Mafia Tanah dan Tindak Pidana Korupsi
loading...
A
A
A
Iwan Nurdin
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation
Meski telah dicanangkan sejak lama, pemberantasan mafia tanah melalui Satgas Mafia Tanah yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian dan Kementerian ATR/BPN-RI ternyata belum berhasil membongkar kejahatan ini.
Kondisi ini membutuhkan tata cara mengajukan gagasan bagaimana melacak praktik mafia tanah melalui tindak pidana korupsi. Harapannya, pemberantasan mafia tanah dapat menggunakan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya, setiap maladminsitrasi penerbitan sertifikat hak atas tanah akan menghasilkan konflik agraria, baik yang laten maupun yang manifest di tengah masyarakat.
Merujuk kepada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terbesar dalam satu setengah dekade terakhir berada pada wilayah perkebunan, pelepasan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perumahan (Catahu KPA 2022).
Berangkat dari data tersebut, produk mafia tanah terindikasi pada lahirnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang berada dalam kewenangan Kementerian ATR/BPN-RI. Sumber tanah untuk kedua hak tersebut berasal dari peralihan hak tanah dan tanah negara dan hak pengelolaan.
Pada tahap memperoleh tanah ini, tindak pidana yang kerap ditemukan adalah pemalsuan akta peralihan dan dokumen-dokumen yuridis surat tanah. Pemalsuan akta semacam ini adalah cara-cara umum yang menghasilkan perampasan tanah masyarakat.
Kelanjutan dari tahap memperoleh tanah akan banyak berimplikasi kepada pemalsuan pada tahapan pembayaran pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BHPTB). Ini karena, mustahil menghitung nilai pajak jika tidak pernah dilakukan pelepasan tanah-tanah masyarakat yang sah di atasnya dalam bukti akta peralihan yang jelas.
Pemeriksaan pemalsuan ini dapat dilakukan pada Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) dengan cara melakukan cek ulang kesesuaian data penerbitan sertifikat dengan bukti pembayaran pajak.
Lemahnya dokumen yuridis awal pendaftaran tanah ini akan berakibat kepada kejahatan selanjutnya yakni penyuapan kepada pihak yang terlibat dalam pemeriksaan dokumen yuridis dan fisik tanah yakni oknum ATR/BPN dan Pemerintah Daerah. Penyuapan inilah penyebab mulusnya kelahiran dokumen keputusan hak atas tanah HGU dan HGB tersebut.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation
Meski telah dicanangkan sejak lama, pemberantasan mafia tanah melalui Satgas Mafia Tanah yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian dan Kementerian ATR/BPN-RI ternyata belum berhasil membongkar kejahatan ini.
Kondisi ini membutuhkan tata cara mengajukan gagasan bagaimana melacak praktik mafia tanah melalui tindak pidana korupsi. Harapannya, pemberantasan mafia tanah dapat menggunakan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya, setiap maladminsitrasi penerbitan sertifikat hak atas tanah akan menghasilkan konflik agraria, baik yang laten maupun yang manifest di tengah masyarakat.
Merujuk kepada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terbesar dalam satu setengah dekade terakhir berada pada wilayah perkebunan, pelepasan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perumahan (Catahu KPA 2022).
Berangkat dari data tersebut, produk mafia tanah terindikasi pada lahirnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang berada dalam kewenangan Kementerian ATR/BPN-RI. Sumber tanah untuk kedua hak tersebut berasal dari peralihan hak tanah dan tanah negara dan hak pengelolaan.
Pada tahap memperoleh tanah ini, tindak pidana yang kerap ditemukan adalah pemalsuan akta peralihan dan dokumen-dokumen yuridis surat tanah. Pemalsuan akta semacam ini adalah cara-cara umum yang menghasilkan perampasan tanah masyarakat.
Kelanjutan dari tahap memperoleh tanah akan banyak berimplikasi kepada pemalsuan pada tahapan pembayaran pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BHPTB). Ini karena, mustahil menghitung nilai pajak jika tidak pernah dilakukan pelepasan tanah-tanah masyarakat yang sah di atasnya dalam bukti akta peralihan yang jelas.
Pemeriksaan pemalsuan ini dapat dilakukan pada Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) dengan cara melakukan cek ulang kesesuaian data penerbitan sertifikat dengan bukti pembayaran pajak.
Lemahnya dokumen yuridis awal pendaftaran tanah ini akan berakibat kepada kejahatan selanjutnya yakni penyuapan kepada pihak yang terlibat dalam pemeriksaan dokumen yuridis dan fisik tanah yakni oknum ATR/BPN dan Pemerintah Daerah. Penyuapan inilah penyebab mulusnya kelahiran dokumen keputusan hak atas tanah HGU dan HGB tersebut.