Urgensi Pendidikan Followership bagi Polri: Pelajaran Kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan

Senin, 27 Maret 2023 - 03:28 WIB
loading...
A A A
Pada Kasus Sambo, jatuhnya korban sebenarnya tidak akan terjadi, apabila perintah membunuh yang diinstruksikan Sambo ditolak oleh para bawahannya. Namun karena pengaruh kuat kekuasaan dan kondisi yang sangat tertekan -karir dan keselamatan akan terancam- bila menolak perintah, maka dengan sadar instruksi itu dipenuhinya.

Meminjam cara pandangnya Edmonds (2021) dalam bukunya InTOXICating Followership, Bharada E terposisikan sebagai mereka yang rentan terkena pengaruh atas pimpinan jahat dan tak mengindahkan moral (Susceptible to unscrupulous leaders).



Serupa dengan di atas, tragedi Kanjuruhan juga semestinya dapat dihindari apabila para petugas pengamanan lapangan berani untuk:

Pertama, berani melakukan aksi moral dengan menyampaikan kepada pimpinan bahwa penggunaan gas air mata di stadion adalah terlarang. Ini merujuk peraturan FIFA pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (Pitchside stewards), yang berbunyi, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used” (Senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan).

Kedua, berani menolak perintah atasan untuk menembakkan gas air mata kearah penonton. Apalagi kearah tribun yang tidak terdapat gejolak massa ataupun tindakan anarkistis.

Iklim kerja untuk mengkritisi pimpinan atau sekedar mempertanyakan keputusan/kebijakan atasan agaknya belum terbangun dengan baik di SDM kepolisian. Skill dan kemampuan dalam bersuara menolak perintah hirarki yang melenceng dari nilai integritas dan moral etika juga nampaknya masih terabaikan. Keberanian untuk melakukan aksi moral dan keberanian untuk speak to the hierarchy ini sebenarnya memiliki model pengajaran khusus yang dapat diukur dan dapat diajarkan, sebagaimana ditulis Chaleff (2009) dalam buku ‘The Courageous Follower’ (edisi ketiga).

Intelligent Disobedient dan Courageous Follower

Pasal 7 ayat 3 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menyatakan dengan jelas bahwa, setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib: c. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Namun pada kenyataannya dilapangan implementasi pasal ini jauh panggang dari api. Terbukti pada kasus Sambo dan Kanjuruhan para bawahan terdoktrin untuk selalu mematuhi perintah atasan. Tak peduli melanggar norma atau tidak.

Efektivitas penerapan pasal di atas mestinya dapat diukur menggunakan tools tertentu dan dievaluasi berkala. Kita tentu berharap POLRI sudah melakukannya. Meskipun hasilnya tak selalu harus diumumkan ke publik. Berkaca dari kasus Sambo dan Kanjuruhan, diperlukan kurikulum tambahan sebagai pelengkap dalam pengembangan SDM POLRI. Kurikulum tersebut berupa, (1) Intelligent Disobedient, dan (2) Courageous Follower.

Konsep Intelligent Disobedient (ID) sebenarnya terinspirasi teori yang digunakan dalam pelatihan anjing pemandu (service dog). Anjing pemandu harus mengenali dan menolak perintah yang akan membahayakan manusia yang dipandu -dan juga dirinya sendiri. Ia terlatih mengidentifikasi opsi yang lebih aman untuk memandu mencapai tujuan. Manusia telah diprogram secara sosial untuk menghormati otoritas dan mengikuti perintah. Namun, tidak semua perintah mesti dipatuhi.

ID diperlukan agar bawahan bisa menilai dan mengambil keputusan tentang kapan dan bagaimana harus melanggar perintah yang tidak pantas, mengurangi risiko buruk yang akan terjadi, dan menemukan cara yang lebih baik dalam mencapai goals yang sah. Ini akan membantu para pemimpin tetap konsisten di jalan yang benar sesuai tujuan dan nilai moral yang dijunjung bersama.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1893 seconds (0.1#10.140)