Urgensi Pendidikan Followership bagi Polri: Pelajaran Kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan
loading...
A
A
A
Muhsin Budiono Nurhadi
Trainer Followership Indonesia
(Artikel ini dipersiapkan dalam 2nd Global Followership Conference, 24-26 Maret 2023 di Virginia-USA)
KEDUANYA menyedot perhatian masyarakat Indonesia dan publik mancanegara. Amerika Serikat bahkan memasukkan dua peristiwa itu dalam detail laporan Hak Asasi Manusia (HAM) tahunan. Dua kejadian pilu itu sama-sama mendudukkan aparat penegak hukum di kursi pesakitan. Sama-sama mencoreng serta menghancurkan citra kepolisian. Itulah kasus Ferdy Sambo dan tragedi Kanjuruhan.
Pengadilan telah mengeluarkan vonis hukuman bagi para pelaku. Terlepas dari kontroversi publik dalam menilai tepat tidaknya keputusan majelis hakim, artikel ini mencoba menelaah dinamika hubungan leaders-followers yang terjadi pada kedua peristiwa tersebut dari sudut pandang ilmu followership. Termasuk perumusan bagaimana menekan peluang kasus serupa tak kembali terulang.
Ferdy Sambo merupakan inspektur jenderal polisi berprestasi yang menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Ia menjadi dalang pembunuhan berencana atas ajudannya sendiri bernama Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo di Jakarta.
Sambo sempat membuat skenario palsu ihwal penyebab kematian Brigadir J yang diumumkan kepada publik oleh sejumlah pejabat kepolisian. Narasi palsu itu menyebutkan bahwa Brigadir J tewas akibat baku tembak dengan Bharada E (pengawal Sambo) gara-gara Brigadir J melakukan pelecehan seksual kepada istri Sambo.
Namun, kejanggalan tercium oleh keluarga Brigadir J yang menemukan luka lain selain luka tembak di tubuh jenazah. Polri kemudian membentuk tim khusus guna mengusut kematian Brigadir J. Skenario palsu Sambo pun terungkap. Brigadir J tak tewas akibat baku tembak. Sambo lah yang memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J. Ia juga menghilangkan sejumlah barang bukti dan merekayasa tempat kejadian perkara (TKP) untuk menutupi jejak. Pada akhirnya Bharada E memilih berperan menjadi justice collaborator dan persidangan menghasilkan hukuman mati bagi Sambo.
Adapun tragedi Kanjuruhan merupakan insiden sepak bola yang terjadi pada 1 Oktober 2022, setelah laga antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya. Sesuai kapasitas Stadion Kanjuruhan, Malang, sebanyak 42.000 tiket penonton dicetak oleh panitia. Selama pertandingan, situasi berjalan lancar dan kondusif. Namun setelah pertandingan berakhir, Persebaya mengalahkan Arema 3-2, beberapa suporter masuk ke lapangan hendak berfoto bersama pemain. Menurut saksi, mereka dikejar oleh polisi yang memukuli dan menarik baju mereka. Hal ini memicu suporter lainnya untuk masuk ke area lapangan.
Tak ingin kondisi ricuh dan keselamatan pemain terancam, polisi yang bertugas melakukan tindakan pengamanan dengan menghalau suporter yang turun kelapangan hijau. Setelah kondisi dinilai semakin tak terkendali unit polisi anti huru hara mulai menembakkan gas air mata. Beberapa tembakan mengarah ke tribun selatan yang mana tidak terdapat gesekan suporter. Ini memicu berlariannya para penonton di tribun untuk menghindari asap gas air mata dan menimbulkan kepanikan. Penumpukan dan penghimpitan kerumunan pun terjadi di pintu keluar, menyebabkan sejumlah supporter mengalami luka-luka dan asfiksia.
Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia, 93 orang luka berat, dan 484 orang luka ringan/sedang. Tragedi Kanjuruhan ini merupakan bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola dunia -setelah tragedi Estadio Nacional 1964 di Peru yang menewaskan 328 orang-. Dengan begitu, bencana Kanjuruhan adalah yang paling mematikan di Asia, Indonesia, dan belahan bumi bagian timur.
