Antara Pencucian Uang dan Perampasan Aset

Rabu, 03 Juli 2024 - 15:42 WIB
loading...
Antara Pencucian Uang...
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

DUA tindak pidana yang telah diterapkan berdasarkan undang-undang merupakan rangkaian dari strategi besar pencegahan dan pemberantasan kejahatan, khususnya kejahatan serius (serious crimes) yang berdampak luar biasa dan ancaman terhadap keamanan dan ketahanan suatu bangsa.

Kedua jenis tindak pidana tersebut merupakan residu dan the last resort of tools yang diharapkan dapat memulihkan kehidupan masyarakat menjadi lebih tertib, aman, dan tenteram serta bebas dari kekhawatiran dampak dari kejahatan-kejahatan yang bersifat serius. Kedua jenis kejahatan serius ini semakin merajalela di tengah dan di dalam era teknologi siber yang semakin global dan lintas batas negara.

Contoh data pencucian uang di Indonesia periode awal 2023 s/d 2024 menunjukkan angka perputaran uang sebanyak Rp349 triliun, akan tetapi terbanyak di Kementerian dan Lembaga Negara, bukan pada orang perorangan atau kelompok selain ASN atau korporasi. Fakta sedemikian sangat memprihatinkan karena sejauh Kementerian dan Lembaga negara menjadi front terdepan mencegah dan memberantas kedua jenis kejahatan serius tersebut justru terlibat di dalamnya.



Pemerintah telah berupaya mencegah dan menanganinya dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas), akan tetapi tampaknya hanya bersifat proaktif dan spontanitas, bukan jangka panjang. Tidak beda halnya dengan pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Satgas Pemberantasan Judi Online.

UU Tindak Pidana Pencucian Uang ( TPPU ) merupakan rangkaian lanjutan proses UU Tipikor dan RUU Perampasan Aset merupakan sarana terakhir (the last report) dari strategi besar (grand design) pemberantasan korupsi. Namun demikian, desain besar strategi tersebut terhambat oleh ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan makna hubungan logis dan relasionis antara ketiga UU aquo, sehingga strategi tersebut hancur berantakan dan pada gilirannya tidak tercapai tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Aset hasil korupsi pun sulit dilacak dan keburu dilarikan, aset ditempatkan di negara lain (safe heaven country).

Memasuki pembahasan mengenai kedua jenis kejahatan dan kedua undang-undangnya, perlu diketahui substansi pengaturannya terutama mengenai pembuktiannya. Dalam hal pembuktian, keluarbiasaan kedua UU TPPU dan RUU Perampasan Aset (RUU PA) menganut metode pembuktian terbalik (reversal of burden of proof). Masalah hukum kedua terpenting adalah keduanya menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana sebagai subjek dan ada sasaran utama pembuktian (in rem forfeiture) bukan pemilik harta kekayaan diduga dari tindak pidana orang pemilik harta kekayaan (in personal forfeiture).

Dalam hal ini harus dimaknai bahwa masalah hukuman badan, bukan uang, diutamakan bahkan hakim dapat mengesampingkannya tetapi perampasan aset pemiliknya. Implikasi metode pembuktian terbalik antara lain di samping jera bagi siapa saja yang melakukan korupsi dan tujuan keuntungan finasial yang ilegal, juga rentan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM jika tidak ada pengawasan antara lain melalui lembaga praperadilan aset komisi pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Selain hal tersebut, masalah penting lainnya adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap harta kekayaan rampasan? Dalam hal ini perlu diatur dengan memadai kepada lembaga negara yang akan menampung dan mengelolanya? Dalam hal ini ada dua lembaga yaitu Kejaksaan sebagai eksekutor putusan-putusan pengadilan dan Kementerian Keuangan sebagai pengelola harta kekayaan negara sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1921 seconds (0.1#10.140)