Gejolak Konsumsi dan Inflasi Ramadhan

Jum'at, 17 Maret 2023 - 07:41 WIB
loading...
A A A
Realitas kemiskinan yang terjadi akibat rendahnya daya beli menjadi problem mendasar di hampir semua negara berkembang. Karena itu, menekan inflasi adalah satu di antara cara mereduksi kemiskinan. Ironisnya, operasi pasar yang selama ini dilakukan tetap tidak bisa mengendalikan harga sembako dan laju inflasi musiman selama Ramadhan-Lebaran masih menjadi PR bagi pemerintah. Setidaknya, ini telah menjadi persoalan tahunan.

Data kemiskinan per September 2022 adalah 9,57% (ada 26,36 juta orang di bawah garis kemiskinan) atau naik dari Maret 2022 (9,54%), tapi lebih rendah dari September 2021 (9,71%). Ambang batas garis kemiskinan per September 2022 naik 5,95% menjadi Rp535.547 dari sebelumnya Rp505.468 pada Maret 2022.

Tingkat kemiskinan di perkotaan naik menjadi 7,53% (Maret 2022 yaitu 7,5%) dan di perdesaan juga naik menjadi 12,36% (Maret 2022 yaitu 12,29%). Ketimpangan pengeluaran penduduk atau rasio Gini pada September 2022 yaitu 0,381 (turun 0,003 poin dari Maret 2022 yaitu 0,384). Inflasi bahan pangan (volatile food) turun signifikan dari September 2022 (9,0%, yoy) hingga Desember 2022 (5,6%, yoy).

Mencermati perkembangan inflasi selama Ramadhan secara tidak langsung terkait aspek distribusi sehingga orientasinya adalah mencapai titik keseimbangan demand-supply di semua level konsumsi masyarakat. Artinya pemerintah, melalui otoritas terkait, sejatinya mengetahui faktor apa saja yang dominan berpengaruh terhadap laju inflasi, tidak hanya Ramadhan-Lebaran, tetapi juga di 11 bulan lain, termasuk Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Seharusnya mekanisme kontrol terhadap distribusi menjadi model yang paling efektif untuk mereduksi inflasi di Ramadhan-Lebaran dan juga Nataru khususnya.

Ironisnya, hal ini tetap tidak bisa mereduksi inflasi. Tingginya perilaku konsumsi selama Ramadhan-Lebaran pada 2022 lalu direspons Bank Indonesia (BI) dengan menyiapkan uang tunai Rp175,26 triliun dan tetap mendorong masyarakat memanfaatkan pembayaran nontunai (masih pandemi). Prediksi pada Lebaran 2023 pastinya BI akan menambah pasokan uang beredar karena pandemi berlalu, selain karena larangan mudik juga ditiadakan. Data BI uang beredar dalam arti luas (M2) pada Januari 2023 naik 8,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) menjadi Rp8.271,7 triliun.

Pasokan jumlah uang yang beredar tersebut ternyata naik tiga kali lipat jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Fakta ini juga ditambah dengan laju transaksi nontunai melalui kartu kredit yang menurut prediksi bisa mencapai 3 kali lipat.

Selain itu, nilai transaksi e-commerce juga diprediksi naik seiring kemudahan transaksi dan peningkatan jumlah uang beredar. Artinya, frekuensi transaksi tunai dan nontunai pada bulan puasa dan Lebaran akan naik 3 kali lipat dan ini berpengaruh terhadap perputaran uang sehingga rentan terhadap ancaman inflasi musiman.

Konsistensi
Fakta di atas mengindikasikan inflasi Ramadhan-Lebaran menjadi ancaman terhadap akses harga terutama untuk sembako. Hal ini pada dasarnya terkait dengan ketidakseimbangan demand-supply. Teoretis menyebutkan, ketidakseimbangan berpengaruh terhadap harga. Artinya, jika demand lebih besar dibanding supply maka harga menjadi naik, begitu juga sebaliknya.

Dari teoritis tersebut, pemerintah bisa melakukan berbagai cara mereduksi ketidakseimbangan sehingga harga tidak berfluktuasi, terutama untuk inflasi musiman Ramadhan-Lebaran dan Nataru. Paling tidak, hal ini terlihat dari lonjakan harga sepekan terakhir menjelang Ramadhan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2078 seconds (0.1#10.140)