Pada Kasus Sambo, jatuhnya korban sebenarnya tidak akan terjadi, apabila perintah membunuh yang diinstruksikan Sambo ditolak oleh para bawahannya. Namun karena pengaruh kuat kekuasaan dan kondisi yang sangat tertekan -karir dan keselamatan akan terancam- bila menolak perintah, maka dengan sadar instruksi itu dipenuhinya.
Meminjam cara pandangnya Edmonds (2021) dalam bukunya InTOXICating Followership, Bharada E terposisikan sebagai mereka yang rentan terkena pengaruh atas pimpinan jahat dan tak mengindahkan moral (Susceptible to unscrupulous leaders).
Serupa dengan di atas, tragedi Kanjuruhan juga semestinya dapat dihindari apabila para petugas pengamanan lapangan berani untuk:
Pertama, berani melakukan aksi moral dengan menyampaikan kepada pimpinan bahwa penggunaan gas air mata di stadion adalah terlarang. Ini merujuk peraturan FIFA pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (Pitchside stewards), yang berbunyi, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used” (Senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan).
Kedua, berani menolak perintah atasan untuk menembakkan gas air mata kearah penonton. Apalagi kearah tribun yang tidak terdapat gejolak massa ataupun tindakan anarkistis.
Iklim kerja untuk mengkritisi pimpinan atau sekedar mempertanyakan keputusan/kebijakan atasan agaknya belum terbangun dengan baik di SDM kepolisian. Skill dan kemampuan dalam bersuara menolak perintah hirarki yang melenceng dari nilai integritas dan moral etika juga nampaknya masih terabaikan. Keberanian untuk melakukan aksi moral dan keberanian untuk speak to the hierarchy ini sebenarnya memiliki model pengajaran khusus yang dapat diukur dan dapat diajarkan, sebagaimana ditulis Chaleff (2009) dalam buku ‘The Courageous Follower’ (edisi ketiga).
Efektivitas penerapan pasal di atas mestinya dapat diukur menggunakan tools tertentu dan dievaluasi berkala. Kita tentu berharap POLRI sudah melakukannya. Meskipun hasilnya tak selalu harus diumumkan ke publik. Berkaca dari kasus Sambo dan Kanjuruhan, diperlukan kurikulum tambahan sebagai pelengkap dalam pengembangan SDM POLRI. Kurikulum tersebut berupa, (1) Intelligent Disobedient, dan (2) Courageous Follower.
Konsep Intelligent Disobedient (ID) sebenarnya terinspirasi teori yang digunakan dalam pelatihan anjing pemandu (service dog). Anjing pemandu harus mengenali dan menolak perintah yang akan membahayakan manusia yang dipandu -dan juga dirinya sendiri. Ia terlatih mengidentifikasi opsi yang lebih aman untuk memandu mencapai tujuan. Manusia telah diprogram secara sosial untuk menghormati otoritas dan mengikuti perintah. Namun, tidak semua perintah mesti dipatuhi.
ID diperlukan agar bawahan bisa menilai dan mengambil keputusan tentang kapan dan bagaimana harus melanggar perintah yang tidak pantas, mengurangi risiko buruk yang akan terjadi, dan menemukan cara yang lebih baik dalam mencapai goals yang sah. Ini akan membantu para pemimpin tetap konsisten di jalan yang benar sesuai tujuan dan nilai moral yang dijunjung bersama.
Dalam buku ‘Intelligent Disobedience: Doing Right When What You're Told to Do Is Wrong’, pada bab pendahuluan yang menerangkan creating cultures that do the right thing, Chaleff (2015) menjabarkan bahwa ID adalah tentang menemukan keseimbangan yang sehat untuk hidup dalam sistem yang memiliki berbagai aturan dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan (rules and authorities) sembari memelihara tanggungjawab terhadap diri kita atas tindakan/keputusan yang kita ambil.
Konsep ini cocok untuk diterapkan dalam organisasi yang memiliki budaya hirarki dan otoritas yang kuat seperti kepolisian dan militer. Inilah mengapa lembaga kepemimpinan seperti The Centre of excellence for British Army Leader Development sangat merekomendasikan para petinggi militer disana untuk membaca dan menerapkan konsep dalam buku ini.
