Rapuhnya Keadilan dan Kesatria Jawa
loading...
A
A
A
Bambang Asrini Widjanarko
Pemerhati isu sosial dan budaya, alumnus Administrasi Negara, FISIP Universitas Jember
HARI Keadilan Sosial Sedunia yang dirayakan bulan ini bertema mengatasi hambatan dan membuka peluang keadilan yang setara. Tapi bagi Indonesia, bagai meniti tangga istana pasir yang berlantai rapuh sewaktu-waktu runtuh.
Negeri ini menahan malu dengan parasnya di mata dunia internasional mendapat skor 38 Indeks Persepsi Korupsi, yang berakibat melorot di level 110 dari 180 negara pada 2022. Seturut transparasi Internasional, "negeri zamrud di katulistiwa" ini terengah-engah turun empat poin setelah 2021, serta terjungkal tajam sejak 1995. Tak ayal Indonesia bisa disandingkan dengan negara terbelakang dan korup semacam Malawi, Gambia, Nepal, dan Sierra Leone.
Meski rasa lara publik terhibur sejenak dengan peristiwa diumumkannya vonis hukuman mati pada Jenderal Polisi yang terbukti menjadi aktor utama pembunuhan; tetap saja kita di ujung tanduk menyoal keadilan sosial.
Korupsi lebih mencipta ketimpangan yang akut, menjauhkan kesetaraan komunal dan merusak mental generasi penerus dalam waktu lama. Akar dari itu adalah tak adanya penghormatan dan kepatuhan pada konstitusi hari ini.
Lembaga legislatif mencoreng parasnya sendiri bulan Februari ini dengan pengesahan Perppu Cipta Kerja yang mengandung pasal kontroversial menurut Mahkamah Konstitusi yang harus direvisi, tetiba menjadi UU melalui rapat paripurna DPR. Dengan demikian, para pemimpin kehilangan integritasnya, sementara pejabatnya tak berkarakter ksatria.
Lamat-lamat kata-kata Kesatria Jawa, Arya Sri Mangkunegoro IV yang termaktub di Serat Wedhatama pada Pupuh I Pangkur bait 06 terngiang-ngiang di telinga: “uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki”.
Yang artinya, hidup sekali saja berantakan, tak berkembang pola pikirnya dan karut-marut. Umpama gua gelap menyeramkan, diembus angin suaranya gemuruh menggeram, berdengung seperti halnya watak muda masih pula berlagak.
Mangkunegoro: Kesatria Wirya, Arta, dan Winasis
Serat Wedhatama hasil permenungan seniman besar, pujangga Jawa Tengah dan tenar dengan upayanya memberi teladan konsep tentang jati diri seorang pemimpin. Ia menggubah seni gerak/tari (beksa), tembang-tembang nan sastrawi pun mengonstruksi Wayang Orang juga kampiun mendesain dan penemu jas Langendriyan, pakaian khusus pengantin Solo, dan lain-lain.
Pemerhati isu sosial dan budaya, alumnus Administrasi Negara, FISIP Universitas Jember
HARI Keadilan Sosial Sedunia yang dirayakan bulan ini bertema mengatasi hambatan dan membuka peluang keadilan yang setara. Tapi bagi Indonesia, bagai meniti tangga istana pasir yang berlantai rapuh sewaktu-waktu runtuh.
Negeri ini menahan malu dengan parasnya di mata dunia internasional mendapat skor 38 Indeks Persepsi Korupsi, yang berakibat melorot di level 110 dari 180 negara pada 2022. Seturut transparasi Internasional, "negeri zamrud di katulistiwa" ini terengah-engah turun empat poin setelah 2021, serta terjungkal tajam sejak 1995. Tak ayal Indonesia bisa disandingkan dengan negara terbelakang dan korup semacam Malawi, Gambia, Nepal, dan Sierra Leone.
Meski rasa lara publik terhibur sejenak dengan peristiwa diumumkannya vonis hukuman mati pada Jenderal Polisi yang terbukti menjadi aktor utama pembunuhan; tetap saja kita di ujung tanduk menyoal keadilan sosial.
Korupsi lebih mencipta ketimpangan yang akut, menjauhkan kesetaraan komunal dan merusak mental generasi penerus dalam waktu lama. Akar dari itu adalah tak adanya penghormatan dan kepatuhan pada konstitusi hari ini.
Lembaga legislatif mencoreng parasnya sendiri bulan Februari ini dengan pengesahan Perppu Cipta Kerja yang mengandung pasal kontroversial menurut Mahkamah Konstitusi yang harus direvisi, tetiba menjadi UU melalui rapat paripurna DPR. Dengan demikian, para pemimpin kehilangan integritasnya, sementara pejabatnya tak berkarakter ksatria.
Lamat-lamat kata-kata Kesatria Jawa, Arya Sri Mangkunegoro IV yang termaktub di Serat Wedhatama pada Pupuh I Pangkur bait 06 terngiang-ngiang di telinga: “uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki”.
Yang artinya, hidup sekali saja berantakan, tak berkembang pola pikirnya dan karut-marut. Umpama gua gelap menyeramkan, diembus angin suaranya gemuruh menggeram, berdengung seperti halnya watak muda masih pula berlagak.
Mangkunegoro: Kesatria Wirya, Arta, dan Winasis
Serat Wedhatama hasil permenungan seniman besar, pujangga Jawa Tengah dan tenar dengan upayanya memberi teladan konsep tentang jati diri seorang pemimpin. Ia menggubah seni gerak/tari (beksa), tembang-tembang nan sastrawi pun mengonstruksi Wayang Orang juga kampiun mendesain dan penemu jas Langendriyan, pakaian khusus pengantin Solo, dan lain-lain.