Menjaga Kesucian MK setelah Sanksi Ringan Majelis Kehormatan  

Senin, 27 Maret 2023 - 10:59 WIB
loading...
A A A
Miris sebenarnya ketika menelisik kembali hasil temuan MKMK yang memutuskan M Guntur Hamzah hanya mendapat teguran tertulis atau sanksi ringan. Padahal Majelis Kehormatan MK juga mengungkapkan hal-hal yang memberatkan dari yang bersangkutan. Di antaranya perbuatan hakim terduga dilakukan dalam suasana ketika publik belum reda dalam memperdebatkan mengenai isu keabsahan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan pengangkatan hakim terduga sebagai penggantinya.

Sementara itu, bagian dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang frasanya diubah adalah bagian pertimbangan hukum dengan perdebatan tersebut. Sehingga perbuatan M Guntur Hamzah sebagai hakim terduga mengubah frasa tersebut ditengarai sebagai upaya menyelamatkan diri sendiri dari praduga ketidakabsahan pengangkatannya sebagai hakim konstitusi.

Hal yang memberatkan lainnya yakni sebagai hakim baru, hakim terduga seharusnya menanyakan terlebih dahulu perihal prosedur yang harus ditempuh manakala hendak mengusulkan perubahan terhadap naskah putusan yang sedang dibacakan. Penulis menilai bahwa M Guntur Hamzah seakan telah melampaui kewenangan hakim konstitusi lainnya.

Seharusnya, dengan hal-hal yang memberatkan tersebut Putusan MKMK Nomor 1/MKMK/T/02/2023 memberikan hukuman berat berupa pemecatan atau pemecatan secara tidak hormat, karena perbuatannya selain telah mencoreng nama baik MK juga tidak seharusnya dan tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang hakim konstitusi.

Perlu Dikaji Ulang
Keberadaan MKMK menuai banyak krtitik dan keraguan, selain karena putusan terhadap M Guntur Hamzah yang dirasa janggal. Publik masih belum percaya sepenuhnya, bahwa MKMK akan bekerja maksimal untuk mengawasi dan memberikan sanksi berat bagi hakim konstitusi yang nantinya terlibat melakukan pelanggaran kode etik hakim.

Kejadian di atas tentu akan memantik perlunya mengkaji ulang sistem pengawasan di tubuh MK, selain sebagaichecks and balanceakibat dari konsekuensi ajaranseparation of powerataudistribution of poweryang dianut dalam sistem ketatanegaraan. Di samping itu, juga untuk menghindari otonomi yang tinggi dan tidak terbatas terhadap kedudukan hakim.

Hakim konstitusi tidak bisa dibiarkan bebas menjalankan kekuasaan yudisialnya tanpa kontrol atau penyeimbang dari luar sehingga dapat melahirkan absolutisme dan tirani yudisial. Pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh hakim konstitusi.

Menurut ahli hukum Jimly Asshidiqie, hubungan antarlembaga negara dalam doktrinseparation of powerdiikat dengan prinsipchecks and balances, di mana lembaga-lembaga tersebut memiliki kedudukan sederajat atau sejajar, tetapi saling mengendalikan atau mengawasi antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain.

Namun, kenyataan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/IV-2006 yang telah mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi perilaku hakim konstitusi, Pengawasan yang dilakukan oleh KY dinilai bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan MK sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat independensi dan imparsialitas.

Paulus E Lotulung, 2003, mengatakan bahwa perlunya indepedensi tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari indepedensi selalu harus ada akuntablitas dan tanggung jawab untuk mencegah ketidakadilan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1868 seconds (0.1#10.140)