Dengan menerapkan ID sesuai pemikiran Chaleff diatas, sumber daya Manusia POLRI sedikitnya akan memperoleh pemahaman yang komprehensip untuk menanamkan budaya ‘mengevaluasi instruksi sebelum melaksanakan’ dengan menggunakan 6 garis besar panduan sebagai berikut:
1. Kita harus mengikuti perintah, namun hanya jika perintah itu masuk akal, konstruktif, dan berdasarkan otoritas yang sah.
2. Kita berhak untuk tidak mematuhi perintah yang akan membawa bencana dan malapetaka.
3. ID adalah tentang bagaimana mengevaluasi sumber, tujuan, dan konsekuensi dari suatu perintah sebelum mematuhinya.
4. Pemimpin harus menghargai ID dan mendorong individu lain disekelilingnya untuk berani mengekspresikan diri atau ketidaksetujuannya.
5: Pelajari situasi dan kondisi sekitar kita agar dapat menilai dengan lebih baik bagaimana mengungkapkan kekhawatiran atau ketidaksetujuan kita.
6. ID harus dipelajari dan diajarkan sejak dini.
Adapun Courageous Followers (CF) diperlukan untuk mendukung percepatan dalam praktek-praktek ID dilapangan. CF sendiri merupakan bagian dari ilmu followership yang juga dikembangkan oleh Chaleff (2009) dalam buku The Courageous Follower: Standing Up To and For Our Leader. Di Indonesia ilmu followership memang belum popular dan kurang mendapat perhatian. Baik perhatian masyarakat umum maupun institusi/lembaga pendidikan nasional.
Ini hal wajar, sebab di kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak mengenal terminologi followership. Followership barangkali lebih cocok dibahasakan sebagai Kepengikutan. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik dan ketergantungan antara leader-followers beserta pengaruhnya satu sama lain maupun terhadap sekitar. Namun kata ‘Kepengikutan’ tidaklah eksis di KBBI. Artinya terminologi kepengikutan belum didefinisikan dan tidak dikenali oleh KBBI.
CF menawarkan model baru bagi peran follower yang memberikan dukungan dinamis bagi para leader namun juga tidak ragu untuk secara konstruktif mengungkap kebenaran kepada pemilik kekuatan/kekuasaan. Bersamaan dengan itu konsep CF juga menawarkan model Courageous Leadership yang menciptakan kondisi lebih mudah bagi para follower untuk mengatakan kebenaran seperti yang mereka lihat dan bagi para leader untuk memberi pertimbangan yang tepat atas apa yang dikatakan kepada mereka.
CF menawarkan jalur pengembangan menuju partnership sejati antara leaders dan followers dalam melayani misi organisasi dengan panduan nilai-nilai keberanian berupa: Courage to Assume Responsibility, Courage to Serve, Courage to Challenge, Courage to Participate in Transformation, Courage to Take Moral Action, and Courage to Speak to the Hierarchy.
Menerapkan followership dalam institusi sebesar Polri akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan. Berdasarkan studi, penerapan positive followership memiliki dampak pada organisasi (atas penilaian output apapun) sebesar 17-43% (Hurwitz & Hurwitz, 2015).
Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan pertimbangan diatas sudah saatnya bagi Polri untuk memutus mata rantai kekerasan dan kerugian image institusi yang ditimbulkan akibat kegagalan insan Bhayangkara dalam mengevaluasi dan menjalankan instruksi yang diterimanya. Konsep Intelligent Disobedience dan Courageous Followership diharapkan dapat menjadi additional tools penuntun moral dan pedoman nurani setiap anggota POLRI sebagaimana yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.
Trainer Followership Indonesia
(Artikel ini dipersiapkan dalam 2nd Global Followership Conference, 24-26 Maret 2023 di Virginia-USA)
KEDUANYA menyedot perhatian masyarakat Indonesia dan publik mancanegara. Amerika Serikat bahkan memasukkan dua peristiwa itu dalam detail laporan Hak Asasi Manusia (HAM) tahunan. Dua kejadian pilu itu sama-sama mendudukkan aparat penegak hukum di kursi pesakitan. Sama-sama mencoreng serta menghancurkan citra kepolisian. Itulah kasus Ferdy Sambo dan tragedi Kanjuruhan.
