Masalah Transaksi Keuangan yang Mencurigakan

Selasa, 04 April 2023 - 12:53 WIB
loading...
Masalah Transaksi Keuangan...
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

MASALAH pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report- STR) akhir-akhir ini mendapat perhatian luas masyarakat dan DPR disebabkan telah terjadi perbedaan dan kesimpangsiuran informasi mengenai data transaksi keuangan di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Perbedaan terjadi antara Menkopolhukam dan Menteri Keuangan di satu sisi dan antara Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Menteri Keuangan, mengenai nilai Rp349 triliun. Terkini, Menteri Kuangan menyatakan bahwa nllai transaksi keuangan tersebut yang telah diklarifikasi hanya Rp3 triliun.

Baca Juga: koran-sindo.com

Mengingat nilai uang/dana yang mencurigakan termasuk yang terbesar dalam sejarah keuangan Republik Indonesia, dipastikan berdampak buruk terhadap citra pemerintah Indonesia baik di dalam pandangan masyarakat dalam maupun luar negeri. Indonesia akan dinilai belum memiliki pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

STR bukan merupakan tindak pidana pencucian uang akan tetapi embrio dari tindak pidana pencucian uang sehingga menempati kedudukan strategis dan menentukan ada tidak adanya indikasi pencucian uang. Juga sekaligus dapat menentukan tindak pidana asalnya (predicate offence). Sehingga, haram hukumnya bagi siapa pun untuk membocorkan atau membuka STR ke ruang publik, kecuali hanya untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Lingkup transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction funds) di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) meliputi 4 (empat) jenis yaitu: a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Untuk membuktikan salah satu dari keempat jenis transaksi tersebut memerlukan keahlian khusus (finance investigator) atau financial audit serta waktu yang tidak singkat. Beranjak dari hal tersebut maka kerahasiaan STR merupakan syarat mutlak dan optimum menentukan keberhasilan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Apalagi perlu didukung teknologi informasi yang canggih, dan dipastikan perpindahan atau transfer dana berjalan dalam hitungan detik.

Atas dasar hal tersebut maka ketentuan mengenai larangan pembocoran STR di ruang publik merupakan ketetentuan yang teramat strategis dan menentukan serta memerlukan integritas dan tanggung jawab besar setiap anggota aparat penegak hukum termasuk pejabat dan pegawai PPATK.

Atas alasan tersebut siapa pun yang membocorkan informasi STR di ruang public, kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, diancam sanksi pidana dan/atau pidana denda. Pengertian pejabat dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, yakni mulai dari jabatan presiden, menteri, gubernur sampai dengan kepala desa.

Masalah yang masih dihadapi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pencucian uang adalah masalah teknis dan masalah koordinasi antara Lembaga penegak hukum dan kementerian serta PPATK. Contoh terakhir yang kita saksikan bersama, antara lain laporan STR dari PPATK sejak 2009 hingga saat ini ke Kemenkeu tidak pernah diproses lebih lanjut atau dan tidak sampai pada proses penyelidikan , penyidikan dan penuntutan. Begitupula halnya laporan STR PPATK ke kementrian lainnya.

Mengapa hal tersebut terjadi? Dalam perkiraan penulis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penerima laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) tidak mampu melanjutkan laporan PPATK ke tahap klarifikasi sampai pada analisia dan kesimpulan serta rekomendasi akhir untuk dilanjutkan atau tidak dilanjutkan ke tahap langkah hukum pro justitia di satu sisi. Dan, di sisi lain peran inspektorat di tiap kementerian/lembaga tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.

Kajian atas UU TPPU menunjukkan bahwa, sebagai UU dalam bidang penegakan hukum, kedudukan PPATK tidak jelas apakah ia sebagai lembaga penegakan hukum atau lembaga negara sebagai pembantu penegakan hukum. Hal ini disebabkan sebagai lembaga terdepan dan strategis PPATK tidak memiliki kewenangan hukum pro justitia. Itu sebagaimana tampak dari ketentuan Pasal 40 mengenai fungsi dan wewenang PPATK; a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 41 (1) UU TPPU.

Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Beranjak dari ketentuan mengenai fungsi, tugas dan wewenang PPATK di atas jelas bahwa lembaga tersebut adalah pendukung lembaga aparat penegak hokum, bukan lembaga penyelidikan apalagi penyidikan. Dapat dikatakan bahwa lembaga PPATK memiliki tugas dan wewenang yang sangat terbatas; bahan informasi merupakan raw materials yang masih harus disisir kembali untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana asal. Dan, tugas tersebut memerlukan waktu yang tidak singkat.

Contoh kasus BG dan HP, KPK mengakui memperoleh laporan PPATK akan tetapi masih sebatas dana yang mencurigakan dan belum sama sekali ada temuan indikasi ada tidaknya predicate offence. Setelahnya yang terjadi kemudian penetapan BG dan HP sebagai tersangka oleh KPK, dibatalkan oleh Hakim Praperadilan PN Jakarta Selatan

Dalam kasus tersebut mencerminkan bahwa koordinasi dan batas kewenangan antarA PPATK dan aparat penegak hukum patut diperhatikan kedua lembaga tersebut dan tidak bersifat ego-sektoral satu sama lain.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1590 seconds (0.1#10.140)