Urgensi Pendidikan Followership bagi Polri: Pelajaran Kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan
loading...
A
A
A
Dalam buku ‘Intelligent Disobedience: Doing Right When What You're Told to Do Is Wrong’, pada bab pendahuluan yang menerangkan creating cultures that do the right thing, Chaleff (2015) menjabarkan bahwa ID adalah tentang menemukan keseimbangan yang sehat untuk hidup dalam sistem yang memiliki berbagai aturan dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan (rules and authorities) sembari memelihara tanggungjawab terhadap diri kita atas tindakan/keputusan yang kita ambil.
Konsep ini cocok untuk diterapkan dalam organisasi yang memiliki budaya hirarki dan otoritas yang kuat seperti kepolisian dan militer. Inilah mengapa lembaga kepemimpinan seperti The Centre of excellence for British Army Leader Development sangat merekomendasikan para petinggi militer disana untuk membaca dan menerapkan konsep dalam buku ini.
Dengan menerapkan ID sesuai pemikiran Chaleff diatas, sumber daya Manusia POLRI sedikitnya akan memperoleh pemahaman yang komprehensip untuk menanamkan budaya ‘mengevaluasi instruksi sebelum melaksanakan’ dengan menggunakan 6 garis besar panduan sebagai berikut:
1. Kita harus mengikuti perintah, namun hanya jika perintah itu masuk akal, konstruktif, dan berdasarkan otoritas yang sah.
2. Kita berhak untuk tidak mematuhi perintah yang akan membawa bencana dan malapetaka.
3. ID adalah tentang bagaimana mengevaluasi sumber, tujuan, dan konsekuensi dari suatu perintah sebelum mematuhinya.
4. Pemimpin harus menghargai ID dan mendorong individu lain disekelilingnya untuk berani mengekspresikan diri atau ketidaksetujuannya.
5: Pelajari situasi dan kondisi sekitar kita agar dapat menilai dengan lebih baik bagaimana mengungkapkan kekhawatiran atau ketidaksetujuan kita.
6. ID harus dipelajari dan diajarkan sejak dini.
Adapun Courageous Followers (CF) diperlukan untuk mendukung percepatan dalam praktek-praktek ID dilapangan. CF sendiri merupakan bagian dari ilmu followership yang juga dikembangkan oleh Chaleff (2009) dalam buku The Courageous Follower: Standing Up To and For Our Leader. Di Indonesia ilmu followership memang belum popular dan kurang mendapat perhatian. Baik perhatian masyarakat umum maupun institusi/lembaga pendidikan nasional.
Ini hal wajar, sebab di kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak mengenal terminologi followership. Followership barangkali lebih cocok dibahasakan sebagai Kepengikutan. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik dan ketergantungan antara leader-followers beserta pengaruhnya satu sama lain maupun terhadap sekitar. Namun kata ‘Kepengikutan’ tidaklah eksis di KBBI. Artinya terminologi kepengikutan belum didefinisikan dan tidak dikenali oleh KBBI.
CF menawarkan model baru bagi peran follower yang memberikan dukungan dinamis bagi para leader namun juga tidak ragu untuk secara konstruktif mengungkap kebenaran kepada pemilik kekuatan/kekuasaan. Bersamaan dengan itu konsep CF juga menawarkan model Courageous Leadership yang menciptakan kondisi lebih mudah bagi para follower untuk mengatakan kebenaran seperti yang mereka lihat dan bagi para leader untuk memberi pertimbangan yang tepat atas apa yang dikatakan kepada mereka.
CF menawarkan jalur pengembangan menuju partnership sejati antara leaders dan followers dalam melayani misi organisasi dengan panduan nilai-nilai keberanian berupa: Courage to Assume Responsibility, Courage to Serve, Courage to Challenge, Courage to Participate in Transformation, Courage to Take Moral Action, and Courage to Speak to the Hierarchy.
Menerapkan followership dalam institusi sebesar Polri akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan. Berdasarkan studi, penerapan positive followership memiliki dampak pada organisasi (atas penilaian output apapun) sebesar 17-43% (Hurwitz & Hurwitz, 2015).
Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan pertimbangan diatas sudah saatnya bagi Polri untuk memutus mata rantai kekerasan dan kerugian image institusi yang ditimbulkan akibat kegagalan insan Bhayangkara dalam mengevaluasi dan menjalankan instruksi yang diterimanya. Konsep Intelligent Disobedience dan Courageous Followership diharapkan dapat menjadi additional tools penuntun moral dan pedoman nurani setiap anggota POLRI sebagaimana yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.
Konsep ini cocok untuk diterapkan dalam organisasi yang memiliki budaya hirarki dan otoritas yang kuat seperti kepolisian dan militer. Inilah mengapa lembaga kepemimpinan seperti The Centre of excellence for British Army Leader Development sangat merekomendasikan para petinggi militer disana untuk membaca dan menerapkan konsep dalam buku ini.
Dengan menerapkan ID sesuai pemikiran Chaleff diatas, sumber daya Manusia POLRI sedikitnya akan memperoleh pemahaman yang komprehensip untuk menanamkan budaya ‘mengevaluasi instruksi sebelum melaksanakan’ dengan menggunakan 6 garis besar panduan sebagai berikut:
1. Kita harus mengikuti perintah, namun hanya jika perintah itu masuk akal, konstruktif, dan berdasarkan otoritas yang sah.
2. Kita berhak untuk tidak mematuhi perintah yang akan membawa bencana dan malapetaka.
3. ID adalah tentang bagaimana mengevaluasi sumber, tujuan, dan konsekuensi dari suatu perintah sebelum mematuhinya.
4. Pemimpin harus menghargai ID dan mendorong individu lain disekelilingnya untuk berani mengekspresikan diri atau ketidaksetujuannya.
5: Pelajari situasi dan kondisi sekitar kita agar dapat menilai dengan lebih baik bagaimana mengungkapkan kekhawatiran atau ketidaksetujuan kita.
6. ID harus dipelajari dan diajarkan sejak dini.
Adapun Courageous Followers (CF) diperlukan untuk mendukung percepatan dalam praktek-praktek ID dilapangan. CF sendiri merupakan bagian dari ilmu followership yang juga dikembangkan oleh Chaleff (2009) dalam buku The Courageous Follower: Standing Up To and For Our Leader. Di Indonesia ilmu followership memang belum popular dan kurang mendapat perhatian. Baik perhatian masyarakat umum maupun institusi/lembaga pendidikan nasional.
Ini hal wajar, sebab di kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak mengenal terminologi followership. Followership barangkali lebih cocok dibahasakan sebagai Kepengikutan. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik dan ketergantungan antara leader-followers beserta pengaruhnya satu sama lain maupun terhadap sekitar. Namun kata ‘Kepengikutan’ tidaklah eksis di KBBI. Artinya terminologi kepengikutan belum didefinisikan dan tidak dikenali oleh KBBI.
CF menawarkan model baru bagi peran follower yang memberikan dukungan dinamis bagi para leader namun juga tidak ragu untuk secara konstruktif mengungkap kebenaran kepada pemilik kekuatan/kekuasaan. Bersamaan dengan itu konsep CF juga menawarkan model Courageous Leadership yang menciptakan kondisi lebih mudah bagi para follower untuk mengatakan kebenaran seperti yang mereka lihat dan bagi para leader untuk memberi pertimbangan yang tepat atas apa yang dikatakan kepada mereka.
CF menawarkan jalur pengembangan menuju partnership sejati antara leaders dan followers dalam melayani misi organisasi dengan panduan nilai-nilai keberanian berupa: Courage to Assume Responsibility, Courage to Serve, Courage to Challenge, Courage to Participate in Transformation, Courage to Take Moral Action, and Courage to Speak to the Hierarchy.
Menerapkan followership dalam institusi sebesar Polri akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan. Berdasarkan studi, penerapan positive followership memiliki dampak pada organisasi (atas penilaian output apapun) sebesar 17-43% (Hurwitz & Hurwitz, 2015).
Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan pertimbangan diatas sudah saatnya bagi Polri untuk memutus mata rantai kekerasan dan kerugian image institusi yang ditimbulkan akibat kegagalan insan Bhayangkara dalam mengevaluasi dan menjalankan instruksi yang diterimanya. Konsep Intelligent Disobedience dan Courageous Followership diharapkan dapat menjadi additional tools penuntun moral dan pedoman nurani setiap anggota POLRI sebagaimana yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.