Pengadilan telah mengeluarkan vonis hukuman bagi para pelaku. Terlepas dari kontroversi publik dalam menilai tepat tidaknya keputusan majelis hakim, artikel ini mencoba menelaah dinamika hubungan leaders-followers yang terjadi pada kedua peristiwa tersebut dari sudut pandang ilmu followership. Termasuk perumusan bagaimana menekan peluang kasus serupa tak kembali terulang.
Ferdy Sambo merupakan inspektur jenderal polisi berprestasi yang menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Ia menjadi dalang pembunuhan berencana atas ajudannya sendiri bernama Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo di Jakarta.
Sambo sempat membuat skenario palsu ihwal penyebab kematian Brigadir J yang diumumkan kepada publik oleh sejumlah pejabat kepolisian. Narasi palsu itu menyebutkan bahwa Brigadir J tewas akibat baku tembak dengan Bharada E (pengawal Sambo) gara-gara Brigadir J melakukan pelecehan seksual kepada istri Sambo.
Baca Juga
Namun, kejanggalan tercium oleh keluarga Brigadir J yang menemukan luka lain selain luka tembak di tubuh jenazah. Polri kemudian membentuk tim khusus guna mengusut kematian Brigadir J. Skenario palsu Sambo pun terungkap. Brigadir J tak tewas akibat baku tembak. Sambo lah yang memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J. Ia juga menghilangkan sejumlah barang bukti dan merekayasa tempat kejadian perkara (TKP) untuk menutupi jejak. Pada akhirnya Bharada E memilih berperan menjadi justice collaborator dan persidangan menghasilkan hukuman mati bagi Sambo.
Adapun tragedi Kanjuruhan merupakan insiden sepak bola yang terjadi pada 1 Oktober 2022, setelah laga antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya. Sesuai kapasitas Stadion Kanjuruhan, Malang, sebanyak 42.000 tiket penonton dicetak oleh panitia. Selama pertandingan, situasi berjalan lancar dan kondusif. Namun setelah pertandingan berakhir, Persebaya mengalahkan Arema 3-2, beberapa suporter masuk ke lapangan hendak berfoto bersama pemain. Menurut saksi, mereka dikejar oleh polisi yang memukuli dan menarik baju mereka. Hal ini memicu suporter lainnya untuk masuk ke area lapangan.
Tak ingin kondisi ricuh dan keselamatan pemain terancam, polisi yang bertugas melakukan tindakan pengamanan dengan menghalau suporter yang turun kelapangan hijau. Setelah kondisi dinilai semakin tak terkendali unit polisi anti huru hara mulai menembakkan gas air mata. Beberapa tembakan mengarah ke tribun selatan yang mana tidak terdapat gesekan suporter. Ini memicu berlariannya para penonton di tribun untuk menghindari asap gas air mata dan menimbulkan kepanikan. Penumpukan dan penghimpitan kerumunan pun terjadi di pintu keluar, menyebabkan sejumlah supporter mengalami luka-luka dan asfiksia.
Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia, 93 orang luka berat, dan 484 orang luka ringan/sedang. Tragedi Kanjuruhan ini merupakan bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola dunia -setelah tragedi Estadio Nacional 1964 di Peru yang menewaskan 328 orang-. Dengan begitu, bencana Kanjuruhan adalah yang paling mematikan di Asia, Indonesia, dan belahan bumi bagian timur.
Pelajaran Followership
Dari kasus Sambo maupun tragedi Kanjuruhan kita melihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh bawahan (follower) akan berdampak besar pada atasan (leader). Peran bawahan demikian besar pengaruhnya kepada atasan. Kelley (1992) menyatakan bahwa tanpa bawahan/follower akan sedikit hal yang bisa diselesaikan dan bawahan memiliki kontribusi 80-90% dalam kesuksesan organisasi.Pada Kasus Sambo, jatuhnya korban sebenarnya tidak akan terjadi, apabila perintah membunuh yang diinstruksikan Sambo ditolak oleh para bawahannya. Namun karena pengaruh kuat kekuasaan dan kondisi yang sangat tertekan -karir dan keselamatan akan terancam- bila menolak perintah, maka dengan sadar instruksi itu dipenuhinya.
