Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Dianggap Cacat Logika, PSHK UII: Batal Demi Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) menilai banyaknya kejanggalan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan Pemilu 2024 .
"Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia," ujar Peneliti PSHK UII Yuniar Riza Hakiki kepada wartawan, Sabtu (4/3/2023).
Riza menjelaskan PSHK UII menemukan dua hal yang merupakan kekeliruan. Pertama, substansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan PMH bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU sehingga secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa pemilu.
Kedua, kata dia, PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan pemilu karena tahapan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan. Meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas.
"Misalnya partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun," terangnya.
Riza menegaskan tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu di konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam UU Pemilu, yang ada hanyalah penundaan pemungutan suara dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional. Sehingga pelaksanaan pemilu setiap lima tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada tahun 2024 nanti.
Dilanjutkannya masalah yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst mengindikasikan Majelis Hakim PN Jakpus keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara. Karena itu, Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) perlu memeriksa Majelis Hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut dan apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst yang dibangun atas cacat logika hukum yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed)," tegasnya.
"Putusan PN Jakpus hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia," ujar Peneliti PSHK UII Yuniar Riza Hakiki kepada wartawan, Sabtu (4/3/2023).
Riza menjelaskan PSHK UII menemukan dua hal yang merupakan kekeliruan. Pertama, substansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan PMH bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU sehingga secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa pemilu.
Kedua, kata dia, PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan pemilu karena tahapan pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan. Meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas.
"Misalnya partai politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun," terangnya.
Riza menegaskan tidak ada sama sekali mekanisme penundaan pemilu di konstitusi dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam UU Pemilu, yang ada hanyalah penundaan pemungutan suara dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional. Sehingga pelaksanaan pemilu setiap lima tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada tahun 2024 nanti.
Dilanjutkannya masalah yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst mengindikasikan Majelis Hakim PN Jakpus keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara. Karena itu, Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) perlu memeriksa Majelis Hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut dan apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst yang dibangun atas cacat logika hukum yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed)," tegasnya.