun tetap hubungan itu tetap mengacu pada prinsip kebangsaan: kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia.
Prinsip kebangsaan bukanlah yang bersifat eksklusif maupun chauvinistik, melainkan sebuah prinsip inklusif dan universal yang menjadi katalisator bagi bangsa Indonesia menuju persaudaraan bangsa-bangsa. Jadi, bangsa merupakan akar tumbuhnya rasa nasionalisme di mana perasaan itu membawa konsekuensi orientasi yang tertuju pada kesatuan level bangsa secara luas. Semangat inilah yang juga mesti tumbuh di kalangan elemen kepemudaan.
Sebagaimana ditandaskan oleh Nurcholish Madjid (2018: 97), pada dasarnya, negara mempunyai dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama mempunyai dimensi lain dalam aspek spiritual dan individual. Ada keterkaitan erat antara cita-cita moral agama dalam kehidupan publik. Karenanya relasi dua entitas tersebut penting dipahami secara proporsional. Tanpa itu, relasi agama dan negaraakan memunculkan perdebatan yang cenderung menjauh dari substansi.
Aspek-aspek formal agama yang simbolis lebih ditekankan ketimbang substansi/esensi nilai dan ajaran dalam agama. Padahal yang diperlukan adalah substansi nilai, bukannya formal-simbolik. Kehidupan publik yang diwarnai dengan hal-hal yang bersifat simbolik justru kian mempertebal demarkasi atas dasar diferensiasi yang pada gilirannya akan menegasi titik-titik kesamaan. Mengenai persoalan ini, Nurcholish Madjid (2007: 202) lantas mengajukan solusi jalan tengah, dengan menyebut Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila.
Dalam pengertian di atas Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara teokrasi, melainkan religius nationstate, yakni negara kebangsaan yang berketuhanan dan negara beragama. Perspektif ini senafas dengan akar kesejarahan perumusan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa yang peka akan realitas kemajemukan di bumi Pertiwi. Untuk itu, hubungan agama dan negara mesti diletakkan dalam konteks yang konstruktif: dasar pijak menuju cita-cita masyarakat adil makmur.
Agama dapat dijadikan sebagai kompas moral setiap insan negara, sedangkan Pancasila menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Manifestasinya di dalam kehidupan publik akan melahirkan sikap kebangsaan yang lapang dan toleran, bukan sebaliknya: perpecahan. Sebagai meetingpoint, bagaimana juga, Pancasila memiliki pengaruh dan relevansi karena tidak semata menjadi dasar negara, melainkan juga Pancasila tampil sebagai pandangan hidup dan pemersatu bangsa.
Merajut kesadaran akan kesamaan nasib sebagai satu bangsa, sebagaimana definisi nasionalisme Bung Karno, lebih penting daripada larut dalam perdebatan yang sejatinya telah selesai dalam sejarah bangsa ini. Nila-nilai nasionalisme, termasuk di dalamnya religiusitas, yang telah ditanamkan Bung Karno dan para pendiri bangsa perlu diangkat serta di-rekontekstualisasi-kan sebagai ikhtiar bersama dalam menyongsong Indonesia yang bermartabat di masa mendatang.
Episentrum Perubahan
Komitmen kebangsaan sangatlah penting diperkuat sebagai bagian dari self-defence, agar dalam menyikapi dinamika dan perkembangan zaman, negara-bangsa tidak mudah tercerabut dari jati dirinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Keith Suter (2023) perihal skenario worldstate (negara dunia).
Di satu sisi negara-bangsa kuat karena tetap memegang kendali atas kepentingan nasionalnya, sedangkan di sisi lain, negara-bangsa juga tetap inklusif dalam kerjasama global, utamanya yang berkenaan dengan kemaslahatan orang banyak.
Tidak heran jika Bung Karno, dalam pidato 1 Juni itu, menyampaikan internasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Dengan kata lain walaupun keterhubungan sosial dalam pergaulan bangsa-bangsa merupakan suatu keharusan, namun tetap hubungan itu tetap mengacu pada prinsip kebangsaan: kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia.
Prinsip kebangsaan bukanlah yang bersifat eksklusif maupun chauvinistik, melainkan sebuah prinsip inklusif dan universal yang menjadi katalisator bagi bangsa Indonesia menuju persaudaraan bangsa-bangsa. Jadi, bangsa merupakan akar tumbuhnya rasa nasionalisme di mana perasaan itu membawa konsekuensi orientasi yang tertuju pada kesatuan level bangsa secara luas. Semangat inilah yang juga mesti tumbuh di kalangan elemen kepemudaan.