Meminjam cara pandangnya Edmonds (2021) dalam bukunya InTOXICating Followership, Bharada E terposisikan sebagai mereka yang rentan terkena pengaruh atas pimpinan jahat dan tak mengindahkan moral (Susceptible to unscrupulous leaders).
Baca Juga
Serupa dengan di atas, tragedi Kanjuruhan juga semestinya dapat dihindari apabila para petugas pengamanan lapangan berani untuk:
Pertama, berani melakukan aksi moral dengan menyampaikan kepada pimpinan bahwa penggunaan gas air mata di stadion adalah terlarang. Ini merujuk peraturan FIFA pasal 19 b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (Pitchside stewards), yang berbunyi, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used” (Senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan).
Kedua, berani menolak perintah atasan untuk menembakkan gas air mata kearah penonton. Apalagi kearah tribun yang tidak terdapat gejolak massa ataupun tindakan anarkistis.
Iklim kerja untuk mengkritisi pimpinan atau sekedar mempertanyakan keputusan/kebijakan atasan agaknya belum terbangun dengan baik di SDM kepolisian. Skill dan kemampuan dalam bersuara menolak perintah hirarki yang melenceng dari nilai integritas dan moral etika juga nampaknya masih terabaikan. Keberanian untuk melakukan aksi moral dan keberanian untuk speak to the hierarchy ini sebenarnya memiliki model pengajaran khusus yang dapat diukur dan dapat diajarkan, sebagaimana ditulis Chaleff (2009) dalam buku ‘The Courageous Follower’ (edisi ketiga).
Intelligent Disobedient dan Courageous Follower
Pasal 7 ayat 3 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menyatakan dengan jelas bahwa, setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib: c. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Namun pada kenyataannya dilapangan implementasi pasal ini jauh panggang dari api. Terbukti pada kasus Sambo dan Kanjuruhan para bawahan terdoktrin untuk selalu mematuhi perintah atasan. Tak peduli melanggar norma atau tidak.Efektivitas penerapan pasal di atas mestinya dapat diukur menggunakan tools tertentu dan dievaluasi berkala. Kita tentu berharap POLRI sudah melakukannya. Meskipun hasilnya tak selalu harus diumumkan ke publik. Berkaca dari kasus Sambo dan Kanjuruhan, diperlukan kurikulum tambahan sebagai pelengkap dalam pengembangan SDM POLRI. Kurikulum tersebut berupa, (1) Intelligent Disobedient, dan (2) Courageous Follower.
Konsep Intelligent Disobedient (ID) sebenarnya terinspirasi teori yang digunakan dalam pelatihan anjing pemandu (service dog). Anjing pemandu harus mengenali dan menolak perintah yang akan membahayakan manusia yang dipandu -dan juga dirinya sendiri. Ia terlatih mengidentifikasi opsi yang lebih aman untuk memandu mencapai tujuan. Manusia telah diprogram secara sosial untuk menghormati otoritas dan mengikuti perintah. Namun, tidak semua perintah mesti dipatuhi.
ID diperlukan agar bawahan bisa menilai dan mengambil keputusan tentang kapan dan bagaimana harus melanggar perintah yang tidak pantas, mengurangi risiko buruk yang akan terjadi, dan menemukan cara yang lebih baik dalam mencapai goals yang sah. Ini akan membantu para pemimpin tetap konsisten di jalan yang benar sesuai tujuan dan nilai moral yang dijunjung bersama.
Dalam buku ‘Intelligent Disobedience: Doing Right When What You're Told to Do Is Wrong’, pada bab pendahuluan yang menerangkan creating cultures that do the right thing, Chaleff (2015) menjabarkan bahwa ID adalah tentang menemukan keseimbangan yang sehat untuk hidup dalam sistem yang memiliki berbagai aturan dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan (rules and authorities) sembari memelihara tanggungjawab terhadap diri kita atas tindakan/keputusan yang kita ambil.
