Mafia Tanah dan Tindak Pidana Korupsi

Sabtu, 28 Januari 2023 - 10:30 WIB
loading...
Mafia Tanah dan Tindak Pidana Korupsi
Iwan Nurdin. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Iwan Nurdin
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation

Meski telah dicanangkan sejak lama, pemberantasan mafia tanah melalui Satgas Mafia Tanah yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian dan Kementerian ATR/BPN-RI ternyata belum berhasil membongkar kejahatan ini.

Kondisi ini membutuhkan tata cara mengajukan gagasan bagaimana melacak praktik mafia tanah melalui tindak pidana korupsi. Harapannya, pemberantasan mafia tanah dapat menggunakan penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Pada dasarnya, setiap maladminsitrasi penerbitan sertifikat hak atas tanah akan menghasilkan konflik agraria, baik yang laten maupun yang manifest di tengah masyarakat.

Merujuk kepada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria terbesar dalam satu setengah dekade terakhir berada pada wilayah perkebunan, pelepasan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perumahan (Catahu KPA 2022).

Berangkat dari data tersebut, produk mafia tanah terindikasi pada lahirnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang berada dalam kewenangan Kementerian ATR/BPN-RI. Sumber tanah untuk kedua hak tersebut berasal dari peralihan hak tanah dan tanah negara dan hak pengelolaan.

Pada tahap memperoleh tanah ini, tindak pidana yang kerap ditemukan adalah pemalsuan akta peralihan dan dokumen-dokumen yuridis surat tanah. Pemalsuan akta semacam ini adalah cara-cara umum yang menghasilkan perampasan tanah masyarakat.

Kelanjutan dari tahap memperoleh tanah akan banyak berimplikasi kepada pemalsuan pada tahapan pembayaran pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BHPTB). Ini karena, mustahil menghitung nilai pajak jika tidak pernah dilakukan pelepasan tanah-tanah masyarakat yang sah di atasnya dalam bukti akta peralihan yang jelas.

Pemeriksaan pemalsuan ini dapat dilakukan pada Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) dengan cara melakukan cek ulang kesesuaian data penerbitan sertifikat dengan bukti pembayaran pajak.

Lemahnya dokumen yuridis awal pendaftaran tanah ini akan berakibat kepada kejahatan selanjutnya yakni penyuapan kepada pihak yang terlibat dalam pemeriksaan dokumen yuridis dan fisik tanah yakni oknum ATR/BPN dan Pemerintah Daerah. Penyuapan inilah penyebab mulusnya kelahiran dokumen keputusan hak atas tanah HGU dan HGB tersebut.

Dengan asal-usul demikian, banyak ditemukan Surat Keputusan (SK) pemberian hak atas tanah oleh pejabat ATR/BPN diberikan dengan pertimbangan yang lemah dan senyatanya tumpang tindih dengan klaim dan hak atas tanah masyarakat yang masih berlaku dan sah.

Dalam kajian penulis, SK bermasalah semacam ini biasanya terdapat beberapa kejanggalan seperti jangka waktu pendaftaran dengaan penerbitan SK yang sangat singkat. Selain itu, SK ini kerap kali dikeluarkan oleh oleh pejabat daerah dengan cara memecah luasan pendaftaran tanah sehingga menjadi kewenangan di bawah menteri.

Protes dan pengaduan masyarakat atas kejahatan semacam ini seringkali mengalami kebuntuan.Pertama, warkah tanah tidak dapat dibuka kepada dengan dalih rahasia negara.

Ketertutupan semacam ini menggiring masyarakat memasuki lingkaran lainnya yakni masuk ke dalam jabakan mafia tanah untuk berperkara ke pengadilan dan kepolisian.

Namun, bisa juga sebaliknya, terbitnya SK hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB) tersebut telah membuat mafia tanah menggiring ke proses hukum di kepolisian dan pengadilan. Akhirnya, “penyucian” dari kejahatan tersebut berakhir kepada putusan pengadilan.

Kerugian Negara Pascapenerbitan
Paska penerbitan HGB perusahaan perumahan, pelanggaran biasanya berlanjut kepada tidak memenuhi kewajiban penyerahan fasilitas umum dan fasilitas sosial kepada pemerintah daerah.

Meski belum didata, sesungguhnya kewajiban penyerahan fasilitas umum dan fasilitas sosial telah tercatat pada proses awal perizinan. Sehingga, dengan mudah dapat dilacak fasilitas umum dan fasilitas sosial yang tidak diserahkan tersebut berubah menjadi menjadi bangunan komersial tanpa menyediakan lahan pengganti.

Sementara pada wilayah HGU perkebunan, terdapat beberapa kecenderungan yang merugikan seperti luasan perkebunan di lapangan jauh melebihi hak yang diberikan sehingga berimplikasi atas setoran pajak, perampasan tanah masyarakat, penggunaan tanah negara tanpa izin. Persoalan lainnya adalah secara dengan sengaja tidak menyerahkan kewajiban luasan lahan untuk kepentingan reforma agraria atau kebun plasma masyarakat.

Inilah salah satu titik bagaimana mengurai kejahatan mafia tanah melalui peristiwa konflik agraria dengan masyarakat. Sehingga penyelesaian konflik tersebut mengarah kepada tujuan pokok yakni pemulihan hak masyarakat yang menjadi korban.

Selain dapat mematikan ekosistem mafia tanah, cara semacam ini dapat mengembalikan kekayaan negara sehingga penindakan bersinergi dengan pemberantasan korupsi.

Jika melihat data konflik agraria yang telah mengakibatkan banyak peritiwa kekerasan dan kematian rakyat seharusnya tidak ada alasan untuk menunda langkah ini. Kolaborasi antara Masyarakat Sipil, ATR/BPN-RI, BPK, KPK, Komisi Informasi Publik, Ombudsman RI, Kejaksaan dan Kepolisian dalam menyelesaikan konflik agraria melalui penindakan tindak pidana korupsi harus segera dimulai.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0854 seconds (0.1#10.140)