Rapuhnya Keadilan dan Kesatria Jawa

Senin, 20 Februari 2023 - 16:36 WIB
loading...
A A A
Raja Jawa ini tenar memimpin dengan corak menyeimbangkan perspektif ukhrowi sekaligus yang duniawi dengan sukses membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng (1861-1863) pun menginisiasi hamparan perkebunan kopi, kina, pala, dan kayu jati di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Mangkunegoro, dengan piawai menggubah pelajaran etika kepemimpinan menjadi teks sastrawi di bait 15 Pupuh Sinom, Serat Wedhatama: Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

Makna secara keseluruhan teks tersebut adalah jika pemimpin atau pejabatnya--- dalam hal ini Mangkunegoro sering menuliskan metafora seolah tuturan dan tuntunan pada seseorang, yang dalam konteks ini, seorang pemimpin semestinya menjadi manusia yang utuh. Maka, jika menjalankan kekuasaan secara sembrono jelas-jelas seorang pemimpin tak bersandar pada pengawasan di tiga perkara, yang menjadi karakter terbaiknya, yakni mampu mengelola: Wirya, Arta, dan Winasis.

Yang pertama, Wirya adalah pengaturan kekuasaan politik, kemudian Arta adalah sesuatu yang bersifat abstraksi kebendaan dan uang, sebagai harta dan terakhir, Winasis adalah ilmu pengetahuan. Apabila satu saja kriteria itu tak bisa ditegakkan dengan kokoh, maka seorang pemimpin selesailah disebut sebagai manusia, yang seturut Mangkunegoro pantas ia diibaratkan lebih berharga dari sekadar daun jati kering.

Otomatis, bangsanya akan diterpa derita demi derita, menjadi pengemis dan terlunta-lunta. Wirya bagi sang sastrawan dan Raja Jawa itu adalah kekuasaan sesungguhnya yang melekat pada jiwa keluhuran, yang dinapasi oleh keperwiraan. Yaitu kekesatriaan, seseorang yang layak diapresiasi oleh masyarakat sebab keutamaannya memimpin dan melayani, bukan sekadar dihormati sebagai makna ketakutan sebab kekuasaannya.

Kuasa tak berarti berwenang memberangus kritik, mempidana mereka yang tak sejalan ideologi-nya dan melakukan apa saja agar kehendaknya dipatuhi oposan politik, misalnya. Atau membuat regulasi-regulasi dengan tidak mencerminkan kehati-hatian yang pada akhirnya memberi bencana pada masyarakat. Kekuasaan di sini, diandaikan Mangkunegoro seharusnya sebentuk kewaspadaan justru pada diri sendiri.

Sedangkan Arta, yang bermakna harta adalah aset berharga yang selayaknya membawa kekuasaan dalam pengertian dukungan bagi Wirya menjadi bermanfaat dengan adanya alat bantu. Serat Wedhatama dalam translasi bebas bisa diartikan bahwa pemimpin seharusnya bijak menggunakan aset negara, seperti hutan, tambang dan laut pun utang-piutang dari negara mancanegara agar diolah secara arif.

Sedangkan Winasis, berasal dari kata Wasis yang berarti cakap dan pintar mengelola kekuasaan dan harta negara. Maka sudah seharusnya seorang pemimpin dipandu oleh nalar yang tegak, juga mengatur para sarjana di sekitarnya membangun sebuah kelompok pakar dan para ahli. Bukan sebaliknya, menuruti kemauan kehendak para senopati serakah di sekitarnya.

Dalam konteks negara yang modern, cara-cara kepemimpinan dengan pendekatan kemiripan primordial yang melingkupi model Raja Jawa sebenarnya patut ditanggalkan. Sementara, kontrol atas kekuasaan yang meliputi partisipasi publik dengan pemisahan kekuasaan ala Barat lebih layak diterapkan.

Namun menimbang lembaga-lembaga eksekutif, juga legislatif serta yudikatif malas berbenah dan cenderung kompromistis bahkan dengan mereka secara sembrono berkolaborasi dengan orang-orang bermodal finansial yang besar yang mempengaruhi jalannya pemerintahan negeri, maka peringatan dari Mangkunegoro semestinya diingat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1376 seconds (0.1#10.140)