Konsep ini cocok untuk diterapkan dalam organisasi yang memiliki budaya hirarki dan otoritas yang kuat seperti kepolisian dan militer. Inilah mengapa lembaga kepemimpinan seperti The Centre of excellence for British Army Leader Development sangat merekomendasikan para petinggi militer disana untuk membaca dan menerapkan konsep dalam buku ini.
Dengan menerapkan ID sesuai pemikiran Chaleff diatas, sumber daya Manusia POLRI sedikitnya akan memperoleh pemahaman yang komprehensip untuk menanamkan budaya ‘mengevaluasi instruksi sebelum melaksanakan’ dengan menggunakan 6 garis besar panduan sebagai berikut:
1. Kita harus mengikuti perintah, namun hanya jika perintah itu masuk akal, konstruktif, dan berdasarkan otoritas yang sah.
2. Kita berhak untuk tidak mematuhi perintah yang akan membawa bencana dan malapetaka.
3. ID adalah tentang bagaimana mengevaluasi sumber, tujuan, dan konsekuensi dari suatu perintah sebelum mematuhinya.
4. Pemimpin harus menghargai ID dan mendorong individu lain disekelilingnya untuk berani mengekspresikan diri atau ketidaksetujuannya.
5: Pelajari situasi dan kondisi sekitar kita agar dapat menilai dengan lebih baik bagaimana mengungkapkan kekhawatiran atau ketidaksetujuan kita.
6. ID harus dipelajari dan diajarkan sejak dini.
Adapun Courageous Followers (CF) diperlukan untuk mendukung percepatan dalam praktek-praktek ID dilapangan. CF sendiri merupakan bagian dari ilmu followership yang juga dikembangkan oleh Chaleff (2009) dalam buku The Courageous Follower: Standing Up To and For Our Leader. Di Indonesia ilmu followership memang belum popular dan kurang mendapat perhatian. Baik perhatian masyarakat umum maupun institusi/lembaga pendidikan nasional.
Ini hal wajar, sebab di kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak mengenal terminologi followership. Followership barangkali lebih cocok dibahasakan sebagai Kepengikutan. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik dan ketergantungan antara leader-followers beserta pengaruhnya satu sama lain maupun terhadap sekitar. Namun kata ‘Kepengikutan’ tidaklah eksis di KBBI. Artinya terminologi kepengikutan belum didefinisikan dan tidak dikenali oleh KBBI.
CF menawarkan model baru bagi peran follower yang memberikan dukungan dinamis bagi para leader namun juga tidak ragu untuk secara konstruktif mengungkap kebenaran kepada pemilik kekuatan/kekuasaan. Bersamaan dengan itu konsep CF juga menawarkan model Courageous Leadership yang menciptakan kondisi lebih mudah bagi para follower untuk mengatakan kebenaran seperti yang mereka lihat dan bagi para leader untuk memberi pertimbangan yang tepat atas apa yang dikatakan kepada mereka.
CF menawarkan jalur pengembangan menuju partnership sejati antara leaders dan followers dalam melayani misi organisasi dengan panduan nilai-nilai keberanian berupa: Courage to Assume Responsibility, Courage to Serve, Courage to Challenge, Courage to Participate in Transformation, Courage to Take Moral Action, and Courage to Speak to the Hierarchy.
Menerapkan followership dalam institusi sebesar Polri akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan. Berdasarkan studi, penerapan positive followership memiliki dampak pada organisasi (atas penilaian output apapun) sebesar 17-43% (Hurwitz & Hurwitz, 2015).
Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan pertimbangan diatas sudah saatnya bagi Polri untuk memutus mata rantai kekerasan dan kerugian image institusi yang ditimbulkan akibat kegagalan insan Bhayangkara dalam mengevaluasi dan menjalankan instruksi yang diterimanya. Konsep Intelligent Disobedience dan Courageous Followership diharapkan dapat menjadi additional tools penuntun moral dan pedoman nurani setiap anggota POLRI sebagaimana yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya.
(muh)