Covid-19 dan Geger Sosial Politik
Selasa, 14 Juli 2020 - 07:21 WIB
Situasi di Amerika tampak lebih buruk sejak kasus pembunuhan aparat polisi terhadap seorang warga Amerika kulit hitam, George Floyd, dengan cara cara brutal, sesuatu yang sudah terlalu sering terjadi dalam sejarah Amerika dan korbannya black Americans. Sejak itu gelombang demo anti-rasisme dan rasialisme muncul dan berkembang tidak saja di Amerika, tetapi juga di sejumlah negara lain. Situasi ini membangkitkan memori kolektif di Amerika tentang bagaimana rasialisme dan rasisme berkembang di Amerika. Tokoh-tokoh black Americans yang memperjuangkan hak-hak sipil muncul kembali dalam spirit gelombang demo anti-rasisme dan rasialisme di Amerika, antara lain Martin Luther King Jr dan Malcolm X. Propaganda anti-Islam dan umat Islam yang digerakkan oleh para Islamophobes terkubur oleh gerakan anti-rasisme rasialisme yang telah menembus batas perbedaan ras, bangsa, dan agama. Telah muncul semacam aliansi anti-rasisme-rasialisme pada masa pandemi ini dan umat Islam menjadi bagian penting.
Geger di Indonesia
Di Indonesia juga terjadi geger di masa pandemi ini dan sumber masalahnya adalah RUU HIP. Inisiatif Fraksi PDIP mengajukan RUU ini semula dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan hukum BPIP yang saat ini diketuai Yudhian Wahyudhi yang pernah melukai umat karena statemennya bahwa "agama adalah musuh Pancasila" tak lama setelah dia dilantik. Akan tetapi belakangan justru RUU itu diarahkan untuk kepentingan ideologi dan politik. RUU ini saat ini sudah di tangan pemerintah meskipun pemerintah sudah menyatakan menunda pembahasan. Reaksi keras sudah bermunculan. MUI dan orams-ormas Islam serta banyak elemen masyarakat lain melakukan penolakan keras terhadap RUU ini dan meminta DPR serta pemerintah untuk menghentikan proses-proses legislasi RUU, mencabutnya dari Prolegnas. Tidak saja anggota DPR dinilai telah tumpul sensitivitas kemanusiaannya akibat Covid-19 yang angka korbannya masih sangat mengkhawatirkan per hari ini, tetapi RUU itu sendiri secara substansial sangat bermasalah besar dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan kita.
Paling tidak, dari aspirasi dan tuntutan yang berkembang di masyarakat, ada delapan alasan utama mengapa RUU ini ditolak. 1. Pancasila itu bukan sekadar falsafah bangsa, weltanschauung, tetapi sumber dari segala sumber hukum negara. Akan tetapi RUU ini telah menyubordinasi Pancasila. 2. Pancasila telah terdegradasi secara nyata dengan adanya RUU ini. 3. RUU ini membuka peluang bangkitnya komunisme dan paham ateisme. 4. RUU ini mendorong pemanfaatan Pancasila sebagai alat kekuasaan untuk menekan kekuatan-kekuatan kritis di masyarakat. Pengalaman era Orba adalah contoh konkret. 5. RUU membuka peluang bagi otoritarianisme dan politik oligarkis; RUU ini akan membunuh demokrasi. 6. RUU ini menjadi pintu masuk bagi neoliberalisme, kapitalisme, dan sekularisme. 7. RUU ini adalah pintu munculnya benturan dan disintegrasi bangsa. 8. Dengan merujuk pada pidato Bung Karno 1 Juni 1945, secara tidak bertanggung jawab RUU ini akan membuka ruang terjadinya pengkhianatan terhadap kesepakatan semua elemen bangsa 18 Agustus 1945 di mana Bung Karno menjadi salah seorang tokoh nasionalis penting.
Aroma pemanfaatan Covid-19 untuk kepentingan ideologi ateisme, sekularisme, neoliberalisme, kapitalisme, dan kekuatan oligarki di balik RUU HIP ini cukup kuat. Dan ini tidak sekadar menyakiti umat Islam, tetapi nurani bangsa juga terusik karena akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demo dan pernyataan sikap secara massal sudah dilakukan di banyak tempat. Jika semua aspirasi ini tidak didengar DPR dan pemerintah, eskalasi sosial politik dipastikan akan meninggi dengan banyak risiko di tengah Covid-19. Wallahu a’lam.
Geger di Indonesia
Di Indonesia juga terjadi geger di masa pandemi ini dan sumber masalahnya adalah RUU HIP. Inisiatif Fraksi PDIP mengajukan RUU ini semula dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan hukum BPIP yang saat ini diketuai Yudhian Wahyudhi yang pernah melukai umat karena statemennya bahwa "agama adalah musuh Pancasila" tak lama setelah dia dilantik. Akan tetapi belakangan justru RUU itu diarahkan untuk kepentingan ideologi dan politik. RUU ini saat ini sudah di tangan pemerintah meskipun pemerintah sudah menyatakan menunda pembahasan. Reaksi keras sudah bermunculan. MUI dan orams-ormas Islam serta banyak elemen masyarakat lain melakukan penolakan keras terhadap RUU ini dan meminta DPR serta pemerintah untuk menghentikan proses-proses legislasi RUU, mencabutnya dari Prolegnas. Tidak saja anggota DPR dinilai telah tumpul sensitivitas kemanusiaannya akibat Covid-19 yang angka korbannya masih sangat mengkhawatirkan per hari ini, tetapi RUU itu sendiri secara substansial sangat bermasalah besar dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan kita.
Paling tidak, dari aspirasi dan tuntutan yang berkembang di masyarakat, ada delapan alasan utama mengapa RUU ini ditolak. 1. Pancasila itu bukan sekadar falsafah bangsa, weltanschauung, tetapi sumber dari segala sumber hukum negara. Akan tetapi RUU ini telah menyubordinasi Pancasila. 2. Pancasila telah terdegradasi secara nyata dengan adanya RUU ini. 3. RUU ini membuka peluang bangkitnya komunisme dan paham ateisme. 4. RUU ini mendorong pemanfaatan Pancasila sebagai alat kekuasaan untuk menekan kekuatan-kekuatan kritis di masyarakat. Pengalaman era Orba adalah contoh konkret. 5. RUU membuka peluang bagi otoritarianisme dan politik oligarkis; RUU ini akan membunuh demokrasi. 6. RUU ini menjadi pintu masuk bagi neoliberalisme, kapitalisme, dan sekularisme. 7. RUU ini adalah pintu munculnya benturan dan disintegrasi bangsa. 8. Dengan merujuk pada pidato Bung Karno 1 Juni 1945, secara tidak bertanggung jawab RUU ini akan membuka ruang terjadinya pengkhianatan terhadap kesepakatan semua elemen bangsa 18 Agustus 1945 di mana Bung Karno menjadi salah seorang tokoh nasionalis penting.
Aroma pemanfaatan Covid-19 untuk kepentingan ideologi ateisme, sekularisme, neoliberalisme, kapitalisme, dan kekuatan oligarki di balik RUU HIP ini cukup kuat. Dan ini tidak sekadar menyakiti umat Islam, tetapi nurani bangsa juga terusik karena akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demo dan pernyataan sikap secara massal sudah dilakukan di banyak tempat. Jika semua aspirasi ini tidak didengar DPR dan pemerintah, eskalasi sosial politik dipastikan akan meninggi dengan banyak risiko di tengah Covid-19. Wallahu a’lam.
(ras)
tulis komentar anda